TASAWUF SEBAGAI MADZHAB EPISTEMOLOGI DAN PSIKOLOGI
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu : H. Jaenal Arifin, M. Ag.

Disusun Oleh :
Budi Utomo (1520110024)
Islakhudin (1520110025)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI AKHWALUS SYAHSIYAH
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembinaan manusia
seutuhnya tidak bisa menyampingkan faktor agama, sebab agama bagaimanapun sebagai bangunan
bawah dari moral suatu bangsa. Agama adalah sumber dari sumber nilai dan norma
yang memberi petunjuk, mengilhami, dan
mengikat masyarakat yang bermoral yang akan menjadi solidaritas dan karena
agamalah satu-satunya yang memiliki dimensi kedalam kehidupan manusia.
Tasawuf membina
manusia agar mempunyai mental utuh dan tangguh, sebab didalam ajarannya yang
menjadi sasaran utamanya adalah manusia dengan segala tingkah lakunya. Tasawuf mengajarkan
bagaimana rekayasa agar manusia dapat menjadi insan yang berbudi luhur, baik
sebagai makhluk sosial maupun sebagai hamba dalam hubungannya dengan Khaliq
pencipta alam semesta. Mengingat adanya hubungan relevansi yang sangat erat
antara spiritualitas tasawuf dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental,
kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam pembahasan
tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan.Tujuan yang dikehendaki
dari uraian tentang hubungan jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya
keserasian antara keduanya. Pembahasan ini dikonsepsikan oleh para sufi dalam
rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktekkan manusia dengan
dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi.[1]
B. Rumusan Masalah
1. Apa Hakikat Epsitemologi?
2. Bagaimana Epistemologi Dalam Islam?
3. Bagaimana Epistemologi Ilmu Khuduri Dan Ilmu
Hushuli Itu?
4. Bagaimana Kedudukan Tasawuf Dalam Psikologi
Agama?
5. Apa Hubungan Psikologi Dengan Ilmu Tasawuf?
BAB II
PEMBAHASAN
A. EPISTEMOLOGI
1. Hakikat Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme dan logos,
yang keduanya berarti pengetahuan atau ilmu. Ini berarti epistemologi
adalah ilmu pengetahuan tentang pengetahuan atau ilmu tentang ilmu. Teori
pengetahuan, begitulah sederhanannya epistemologi diterjemahkan ke bahasa
indonesia, sedangkan dalam tradisi filsafat Islam disebut dengan nazhariah
al-ma’rifah. Menurut kamus – kamus
filsafat, umumnya epistemologi dipandang sebagai teori mengenai
pengetahuan (the theory of kenowledge). Epistemologi merupakan bagian
dari kajian filsafat yang spesialisasi membidangi kajian mengenai segala hal
yang terkait dengan ilmu pengetahuan, seperti tabiat, landasan, sifat,
jenisnya, asal mula, objek, struktur, cara, proses, ukuran atau validitas ilmu.
Epistemologi didefinisikan sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan
hakikat dan lingkup pengetahuan, praangapan-pranggapan dan daar-dasarnya serta
reliabilitas umum untuk mengklaim sesuatu sebagai (ilmu) pengetahuan.
Dalam ilmu pengetahuan, kita telah tahu bahwa suatu teori yang kemarin
dianggap paling “benar” bisa akan diubah atau ditolak oleh teori baru yang
muncul berikutnya. Artinya teori yang terkuat didapatkan hari ini tidak
mustahil akan ditolak dan diubah hari esok, dan begitu seterusnya. Disamping
kenyataan sering terjadinya perbedaan pendapat dikalangan ilmuan dan ketika
para ilmuwan saling memberikan argumentasinya, bisa terjadi argumentasi yang
polemik.[2]
2. Epistemologi Islam
Pembahasan ilmu pengetahuan dalam Islam dapat ditinjau dari dua sisi yaitu
Ontologi dan Epsitemologi. Secara Ontologis, kita bisa membahas ilmu dari
keberadaanya, apakah ia materi atau bukan dan sama sekali tidak membahas
tentang gamabaran atau comprehensif ilmu. Adapun dari segi epistemologi yaitu
membahas tentang ilmu dari reprensitifnya setelah kita membuktikan secara
ontologis tentang keberadaan ilmu tersebut. Jadi, bisa dikatakan bahwa kajian
epistemologi ini sebenarnya adalah pembahasan yang kedua. Meskipun demikian
secara subtansial pembahasan epistemologi ini sangat berbeda dengan pemabahsan
yang pertama tadi.
