Minggu, 12 November 2017

Makalah TASAWUF SEBAGAI MADZHAB EPISTEMOLOGI DAN PSIKOLOGI



TASAWUF SEBAGAI MADZHAB EPISTEMOLOGI DAN PSIKOLOGI
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu : H. Jaenal Arifin, M. Ag.

Description: Description: STAIN.png
  
Disusun Oleh :
Budi Utomo                (1520110024)
Islakhudin                   (1520110025)
 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI AKHWALUS SYAHSIYAH
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pembinaan manusia seutuhnya tidak bisa menyampingkan faktor agama,  sebab agama bagaimanapun sebagai bangunan bawah dari moral suatu bangsa. Agama adalah sumber dari sumber nilai dan norma yang memberi  petunjuk, mengilhami, dan mengikat masyarakat yang bermoral yang akan menjadi solidaritas dan karena agamalah satu-satunya yang memiliki dimensi kedalam kehidupan manusia.
Tasawuf membina manusia agar mempunyai mental utuh dan tangguh, sebab didalam ajarannya yang menjadi sasaran utamanya adalah manusia dengan segala tingkah lakunya. Tasawuf mengajarkan bagaimana rekayasa agar manusia dapat menjadi insan yang berbudi luhur, baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai hamba dalam hubungannya dengan Khaliq pencipta alam semesta. Mengingat adanya hubungan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas tasawuf dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan.Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan ini dikonsepsikan oleh para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi.[1]
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Hakikat Epsitemologi?
2.      Bagaimana Epistemologi Dalam Islam?
3.      Bagaimana Epistemologi Ilmu Khuduri Dan Ilmu Hushuli Itu?
4.      Bagaimana Kedudukan Tasawuf Dalam Psikologi Agama?
5.      Apa Hubungan Psikologi Dengan Ilmu Tasawuf?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    EPISTEMOLOGI
1.      Hakikat Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme dan logos, yang keduanya berarti pengetahuan atau ilmu. Ini berarti epistemologi adalah ilmu pengetahuan tentang pengetahuan atau ilmu tentang ilmu. Teori pengetahuan, begitulah sederhanannya epistemologi diterjemahkan ke bahasa indonesia, sedangkan dalam tradisi filsafat Islam disebut dengan nazhariah al-ma’rifah. Menurut kamus – kamus  filsafat, umumnya epistemologi dipandang sebagai teori mengenai pengetahuan (the theory of kenowledge). Epistemologi merupakan bagian dari kajian filsafat yang spesialisasi membidangi kajian mengenai segala hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan, seperti tabiat, landasan, sifat, jenisnya, asal mula, objek, struktur, cara, proses, ukuran atau validitas ilmu.
Epistemologi didefinisikan sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, praangapan-pranggapan dan daar-dasarnya serta reliabilitas umum untuk mengklaim sesuatu sebagai (ilmu) pengetahuan.
Dalam ilmu pengetahuan, kita telah tahu bahwa suatu teori yang kemarin dianggap paling “benar” bisa akan diubah atau ditolak oleh teori baru yang muncul berikutnya. Artinya teori yang terkuat didapatkan hari ini tidak mustahil akan ditolak dan diubah hari esok, dan begitu seterusnya. Disamping kenyataan sering terjadinya perbedaan pendapat dikalangan ilmuan dan ketika para ilmuwan saling memberikan argumentasinya, bisa terjadi argumentasi yang polemik.[2]
2.      Epistemologi Islam
Pembahasan ilmu pengetahuan dalam Islam dapat ditinjau dari dua sisi yaitu Ontologi dan Epsitemologi. Secara Ontologis, kita bisa membahas ilmu dari keberadaanya, apakah ia materi atau bukan dan sama sekali tidak membahas tentang gamabaran atau comprehensif ilmu. Adapun dari segi epistemologi yaitu membahas tentang ilmu dari reprensitifnya setelah kita membuktikan secara ontologis tentang keberadaan ilmu tersebut. Jadi, bisa dikatakan bahwa kajian epistemologi ini sebenarnya adalah pembahasan yang kedua. Meskipun demikian secara subtansial pembahasan epistemologi ini sangat berbeda dengan pemabahsan yang pertama tadi.
