Senin, 09 Oktober 2017

ISTIHSAN DAN MASLAHAH MURSALAH




MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Abdul Haris Na’im, S.Ag., M,Hum










Disusun oleh:
1.      Rendi Permana            (1520110009)
2.      Budi Utomo                (1520110024)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EONOMI ISLAM
PRODI AHWAL SYAKHSIYYAH
TAHUN 2017

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pertumbuhan ushul fiqih tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman Rasulullah saw. Di zaman Rasulullah sumber hukum Islam hanya ada dua yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila muncul suatu kasus, maka para sahabat langsung bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi setelah Rasulullah wafat, muncullah berbagai cara untuk menetapkan suatu hukum.
Bertebarnya para sahabat di berbagai daerah juga mempengaruhi para sahabat dalam menetapkan hukum. Akibatnya, dalam kasus yang sama, hukum di satu daerah dapat berbeda dengan daerah lainnya. Perbedaan hukum ini berawal dari perbedaan cara pandang dalam menetapkan hukum pada kasus tersebut.
Dalam makalah ini, akan membahas dua metode penetapan hukum yang dipakai para mujtahid dalam menetapkan suatu hukum yaitu masalahah mursalah dan istihsan
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan Istihsan?
2.      Apa dasar-dasar Istihsan?
3.      Bagaimana pembagian Istihsan?
4.      Bagaimana kehujjahan Istihsan
5.      Apa pengertian Maslahah Mursalah?
6.      Bagaimana syarat-syarat Maslahah Mursalah?
7.      Apa saja macam-macam Maslahah Mursalah?
8.      Bagaimana kehujahan Maslahah Mursalah?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    lstishsan
1.      Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik terhadap sesuatu. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih, istihsan adalah berpalingnya (pindahnya) seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang Khafi (samar), atau dari hukum Kulli (umum) kepada hukum istitsnai (pengecualian), karena terdapat dalil yang mementingkan perpindahan.
Apabila ada kejadian yang tidak terdapat nash hukumnya, maka untuk menganalisisnya dapat menggunakan aspek yang berbeda, yaitu :
1.      : Aspek nyata (zahir) yang menghendaki suatu hukum tertentu.
2.      : Aspek tersembunyi (khafi) yang menghendaki hukum lain.[1]
2.      Dasar-Dasar Istihsan
Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt:
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الألْبَابِ
Artinya: “dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya”.[2]
Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
3.      Pembagian Istihsan
Para ulama yang mendukung penggunaan istihsân membagi istihsân dalam terbagi menjadi: istihsân dengan nash, ijmâ’, dhorurat, qiyâs khafî, ‘urf, dan mashlahah.[3]
a.       Istihsân dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyâs dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh al-Qur’ân atau al-Sunnah. Diantara contohnya adalah: hukumnya orang yang lupa makan atau minum saat berpuasa, jika memakai qiyâs maka batal puasanya sebab ada sesuatu yang masuk ke lambung jika seseorang makan atau minum. Tetapi ada pengecualian dari Rasulullah SAW:
مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا وَهْوَ صَائِمٌ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
Artinya: “Barang siapa makan atau minum dalam keadaan lupa, maka wajib baginya menyempurnakan puasanya, sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan atau minum”.[4]
b.      Istihsân dengan ijmâ’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijmâ’ - baik yang sharih maupun sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyâs atau kaidah umum. Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyâs seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsân pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.[5]
c.       Istihsân dengan ‘urf. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyâs menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan. Salah satu contoh Istihsân dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut masjid dengan sebutan rumah (al-bait) .Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk masjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam masjid.[6]
d.      Istihsân dengan dhorurat. yakni seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyâs, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
Salah satu contohnya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari; seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal karena hal tersebut. Dan ini dilandaskan pada istihsân dengan kondisi darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyâs seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, maka itu membatalkan puasanya.[7]
e.       Istihsân dengan Qiyâs Khafi. yakni seorang mujtahid melihat ada suatu kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyâs jalî untuk mengunggulkan qiyâs khafî.
Penggunaannya berkebalikan dengan qiyâs jali, seperti wakaf tanah pertanian, menurut qiyâs jali: wakaf ini menyerupai akad penjualan perumahan dalam kepemilikan penuh, maka termasuk didalamnya ini hak untuk tidak dilewati, dibuat jalan, istirahat minum dan sebagainya. Sedangkan apabila menggunakan qiyâs khafi: maka wakaf ini menyerupai akad sewa, sehingga termasuk didalamnya masih ada hak untuk dilewati, dibuat jalan, istirahat minum dan sebagainya.
f.        Istihsân dengan mashlahah. Yakni jika ditemukan kemashlahatan yang berada dalam sebuah permasalahan. Seperti wasiat yang dilakukan oleh mahjûr (orang yang dicegah atau larang untuk membelanjakan hartanya). Menurut qiyâs maka wasiat ini tidak diperbolehkan, karena termasuk mendiamkan hartanya. Tetapi menurut kemashlahatan diperbolehkan adanya wasiat. Karena wasiat jatuh saat orang yang mewasiatkan meninggal dunia. Hal ini untuk memberikan kesempatan pada dia untuk mendapatkan pahala wasiat, tetapi meniadakan kedhoruratan saat hidupnya.