Banyak filosofi Islam mencurahkan segala kemampuan mereka untuk mengkaji pembahasan
seputar epistemologi. Salah satu pembahasan yang menjadikan pertentangan
diantara filosofi muslim adalah berkaitan dengan tolak ukur benar atau salah.
Para filosofi Islam berpendapat bahwa
antara alam understanding (dzihni) dan alam eskternal (khariji)
memilik hubungan yang erat. Gambaran yang dimiliki oleh ilmu alam understanding
adalah gambaran yang tidak sekedar nyata, namun yang memiliki kenyataan
(realitas). Akan tetapi, para filosof yang lain berpendapat bahwa hubungan
antra alam understanding dan eksternal bukanlah hubugan gamabr dengan objeknya.
Dalam perspektif epistemologi ilmu Islam, ada beberapa hal pokok yang harus
diperhatikan, yaitu:
a. Sumber Ilmu Pengetahuan Islamyang sederhana,
Ilmu manusia tersusun hal-hal yamg sederhana. Contohnya, kalau kita hnedak
mengetahui manusia, maka kita terlebih dahulu harus mengetahui definisi manusia
sehingga kita dapat membedakan antara manusia dari yang lainnya.. pengetahuan
kita tentang manusia tersusun dar beberapa hal-hal yang simple yaitu bahwa
manusia berfikir, berbadan dan berperasaan. Akan tetapi yang menjadi kanjian
para filosofi Islam adalah dari manakah manusia mendapatkan ilmu-ilmu simple
tersebut? Dengan metode apa? Dari sinilah berbagai munculnya perbedaan
filosof-filosof antara Plato dan Ariestoteles, antar Avvesina dan Syuhrawadi,
antara kaum paripatetik daaan intuitivis, serta antara rasionalis dan empiris.
b. Batasan Ilmu Pengetahuan
Beberapa pandangan umum terhadap kajian epistemologi di dalam litelatur
Islam antara lain sebagai berikut:
1) Pembahasan Filosofis Berkenaan Dengan Kategori
Realitas di alam ini oleh para filosof dibagi dalam beberapa kategori,
mislanya manusia dengan hewan dikategorikan sebagai makhluk hidup. Makhluk
hidup dan tak hidup dikategorikan sebagai materi. Materi dan non materi
dikategorikan sebagai substansi. Substansi inilah yang menempati kategori
tertinggi (jins’aly). Artinya realitas di alam ini terbagi menjadi
beberapa jins’aly antara lain, substansi, kualitas, madah (bahan
materi), dan shurah bentuk.
Dalam ilmu ini juga dibahas kategori kaif (kualitas) yang dibagi
menjadi empat bagian yaitu kaif mahsus (kualitas yang dapat diindera), kaif
nafsani (kualitas yang ada pada jiwa), kaif khusus yang berhubungan
dengan kualitas dan kaif isti’dadi (kualitas potensial). Untuk kaif
nafsani, mereka menyebutkan beberapa contoh antara lain: keinginan, rasa
sakit, kehendak, dll. Mereka meletakkan ilmu sebagai bagian dari kaif
nafsani. Ilmu yang masuk dalam bagian kaif nafsani tersebut adalah ilmu
hushuli yaitu bersifat aksidental bagi jiwa (nafs).
2) Kesatuan Subjek dan Objek.
Kajian yang dimunculkan oleh Fakhr Al-Razi mengalami perkembangan yang
cukup pesat pada zaman Mulla Sandra. Dalam kitab monumentalnya, “ Al-Asfar
Al-Arba’ah” beliau menjelaskan secara terperinci masalah-masalah yang
berhubungan dengan tingkatan-tingkatan ilmu, pembagian ilmu kepada instutif
knowledge dan empirical, serta pembahasan tentang kesatuan objek dan
subjek pengetahuan.