Banyak filosofi Islam mencurahkan segala kemampuan mereka untuk mengkaji pembahasan seputar epistemologi. Salah satu pembahasan yang menjadikan pertentangan diantara filosofi muslim adalah berkaitan dengan tolak ukur benar atau salah. Para filosofi Islam  berpendapat bahwa antara alam understanding (dzihni) dan alam eskternal (khariji) memilik hubungan yang erat. Gambaran yang dimiliki oleh ilmu alam understanding adalah gambaran yang tidak sekedar nyata, namun yang memiliki kenyataan (realitas). Akan tetapi, para filosof yang lain berpendapat bahwa hubungan antra alam understanding dan eksternal bukanlah hubugan gamabr dengan objeknya.
Dalam perspektif epistemologi ilmu Islam, ada beberapa hal pokok yang harus diperhatikan, yaitu:
a.       Sumber Ilmu Pengetahuan Islamyang sederhana,
Ilmu manusia tersusun hal-hal yamg sederhana. Contohnya, kalau kita hnedak mengetahui manusia, maka kita terlebih dahulu harus mengetahui definisi manusia sehingga kita dapat membedakan antara manusia dari yang lainnya.. pengetahuan kita tentang manusia tersusun dar beberapa hal-hal yang simple yaitu bahwa manusia berfikir, berbadan dan berperasaan. Akan tetapi yang menjadi kanjian para filosofi Islam adalah dari manakah manusia mendapatkan ilmu-ilmu simple tersebut? Dengan metode apa? Dari sinilah berbagai munculnya perbedaan filosof-filosof antara Plato dan Ariestoteles, antar Avvesina dan Syuhrawadi, antara kaum paripatetik daaan intuitivis, serta antara rasionalis dan empiris.
b.      Batasan Ilmu Pengetahuan
Beberapa pandangan umum terhadap kajian epistemologi di dalam litelatur Islam antara lain sebagai berikut:
1)      Pembahasan Filosofis Berkenaan Dengan Kategori
Realitas di alam ini oleh para filosof dibagi dalam beberapa kategori, mislanya manusia dengan hewan dikategorikan sebagai makhluk hidup. Makhluk hidup dan tak hidup dikategorikan sebagai materi. Materi dan non materi dikategorikan sebagai substansi. Substansi inilah yang menempati kategori tertinggi (jins’aly). Artinya realitas di alam ini terbagi menjadi beberapa jins’aly antara lain, substansi, kualitas, madah (bahan materi), dan shurah bentuk.
Dalam ilmu ini juga dibahas kategori kaif (kualitas) yang dibagi menjadi empat bagian yaitu kaif mahsus (kualitas yang dapat diindera), kaif nafsani (kualitas yang ada pada jiwa), kaif khusus yang berhubungan dengan kualitas dan kaif isti’dadi (kualitas potensial). Untuk kaif nafsani, mereka menyebutkan beberapa contoh antara lain: keinginan, rasa sakit, kehendak, dll. Mereka meletakkan ilmu sebagai bagian dari kaif nafsani. Ilmu yang masuk dalam bagian kaif nafsani tersebut adalah ilmu hushuli yaitu bersifat aksidental bagi jiwa (nafs).
2)      Kesatuan Subjek dan Objek.
Kajian yang dimunculkan oleh Fakhr Al-Razi mengalami perkembangan yang cukup pesat pada zaman Mulla Sandra. Dalam kitab monumentalnya, “ Al-Asfar Al-Arba’ah” beliau menjelaskan secara terperinci masalah-masalah yang berhubungan dengan tingkatan-tingkatan ilmu, pembagian ilmu kepada instutif knowledge dan empirical, serta pembahasan tentang kesatuan objek dan subjek pengetahuan.
3)      Wujud Dzihni (wujud yang ada dalam pikiran)
Masalah ini menjadi pembeda signifikan antara filosof dengan teolog (mutakallimin). Para teolog mengingkari masalah ini dengan memaparkan pendapat yang bertentangan dengan pendapat filosof. Mereka memunculkan pandangan “idhafah” ataupun “syabah”.