4.      Kehujjahan Istihsan
Jumhur Malikiyah dan Hanafiyah menetapkan bahwa Istihsan adalah suatu dalil syar’i yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum terhadap sesuatu yang ditetapkan oleh Qiyas atau keumuman nas.
Ulama hanafiyah menggunakan istihsan ini dengan alasan berdalil dengan istihsan itu sebenarnya sama dengan berdalil dengan qiyas khafi atau berdalil dengan istihlah, kesemuanya dapat diterima.
Menurut asy-Syafi’i, istihsan itu sekali-kali bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunakan istihsan sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri semata yang mungkin benar dan mungkin pula salah. Ibnu hazm termasuk  salah seorang ulama’ yang menolak istihsan. Beliau menganggap bahwa istihsan itu, berarti menganggap baik terhadap sesuatu menurut hawa nafsunya, bisa benar bisa pula salah. Misalnya mengharamkan sesuatu tanpa dalil.
Perselisihan para ulama’ mengenai kehujjahan dan kebolehan istihsan dijadikan sebagai jalan ijtihad ini, sebenarnya terletak pada perbedaan mereka dalam memberikan batasan terhadap istihsan itu sendiri, jadi bukan pada operasionalnya dalam menetapkan hukum berdasarkan istihsan. Jika istihsan diberi batasan sebagai mana dikemukakan oleh ulama’ hanafiyah atau ulama’ malikiyyah, maka sebenarnya ulama’ syafi’iyyah menggunakan cara mengistinbathkan hukum seperti itu. Segolongan ulama’ berpendapat bahwa istihsan bukan dalil yang berdiri sendiri, tetapi memerlukan dan berpokok pangkal pada dalil syar’i lain.[8]