3) Wujud Dzihni (wujud yang ada dalam pikiran)
Masalah ini menjadi pembeda signifikan antara filosof dengan teolog (mutakallimin).
Para teolog mengingkari masalah ini dengan memaparkan pendapat yang
bertentangan dengan pendapat filosof. Mereka memunculkan pandangan “idhafah”
ataupun “syabah”.
4) Tolak Ukur Benar dan Salah
Dari pembahasan ini agar ilmu yang benar harus memiliki tolak ukur yang
jelas bercabang beberapa pembahasan, yaitu:
a) Makna hakekat
b) Definisi hakekat, teori kesamaan hakekat
c) Letak tolak ukur tersebut
5) Batasan Kemampuan Akal Budi Manusia
Kita berpijak pada satu dasar yang pasti bahwa, di dalam diri manusia ada
kedondong dan keinginan rasa tahu terhadap sesuatu. Tetapi, apakah ia mampu
untuk mengetahui segala macam yang ia inginkan ataukah tidak. Keampuan manusia
hanya terbatas pada hal-hal material yang dapat ia idra dan bahasan metafisik
keluar dari kemampuannya. Para filosof muslim meyakini bahwa akal budi manusia
mampu mengetahu hal-hal material dan metafisk, namun ketika berhadapan dengan
masalah zat Tuhan mereka berhenti dan diam, dari situlah ada pesan yang
tersirat bahwa ilmu manusia terbatas.
3. Epistemologi Ilmu Khuduri dan Hushuli
a. Ilmu Khuduri
Ilmu Khuduri adalah sejenis pengetahuan yang semua hubungannya berada dalam
kerangka dirinnya sendiri, sehingga gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa
implikasi appaun terhadap acuan objektif eksternal yang membutuhkan hubungan
eksterior. Artinya, hubungan mengetahui, dalam bentuk pengetahuan tersebut
adalah hubungan semua objek tanpa campur
tangan koneksi dengan objek eskternal, artinya jenis objek yang telah menjadi
objek esensial bagi sebuah gagasan pengetahuan menurut ilmu khuduri bersifat
objek objektif.
Salah satu ciri ilmu dan pengetahuan khuduri adalah kebebasannya dari
dulisme kebenaran dan kesalahan (yakni senantiasa sesuai dengan kebenaran dan
realitas). Hal ini karena esensi pola pengetahuan ini tidak berhubungan dengan
gagasan korespondensi. karena dualisme kebenaran dan kesalahan bergantung
secara substansi pada hubungan korespondensi, pertama antara obyek
“subyektif-esensial” (obyek yang terdapat dalam alam pikiran) dengan “obyek
aksidental” obyek eksternal dan kedua antara “pernyataan” dengan “acuan
obyektifnya” maka tidak akan ada penerapan dualisme seperti dalam pengetahuan
dan ilmu khuduri.
Ciri dan karakteristik
lain “penggetahuan dengan kehadiran” (ilmu hudhuri) adalah kebebasan dari
perbedaan antara “pengetahuan dengan konsepsi” (tashawwur) dan
“pengetahuan dengan konfirmasi” (tashdiq) . tidak seperti pengetahuan
dengan korespondensi (kehadiran). Perbedaan ini dibuat oleh Ibu Sina dalam
karyannya Al-Mantiq untuk menguraikan dedfinisi konsepsi dan
konfirmasi. Dia menulis “setiap pengetahuan dan kesadaran diperoleh melalui
konsepsi atau konfirmasi”. Pengetahuan dengan “konsepsi” adalah pengetahuan
primer yang bisa diperoleh melalui definisi atau apa saja yang berfungsi
sebagai definisi, seolah-olah dengan definisi kita bisa mengetahui tentang
esensi manusia. Pengetahuan dengan “konfirmasi” di lain pihak adalah
penegetahuan yang bisa diperoleh dengan “inferensi” yakni kita mempercayai
suatu proposisi bahwa “ segala sesuatu mempunyai permulaan” (segala sesuatu
memiliki Pencipta)
Dalam sistem filsafat Iluminasi ini,
apabila orang mengatakan bahwa “Tuhan adalah kebenaran”, maka dia sebenarnya
,mengatakan bahwa “Tuhan itu ada” atau “Tuhan adalah Wujud yang Wajib” juga
disini kita menyetarakan ilmu khuduri dengan semacam “keseketikaan” atau
“kehadiran langsung”realitas objek dalam pikiran , maka kita berada dalam