4)      Tolak Ukur Benar dan Salah
Dari pembahasan ini agar ilmu yang benar harus memiliki tolak ukur yang jelas bercabang beberapa pembahasan, yaitu:
a)      Makna hakekat
b)      Definisi hakekat, teori kesamaan hakekat
c)      Letak tolak ukur tersebut
5)      Batasan Kemampuan Akal Budi Manusia
Kita berpijak pada satu dasar yang pasti bahwa, di dalam diri manusia ada kedondong dan keinginan rasa tahu terhadap sesuatu. Tetapi, apakah ia mampu untuk mengetahui segala macam yang ia inginkan ataukah tidak. Keampuan manusia hanya terbatas pada hal-hal material yang dapat ia idra dan bahasan metafisik keluar dari kemampuannya. Para filosof muslim meyakini bahwa akal budi manusia mampu mengetahu hal-hal material dan metafisk, namun ketika berhadapan dengan masalah zat Tuhan mereka berhenti dan diam, dari situlah ada pesan yang tersirat bahwa ilmu manusia terbatas.
3.      Epistemologi Ilmu Khuduri dan Hushuli
a.       Ilmu Khuduri
Ilmu Khuduri adalah sejenis pengetahuan yang semua hubungannya berada dalam kerangka dirinnya sendiri, sehingga gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa implikasi appaun terhadap acuan objektif eksternal yang membutuhkan hubungan eksterior. Artinya, hubungan mengetahui, dalam bentuk pengetahuan tersebut adalah  hubungan semua objek tanpa campur tangan koneksi dengan objek eskternal, artinya jenis objek yang telah menjadi objek esensial bagi sebuah gagasan pengetahuan menurut ilmu khuduri bersifat objek objektif.
Salah satu ciri ilmu dan pengetahuan khuduri adalah kebebasannya dari dulisme kebenaran dan kesalahan (yakni senantiasa sesuai dengan kebenaran dan realitas). Hal ini karena esensi pola pengetahuan ini tidak berhubungan dengan gagasan korespondensi. karena dualisme kebenaran dan kesalahan bergantung secara substansi pada hubungan korespondensi, pertama antara obyek “subyektif-esensial” (obyek yang terdapat dalam alam pikiran) dengan “obyek aksidental” obyek eksternal dan kedua antara “pernyataan” dengan “acuan obyektifnya” maka tidak akan ada penerapan dualisme seperti dalam pengetahuan dan ilmu khuduri.
Ciri dan karakteristik lain “penggetahuan dengan kehadiran” (ilmu hudhuri) adalah kebebasan dari perbedaan antara “pengetahuan dengan konsepsi” (tashawwur) dan “pengetahuan dengan konfirmasi” (tashdiq) . tidak seperti pengetahuan dengan korespondensi (kehadiran). Perbedaan ini dibuat oleh Ibu Sina dalam karyannya Al-Mantiq untuk menguraikan dedfinisi konsepsi dan konfirmasi. Dia menulis “setiap pengetahuan dan kesadaran diperoleh melalui konsepsi atau konfirmasi”. Pengetahuan dengan “konsepsi” adalah pengetahuan primer yang bisa diperoleh melalui definisi atau apa saja yang berfungsi sebagai definisi, seolah-olah dengan definisi kita bisa mengetahui tentang esensi manusia. Pengetahuan dengan “konfirmasi” di lain pihak adalah penegetahuan yang bisa diperoleh dengan “inferensi” yakni kita mempercayai suatu proposisi bahwa “ segala sesuatu mempunyai permulaan” (segala sesuatu memiliki Pencipta)
            Dalam sistem filsafat Iluminasi ini, apabila orang mengatakan bahwa “Tuhan adalah kebenaran”, maka dia sebenarnya ,mengatakan bahwa “Tuhan itu ada” atau “Tuhan adalah Wujud yang Wajib” juga disini kita menyetarakan ilmu khuduri dengan semacam “keseketikaan” atau “kehadiran langsung”realitas objek dalam pikiran , maka kita berada dalam posisi yang sah untuk menerapkan pengertian eksitensial kebenaran seperti itu terhadap realitas ilmu hudhuri. Tetapi disini dualisme logis antara kebenaran dan kesalahan maupun pembeda logis antara konsep dan keyakinan tidak bisa diterapkan pada wilayah pengetahuan dan ilmu huduhuri, akan tetapi akan lebih tepat apabila dikatakan bahwa keduanya adalah sifat-sifat yang layak bagi ilmu hsuhuli (pengetahuan dengan korespondensi).[3]