B.     Maslahah Mursalah
1.      Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa arab صَلَحَ- يَصْلُحُ  menjadi صُلْحًا atau    مَصْلَحَةً yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul yaituاَرْسَلَ – يُرْسِلُ ـ اِرْسَالاً – مُرْسَلٌ  menjadi مُرْسَلٌ  yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi maslahah mursalah yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan untuk menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).[9]
Menurut istilah para ahli ushul fiqih, maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan dimana Syari’ tidak mensyari’atkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuan atau pembatalannya.[10]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa malahah mursalah adalah suatu hukum yang ditetapkan untuk memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak madharat dan meraih maslahah.
2.      Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan  hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari’atnya.
Syarat-syarat itu adalah:
a.       Maslahah itu harus hakikat bukan dugaan. Pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.
Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syariat, tidaklah diperlukan, seperti dalih maslahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak istrinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini, tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan istrinya ditegakkan diatas suatu dasar paksaan undang-undang tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.
b.      Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit.
c.       Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari’. Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh syari’. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
d.      Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, dimana nash yang sudah ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.[11]
3.      Macam-macam Maslahah Mursalah
Ulama Ushul Fiqh membagi maslahah kepada tiga bagian, yaitu :
a.       Maslahah Dharuriyah
Yaitu perkara-perkara yang menjadi tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalela kerusakan, timbullah fitnah dan kehancuran yang hebat.
Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu:
1)      Agama. Diantara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara agama adalah kewajiban jihad untuk mempertahankan akidah Islamiyah.
2)      Jiwa. Diantara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewjiban berusaha memperoleh makanan, minuman dan pakaian untuk mempertahankan hidup. 
3)      Akal. Diantara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah untuk meninggalkan minum khamr dan segala sesuatu yang memabukkan.
4)      Keturunan. Diantara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah kewajiban untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina.
5)      Harta. Diantara syari’at yang diwajibkan untuk memlihara harta adalah menjauhi pencurian dan berusaha mendapatkan rezeki dengan cara halal.
b.      Maslahah Hajjiyah
Yaitu semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan.
Misalnya dalam hal ibadah adalah dibolehkannya qashar salat, berbuka puasa bagi orang sakit dan musafir. Selain itu, hajjiyah juga termasuk dalam memlihara kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan beragama. Sebab dengan kemerdekaan tersebut, luruslah gerak langkah hidup manusia.
c.       Maslahah Tahsiniyah
Yaitu mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak.
Misalnya kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, larangan menjual benda-benda najis, dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika jual-beli.[12]
4.      Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul, diantaranya :
a.       Maslahah Mursalah tidak dapat menjadi hujjah atau dalil menurut ulama-ulama Syafi’iyyah, ulama Hanafiyah, dan sebagian ulama Malikiyyah, seperti lbnu Hajib.
b.      Maslahah Mursalah dapat menjadi hujjah atau dalil menurut sebagian ulama Malikiyyah dan sebagian ulama Syafi’iyyah, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul.
Jumhur Hanafiyyah dan Syafi’iyyah mensyaratkan tentang maslahah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhobit (tepat) sehingga dalam hubungan hukum itu terdapat tempat untuk merealisir kemaslahatan.
c.       Imam Al-Qarafi berkata bahwa sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua madzhab, karena mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.[13]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Istihsan
Istihsan adalah berpalingnya (pindahnya) seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang Khafi (samar), atau dari hukum Kulli (umum) kepada hukum istitsnai (pengecualian), karena terdapat dalil yang mementingkan perpindahan.
Dasar-dasarnya terdapat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang maknanya denotatif, yaitu QS. Az-Zumar: 18, 55 dan hadits Nabi “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”
Pembagian Istihsan: istihsân dengan nash, ijmâ’, dhorurat, qiyâs khafî, ‘urf, dan mashlahah.
Segolongan ulama’ berpendapat bahwa istihsan bukan dalil yang berdiri sendiri, tetapi memerlukan dan berpokok pangkal pada dalil syar’i lain.
2.      Maslahah Mursalah
Yaitu suatu hukum yang ditetapkan untuk memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak madharat dan meraih maslahah. Pembentukan maslahah mursalah harus memenuhi beberapa syarat diantaranya:
Maslahah itu harus hakikat bukan dugaan., Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh., Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari’, Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar.
Maslahah dibagi menjadi tiga macam yaitu, Maslahah Dharuriyyah, Maslahah Hajjiyah, dan Maslahah Tahsiniyah. Mengenai kehujjahan Maslahah mursalah, para ulama mempunyai perbedaan pendapat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syâtibi. Al-Muwâfaqat Juz IV.
Husain, Muslim Abu dan Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury. Shahih Muslim Juz VII.  Dâr Ali al-Kutub. Kairo. 1996.
Isma’il, Sya’ban Muhammad. Ushul Fiqh al-Muyassar Juz II.
Karim, A. Syafi’i. Fiqih: Ushul Fiqih.  CV. Pustaka Setia. Bandung. 2001.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Dina Utama Semarang. Semarang. 1994.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqih. Dina Utama. Semarang. 2014.
Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz VII, Dâr Ibn Katsîr, Beirut, 1407.
Salam, Zarkasji Abdul dan Oman Fathurohman SW. Pengantar Ilmu Fiqh Usul Fiqh 1. Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI). Yogyakarta. 1994.
Umam, Chaerul, dkk. Ushul Fiqih 1. CV. Pustaka Setia. Bandung. 2000.
Zuhaili, Wahbah. Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh. Dâr al-Fikr. Beirut. 1999.




[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama, Semarang, 2014, hlm 131.
[2] QS. Az-Zumar: 55.
[3] Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, Dâr al-Fikr, Beirut, 1999, hlm. 86-90.
[4] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz VII, Dâr Ibn Katsîr, Beirut, 1407, hlm. 233. Muslim Abu Husain, Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim Juz VII,  Dâr Ali al-Kutub, Kairo, 1996, hlm. 285.
[5] Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar Juz II, hlm. 82.
[6] Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqat, Juz IV, hlm. 117.
[7] Ibid, Juz II, hlm. 85.
[8] Zarkasji Abdul Salam dan Oman Fathurohman SW, Pengantar Ilmu Fiqh Usul Fiqh 1, Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), Yogyakarta, 1994, hlm 115.
[9] Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 135
[10] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama Semarang, Semarang, 1994, hlm. 116
[11] Chaerul, Op.cit, hlm. 137-138
[12] Ibid, hlm. 138-141
[13] Ibid, hlm. 141-142

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

New Post

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Dose...