posisi yang sah untuk menerapkan pengertian eksitensial kebenaran seperti itu
terhadap realitas ilmu hudhuri. Tetapi disini dualisme logis antara kebenaran
dan kesalahan maupun pembeda logis antara konsep dan keyakinan tidak bisa
diterapkan pada wilayah pengetahuan dan ilmu huduhuri, akan tetapi akan lebih
tepat apabila dikatakan bahwa keduanya adalah sifat-sifat yang layak bagi ilmu
hsuhuli (pengetahuan dengan korespondensi).[3]
b. Ilmu Hushuli
Ilmu hushuli (pengetahuan dengan korespondensi) ditandai oleh keterlibatan pengertian ganda
obyektivitas ( yakni ilmu hushuli mempunyai dua obyek, yaitu obyek
subtektif-esensial dan obyek obyektif – aksidental). Ia mempunayi objek subyektif
(yang terletak dalam pikiran), sebagai esensi yang diperlukan oleh pengetahuan seperti
itu, dan juga mempunyai obyek obyektif yang terletak diluar tatanan konsepsi
(yang terletak di alam eksternal) dan merupakan rujukan obyekti pengetahuan
tersebut. Obyek yang pertama oleh filsafat Iluminasi disebut “obyek yang hadir”
dan obyek yang terakhir disebut “obyek yang tak hadir” yang realitasnya
terpisah dari realitas pikiran “subyek yang mengetahui”
Ilmu hushuli adalah pengetahuan dimana terdapat dua jenis obyek yaitu obyek
internal dan eksternal, artinya, baik obyek subjektif maupun objektif harus
sudah berada dalam tatanan aktual, dan ada hubungan korespondensi antara kedua
obyek tersebut. Karena hubungan korespondensi bersifat aksidental, artinya
denga realitas eksternal , maka dualisme logis kebenaran dan kesalahan, atau
kekeliruan, perlu dipertimbangkan.
Melalui korespondensi dengan rujukan obyektifitasnya, ilmu hushuli emiliki
kemampuan untuk menjadi benar. Oleh karena itu ada kemungkinan pengetahuan ini
tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang layak dan sebagai akibatnya ia
lantas menjadi benar. Oleh karena itu, ada kemugkinan pengetahuan ini tidak
memenuhi persyaratan-persyaratan yang layak dan sebagai akibatnya ia lantas
menjadi salah. Dalam derajat eksitensi ilmu hudhuri yang tertinggi terdapat
versi kebenaran lain yang, seperti halnya pengetahuan itu sendiri, termasuk dan
digolongkan kedalam tatanan eksistensi dan bukan tatanan konsepsi dan
represetasi.
c. Hubungan antara Ilmu khuduri dengan hushuli
Hubungan ilmu khudhri dengan ilmu hushuli harus dipandang sebagai hubungan
sebab-akibat, hubungan jenis ini tidak lebih dari pada hubuingan sebab-akibat
hakiki yang khas (hubungan sebab efisien dengan akibatnya sendiri), akan tetapi
untuk membedakan kasualitas intelektual ini dari kasualitas fisik-eksternal,
filsafat Iluminasi menyebutkan dalam terminologinya sendiri sebagai “ relasi
iluminatif”.
Untuk melengkapi relasi
iluminatif antara ilmu khuduri dengan hushuli, marilah kita berpaling kepada
kajian komparatif Descrates “cogito ergo sum” (aku berfikir, karena itu
aku ada) Descrates sampai pada suatu
titik dimana dia menemukan dirinya tak lagi rentang terhadap keraguan. Dengan
memusatkan perhatian pada prinsipnya yang tidak diragukan lagi Descrate mengatakan, “ saya benar-benar ragu,
segala sesuatu boleh diragukan, tetapi kenyataan bahwa “saya ragu” adalah
sesuatu yang tidak bisa diragukan.[4]
B. PSIKOLOGI
1. Kedudukan tasawuf dalam psikologi agama
Ketika psikologi agama dan kesehatan mental masuk dalam rung islamisasi
dampaknya mencakup akidah syariat dan ahlak masuk dalam ajaran islam. Psikologi
agama tidak hanya menggunakan paradigma epistimologi humanistik yang cenderung
materialistik tetapi juga menggunakan paradigma epistimologi empirik spiritual.