b.      Ilmu Hushuli
Ilmu hushuli (pengetahuan dengan korespondensi)  ditandai oleh keterlibatan pengertian ganda obyektivitas ( yakni ilmu hushuli mempunyai dua obyek, yaitu obyek subtektif-esensial dan obyek obyektif – aksidental). Ia mempunayi objek subyektif (yang terletak dalam pikiran), sebagai esensi yang diperlukan oleh pengetahuan seperti itu, dan juga mempunyai obyek obyektif yang terletak diluar tatanan konsepsi (yang terletak di alam eksternal) dan merupakan rujukan obyekti pengetahuan tersebut. Obyek yang pertama oleh filsafat Iluminasi disebut “obyek yang hadir” dan obyek yang terakhir disebut “obyek yang tak hadir” yang realitasnya terpisah dari realitas pikiran “subyek yang mengetahui”
Ilmu hushuli adalah pengetahuan dimana terdapat dua jenis obyek yaitu obyek internal dan eksternal, artinya, baik obyek subjektif maupun objektif harus sudah berada dalam tatanan aktual, dan ada hubungan korespondensi antara kedua obyek tersebut. Karena hubungan korespondensi bersifat aksidental, artinya denga realitas eksternal , maka dualisme logis kebenaran dan kesalahan, atau kekeliruan, perlu dipertimbangkan.
Melalui korespondensi dengan rujukan obyektifitasnya, ilmu hushuli emiliki kemampuan untuk menjadi benar. Oleh karena itu ada kemungkinan pengetahuan ini tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang layak dan sebagai akibatnya ia lantas menjadi benar. Oleh karena itu, ada kemugkinan pengetahuan ini tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang layak dan sebagai akibatnya ia lantas menjadi salah. Dalam derajat eksitensi ilmu hudhuri yang tertinggi terdapat versi kebenaran lain yang, seperti halnya pengetahuan itu sendiri, termasuk dan digolongkan kedalam tatanan eksistensi dan bukan tatanan konsepsi dan represetasi. 
c.       Hubungan antara Ilmu khuduri dengan hushuli
Hubungan ilmu khudhri dengan ilmu hushuli harus dipandang sebagai hubungan sebab-akibat, hubungan jenis ini tidak lebih dari pada hubuingan sebab-akibat hakiki yang khas (hubungan sebab efisien dengan akibatnya sendiri), akan tetapi untuk membedakan kasualitas intelektual ini dari kasualitas fisik-eksternal, filsafat Iluminasi menyebutkan dalam terminologinya sendiri sebagai “ relasi iluminatif”.
Untuk melengkapi relasi iluminatif antara ilmu khuduri dengan hushuli, marilah kita berpaling kepada kajian komparatif Descrates “cogito ergo sum” (aku berfikir, karena itu aku ada) Descrates  sampai pada suatu titik dimana dia menemukan dirinya tak lagi rentang terhadap keraguan. Dengan memusatkan perhatian pada prinsipnya yang tidak diragukan lagi  Descrate mengatakan, “ saya benar-benar ragu, segala sesuatu boleh diragukan, tetapi kenyataan bahwa “saya ragu” adalah sesuatu yang tidak bisa diragukan.[4]
B.     PSIKOLOGI
1.      Kedudukan tasawuf dalam psikologi agama
Ketika psikologi agama dan kesehatan mental masuk dalam rung islamisasi dampaknya mencakup akidah syariat dan ahlak masuk dalam ajaran islam. Psikologi agama tidak hanya menggunakan paradigma epistimologi humanistik yang cenderung materialistik tetapi juga menggunakan paradigma epistimologi empirik spiritual. Psikologi agama mempunyai titik singgung antara tasawuf, psikologi ahlak, dan kesehatan mental menjadi bagian yang penting dalam menjawab persoalan psikologis yang menyerang kehidupan masyarakat modern yang meyimpang dari norma norma sosial maupun agama. Untuk itu tasawuf dijadikan sebagai alternatif dimensi amalan menggunakan hati yang lebih dekat dengan ilmu psikologi yang dalam kajiannya lebih mementingkan kesehatan mental, rohani dan jiwa.
Tasawuf berurusan dengan soal penyucian jiwa psikologi manusia agar lebih dekat pada kehadiran tuhannya, psikologi agama berurusan dengan pengaruh ajaran agama terhadap prilaku kejiwaan para pemeluknya, sementara kesehtan mental berurusan dengan soal terhindarnya jiwa dari gangguan dan penyakit kejiwaan, kemampuan adaptasi kejiwaan, pengendalian diri dan terciptanya integritas kejiwaan seseorang.Muhammad Aqil mencoba untuk menghimpun beberapa rumusan hakikat tasawuf sebagai berikut :
a.       Tasawuf merupakan kehidupan spiritual
b.      Tasawuf adalah kajian tentang hakikat
c.       Tasawuf adalah bentuk dari ihsan, aspek ketiga setelah iman dan Islam
d.      Tasawuf merupakan jiwa islam
Keempat rumusan tasawuf itu secara keseluruhan menekankan aspek psikologi yaitu kejiwaan, spiritual, dan kehidupan mental. Adapun intisari ajaran tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dan Tuhan.
Psikologi juga menyangkut manusia dan lingkungannya. Karena agama bersifat transenden, sementara psikologi bersifat rofan, psikologi tidak bisa memasuki wilayah ajaran agama. Psikologi watak profannya, sangat terikat dengan pengalaman dunia semata, sementara agama merupakan urusan Tuhan yang tidak terikat oleh pengalaman hidup manusia. Menurut Zakiyah Darojat, psikologi agama adalah ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut cara berfikir, bersikap, bereaksi, dan bertingkah laku yang tidak dipisahkan dari keyakinanya karena keyakinan itu masih dalam konstruk kepribadiannya. Menurut Jalaluddin dan Ramayulis psikologi agama merupakan ilmu yang khusus mengkaji sikap dan tingkah laku seseorang yang timbul dari keyaknian yang dianutya berdasarkan pendekatan psikologi. Sementara itu, Thoeless membatasi bahwa psikologi agama merupakan ilmu jiwa yang memusatkan perhatian dan penelitiannya pada perilaku keagamaan dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi yang diambil dari studi tingkah laku nonreiligius.[5]
Oleh karena itu, tasawuf dan psikologi agama, menjadi bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan keduannya, secara metodologis membantu manusai mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan demikian, psikologi manusia menjadi sehat.[6]
2.      Hubungan Ilmu Psikologi dengan Tasawuf
Objek bahasan psikologi adalah kesehatan mental. Dalam psikiatri dan Psikoterapi, ikatan mental sering digunakan sebagai nama lain dari kepribadian yang berarti semua unsur jiwa, termasuk pikiran, emosi, sikap, dan perasaan yang dalam keseluruhannya memebentuk corak perilaku, mengecewakan atau menggembirakan, dsb.
Jadi, salah satu objek bahasan ilmu psiologi adalah mental, yaitu mental yang sehat dan tidak sehat. Mental disini adalah mental dalam hubuungnnya dengan tindakan manusia dalam kajian psikologi orang yang mentalnya sehat akan merasakan sehat dalam hidupnya merasa dirinya berguna, dapat menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan sehingga terhindar dari sters dan perilaku yang tidak baik dan atau tercela.
Hal ini tidak sama dengan bermental tidak sehat akan melahirkan rasa tidak nyaman dalam kehidupannya tidaak nyamannya itu bergantung pada tingkat ketidakmentalan tersebut jika terlalu parah, kesengsaraaan batin akan dirasakannya berupa kegelisahan meskipun ia tidak tau apa yang digelisahkan. Mental yang tidak sehat juga akan melahirkan perilaku-perilaku yang selalu tidak menyenangkan baik bagi diri maupun lingkungannya.
Di dalam ilmu tasawuf juga dibahas hubungan antara jiwa dan jasmani. Ini dirumuskan oleh para sufi untuk melihat sejauh mana hubungan perilaku manusia dengan dorongaan yang dimunculkan oleh jiwannya sehingga perbuatan tersebut tidak dapat terjadi. Menurut para sufi, perilaku seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuaa dalam dirinya. Apakah dikuasai oleh nafsu hewani atau dikuasai oleh cahaya ilahi. Karena itulah, dalam tasawuf, jiwa mesti dikerjakan dengan latihan dan amalan.
Perlu dipertegas disini bahwa ilmu tasawuf lebih mengonsentrasikan kebersihan jiwa dengan pendekatan diri dengan Tuhan melalui berbagai ibadah sedangkan psikologi tidak demikian, psikologi lebih banyak menggunakan teori – teori dengan berbagai solusi dalam konteks ibadah atau zikir yang lebih dikenal dengan tasawuf.[7]









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme dan logos, yang  keduanya berarti pengetahuan atau ilmu. Ini berarti epistemologi adalah ilmu pengetahuan tentang pengetahuan atau ilmu tentang ilmu.
Dalam perspektif epistemologi ilmu Islam, ada beberapa hal pokok yang harus diperhatikan, yaitu: Sumber Ilmu Pengetahuan Islam yang sederhana, dan Batasan Ilmu Pengetahuan, yang dibagi menjadi :
1.      Pembahasan Filosofis Berkenaan Dengan Kategori
2.      Kesatuan Subjek dan Objek.
3.      Wujud Dzihni (wujud yang ada dalam pikiran)
4.      Tolak Ukur Benar dan Salah
5.      Batasan Kemampuan Akal Budi Manusia
Ilmu Khuduri adalah sejenis pengetahuan yang semua hubungannya berada dalam kerangka dirinnya sendiri, sehingga gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa implikasi appaun terhadap acuan objektif eksternal yang membutuhkan hubungan eksterior. Sedangkan Ilmu hushuli (pengetahuan dengan korespondensi)  ditandai oleh keterlibatan pengertian ganda obyektivitas ( yakni ilmu hushuli mempunyai dua obyek, yaitu obyek subtektif-esensial dan obyek obyektif – aksidental).
Tasawuf berurusan dengan soal penyucian jiwa psikologi manusia agar lebih dekat pada kehadiran tuhannya, psikologi agama berurusan dengan pengaruh ajaran agama terhadap prilaku kejiwaan para pemeluknya, sementara kesehtan mental berurusan dengan soal terhindarnya jiwa dari gangguan dan penyakit kejiwaan
Ilmu tasawuf lebih mengonsentrasikan kebersihan jiwa dengan pendekatan diri dengan Tuhan melalui berbagai ibadah sedangkan psikologi tidak demikian, psikologi lebih banyak menggunakan teori – teori dengan berbagai solusi dalam konteks ibadah atau zikir yang lebih dikenal dengan tasawuf

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Hasyim. Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi . Yogyakarta. Pustaka Pelajar Ofset. 2002
Noor Ma’rufin. Epsitemologi Ilmu Khuduri dalam Perspektif Tasawuf. Yogyakarta:Idea Press.     2009.
Rasihi Anwar, Mukhtar Solihin. Ilmu tasawuf. Jakarta: CV Pustaka Setia, 2004.
Tamami.Psikologi Tasawuf. Bandung:UIN Gunung Jati.2004.



[1] Rasihi Anwar, Mukhtar Solihin. Ilmu tasawuf, Jakarta: CV Pustaka Setia, 2004, hlm., 7-9.

[2] Noor Ma’rufin, Epsitemologi Ilmu Khuduri dalam Perspektif Tasawuf, Yogyakarta:Idea Press, 2009, hlm.,124-134.
[3] Ibid hlm., 184-201.
[4] Ibid, hlm., 224-244.
[5] Muhammad Hasyim,  Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi . Yogyakarta. Pustaka Pelajar Ofset, 2002, hlm., 22-34.
[6] Tamami,Psikologi Tasawuf, Bandung:UIN Gunung Jati,2004, hlm., 85-89.
[7] Ibid, hlm.,38-39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

New Post

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Dose...