Psikologi agama mempunyai titik singgung antara tasawuf, psikologi ahlak, dan
kesehatan mental menjadi bagian yang penting dalam menjawab persoalan
psikologis yang menyerang kehidupan masyarakat modern yang meyimpang dari norma
norma sosial maupun agama. Untuk itu tasawuf dijadikan sebagai alternatif
dimensi amalan menggunakan hati yang lebih dekat dengan ilmu psikologi yang
dalam kajiannya lebih mementingkan kesehatan mental, rohani dan jiwa.
Tasawuf berurusan dengan soal penyucian jiwa psikologi manusia agar lebih
dekat pada kehadiran tuhannya, psikologi agama berurusan dengan pengaruh ajaran
agama terhadap prilaku kejiwaan para pemeluknya, sementara kesehtan mental
berurusan dengan soal terhindarnya jiwa dari gangguan dan penyakit kejiwaan,
kemampuan adaptasi kejiwaan, pengendalian diri dan terciptanya integritas
kejiwaan seseorang.Muhammad Aqil mencoba untuk menghimpun beberapa rumusan
hakikat tasawuf sebagai berikut :
a. Tasawuf merupakan kehidupan spiritual
b. Tasawuf adalah kajian tentang hakikat
c. Tasawuf adalah bentuk dari ihsan, aspek ketiga
setelah iman dan Islam
d. Tasawuf merupakan jiwa islam
Keempat rumusan tasawuf itu secara keseluruhan
menekankan aspek psikologi yaitu kejiwaan, spiritual, dan kehidupan mental.
Adapun intisari ajaran tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan
dialog antara roh manusia dan Tuhan.
Psikologi juga menyangkut manusia dan
lingkungannya. Karena agama bersifat transenden, sementara psikologi bersifat
rofan, psikologi tidak bisa memasuki wilayah ajaran agama. Psikologi watak
profannya, sangat terikat dengan pengalaman dunia semata, sementara agama
merupakan urusan Tuhan yang tidak terikat oleh pengalaman hidup manusia.
Menurut Zakiyah Darojat, psikologi agama adalah ilmu yang meneliti pengaruh
agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja
dalam diri seseorang yang menyangkut cara berfikir, bersikap, bereaksi, dan
bertingkah laku yang tidak dipisahkan dari keyakinanya karena keyakinan itu
masih dalam konstruk kepribadiannya. Menurut Jalaluddin dan Ramayulis psikologi
agama merupakan ilmu yang khusus mengkaji sikap dan tingkah laku seseorang yang
timbul dari keyaknian yang dianutya berdasarkan pendekatan psikologi. Sementara
itu, Thoeless membatasi bahwa psikologi agama merupakan ilmu jiwa yang
memusatkan perhatian dan penelitiannya pada perilaku keagamaan dengan
mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi yang diambil dari studi tingkah laku
nonreiligius.[5]
Oleh karena itu, tasawuf dan psikologi agama,
menjadi bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan keduannya,
secara metodologis membantu manusai mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan
demikian, psikologi manusia menjadi sehat.[6]
2. Hubungan Ilmu Psikologi dengan Tasawuf
Objek bahasan psikologi adalah kesehatan mental. Dalam psikiatri dan
Psikoterapi, ikatan mental sering digunakan sebagai nama lain dari kepribadian
yang berarti semua unsur jiwa, termasuk pikiran, emosi, sikap, dan perasaan
yang dalam keseluruhannya memebentuk corak perilaku, mengecewakan atau
menggembirakan, dsb.
Jadi, salah satu objek bahasan ilmu psiologi adalah mental, yaitu mental
yang sehat dan tidak sehat. Mental disini adalah mental dalam hubuungnnya
dengan tindakan manusia dalam kajian psikologi orang yang mentalnya sehat akan merasakan
sehat dalam hidupnya merasa dirinya berguna, dapat menyesuaikan diri dengan
berbagai keadaan sehingga terhindar dari sters dan perilaku yang tidak baik dan
atau tercela.
Hal ini tidak sama dengan bermental tidak sehat akan melahirkan rasa tidak
nyaman dalam kehidupannya tidaak nyamannya itu bergantung pada tingkat
ketidakmentalan tersebut jika terlalu parah, kesengsaraaan batin akan
dirasakannya berupa kegelisahan meskipun ia tidak tau apa yang digelisahkan.
Mental yang tidak sehat juga akan melahirkan perilaku-perilaku yang selalu
tidak menyenangkan baik bagi diri maupun lingkungannya.
Di dalam ilmu tasawuf juga dibahas hubungan antara jiwa dan jasmani. Ini
dirumuskan oleh para sufi untuk melihat sejauh mana hubungan perilaku manusia
dengan dorongaan yang dimunculkan oleh jiwannya sehingga perbuatan tersebut
tidak dapat terjadi. Menurut para sufi, perilaku seseorang bergantung pada
jenis jiwa yang berkuaa dalam dirinya. Apakah dikuasai oleh nafsu hewani atau
dikuasai oleh cahaya ilahi. Karena itulah, dalam tasawuf, jiwa mesti dikerjakan
dengan latihan dan amalan.
Perlu dipertegas disini bahwa ilmu tasawuf lebih mengonsentrasikan
kebersihan jiwa dengan pendekatan diri dengan Tuhan melalui berbagai ibadah
sedangkan psikologi tidak demikian, psikologi lebih banyak menggunakan teori –
teori dengan berbagai solusi dalam konteks ibadah atau zikir yang lebih dikenal
dengan tasawuf.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme
dan logos, yang keduanya
berarti pengetahuan atau ilmu. Ini berarti epistemologi adalah ilmu pengetahuan
tentang pengetahuan atau ilmu tentang ilmu.
Dalam perspektif epistemologi ilmu Islam, ada
beberapa hal pokok yang harus diperhatikan, yaitu: Sumber Ilmu Pengetahuan
Islam yang sederhana, dan Batasan Ilmu Pengetahuan, yang dibagi menjadi :
1. Pembahasan Filosofis Berkenaan Dengan Kategori
2. Kesatuan Subjek dan Objek.
3. Wujud Dzihni (wujud yang ada dalam pikiran)
4. Tolak Ukur Benar dan Salah
5. Batasan Kemampuan Akal Budi Manusia
Ilmu Khuduri adalah sejenis pengetahuan yang
semua hubungannya berada dalam kerangka dirinnya sendiri, sehingga gagasan
tersebut bisa dipandang benar tanpa implikasi appaun terhadap acuan objektif
eksternal yang membutuhkan hubungan eksterior. Sedangkan Ilmu hushuli
(pengetahuan dengan korespondensi)
ditandai oleh keterlibatan pengertian ganda obyektivitas ( yakni ilmu
hushuli mempunyai dua obyek, yaitu obyek subtektif-esensial dan obyek obyektif
– aksidental).
Tasawuf berurusan dengan soal penyucian jiwa
psikologi manusia agar lebih dekat pada kehadiran tuhannya, psikologi agama
berurusan dengan pengaruh ajaran agama terhadap prilaku kejiwaan para
pemeluknya, sementara kesehtan mental berurusan dengan soal terhindarnya jiwa
dari gangguan dan penyakit kejiwaan
Ilmu tasawuf lebih mengonsentrasikan
kebersihan jiwa dengan pendekatan diri dengan Tuhan melalui berbagai ibadah
sedangkan psikologi tidak demikian, psikologi lebih banyak menggunakan teori –
teori dengan berbagai solusi dalam konteks ibadah atau zikir yang lebih dikenal
dengan tasawuf
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Hasyim.
Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi . Yogyakarta. Pustaka Pelajar Ofset. 2002
Noor Ma’rufin.
Epsitemologi Ilmu Khuduri dalam Perspektif Tasawuf. Yogyakarta:Idea
Press. 2009.
Rasihi Anwar, Mukhtar
Solihin. Ilmu tasawuf. Jakarta: CV Pustaka Setia, 2004.
Tamami.Psikologi Tasawuf. Bandung:UIN
Gunung Jati.2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar