MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Abdul Haris Na’im, S.Ag., M,Hum
Disusun oleh:
1.
Rendi Permana
(1520110009)
2.
Budi Utomo
(1520110024)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KUDUS
JURUSAN SYARIAH
DAN EONOMI ISLAM
PRODI AHWAL
SYAKHSIYYAH
TAHUN 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pertumbuhan ushul fiqih tidak terlepas dari
perkembangan hukum Islam sejak zaman Rasulullah saw. Di zaman Rasulullah sumber
hukum Islam hanya ada dua yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila muncul suatu
kasus, maka para sahabat langsung bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi
setelah Rasulullah wafat, muncullah berbagai cara untuk menetapkan suatu hukum.
Bertebarnya para sahabat di berbagai daerah
juga mempengaruhi para sahabat dalam menetapkan hukum. Akibatnya, dalam kasus
yang sama, hukum di satu daerah dapat berbeda dengan daerah lainnya. Perbedaan
hukum ini berawal dari perbedaan cara pandang dalam menetapkan hukum pada kasus
tersebut.
Dalam makalah ini, akan membahas dua metode
penetapan hukum yang
dipakai para mujtahid dalam menetapkan suatu hukum yaitu masalahah mursalah dan
istihsan
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah yang
dimaksud dengan Istihsan?
2. Apa dasar-dasar
Istihsan?
3. Bagaimana
pembagian Istihsan?
4. Bagaimana
kehujjahan Istihsan
5. Apa pengertian Maslahah Mursalah?
6. Bagaimana syarat-syarat Maslahah Mursalah?
7. Apa saja macam-macam Maslahah Mursalah?
8. Bagaimana kehujahan Maslahah Mursalah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. lstishsan
1. Pengertian
Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah
menganggap baik terhadap sesuatu. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih,
istihsan adalah berpalingnya (pindahnya) seorang mujtahid dari tuntutan qiyas
yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang Khafi (samar), atau
dari hukum Kulli (umum) kepada hukum istitsnai (pengecualian), karena
terdapat dalil yang mementingkan perpindahan.
Apabila ada kejadian yang tidak
terdapat nash hukumnya, maka untuk menganalisisnya dapat menggunakan aspek yang
berbeda, yaitu :
1.
: Aspek nyata (zahir) yang menghendaki suatu hukum tertentu.
2.
: Aspek tersembunyi (khafi) yang menghendaki hukum lain.[1]
2. Dasar-Dasar Istihsan
Para ulama
yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang
menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan
istihsan) seperti Firman Allah Swt:
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ
أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الألْبَابِ
Artinya: “dan
ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum
datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya”.[2]
Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا
رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya: “Apa
yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah
adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah
adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun
demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
3. Pembagian Istihsan
Para ulama yang mendukung penggunaan istihsân
membagi istihsân dalam terbagi menjadi: istihsân dengan nash, ijmâ’,
dhorurat, qiyâs khafî, ‘urf, dan mashlahah.[3]
a. Istihsân dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan
hukum berdasarkan qiyâs dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang
ditetapkan oleh al-Qur’ân atau al-Sunnah. Diantara contohnya adalah: hukumnya
orang yang lupa makan atau minum saat berpuasa, jika memakai qiyâs maka batal
puasanya sebab ada sesuatu yang masuk ke lambung jika seseorang makan atau
minum. Tetapi ada pengecualian dari Rasulullah SAW:
مَنْ
أَكَلَ نَاسِيًا وَهْوَ صَائِمٌ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ
اللَّهُ وَسَقَاهُ
Artinya: “Barang siapa makan atau minum
dalam keadaan lupa, maka wajib baginya menyempurnakan puasanya, sesungguhnya
Allah telah memberinya makan dan atau minum”.[4]
b. Istihsân dengan ijmâ’. Maknanya adalah terjadinya
sebuah ijmâ’ - baik yang sharih maupun sukuti- terhadap sebuah
hukum yang menyelisihi qiyâs atau kaidah umum. Di antara contohnya adalah
masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan
waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyâs seharusnya hal ini tidak
dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan
kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain.
Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsân pada ijma yang
berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.[5]
c. Istihsân dengan ‘urf. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyâs
menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf
yang bersifat perkataan maupun perbuatan. Salah satu contoh Istihsân dengan
‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah
untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam
mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya,
meskipun Allah menyebut masjid dengan sebutan rumah (al-bait) .Namun ‘urf
yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah”
(al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk masjid. Itulah sebabnya,
orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke
dalam masjid.[6]
d. Istihsân dengan dhorurat. yakni seorang mujtahid
melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia
meninggalkan qiyâs, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah
kemudharatan.
Salah satu
contohnya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak
dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit
untuk dihindari; seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk
ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi
batal karena hal tersebut. Dan ini dilandaskan pada istihsân dengan
kondisi darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyâs
seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa,
maka itu membatalkan puasanya.[7]
e. Istihsân dengan Qiyâs Khafi. yakni seorang mujtahid
melihat ada suatu kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyâs jalî
untuk mengunggulkan qiyâs khafî.
Penggunaannya
berkebalikan dengan qiyâs jali, seperti wakaf tanah pertanian, menurut qiyâs
jali: wakaf ini menyerupai akad penjualan perumahan dalam kepemilikan penuh,
maka termasuk didalamnya ini hak untuk tidak dilewati, dibuat jalan, istirahat
minum dan sebagainya. Sedangkan apabila menggunakan qiyâs khafi: maka wakaf ini
menyerupai akad sewa, sehingga termasuk didalamnya masih ada hak untuk
dilewati, dibuat jalan, istirahat minum dan sebagainya.
f.
Istihsân dengan mashlahah. Yakni jika ditemukan
kemashlahatan yang berada dalam sebuah permasalahan. Seperti wasiat yang
dilakukan oleh mahjûr (orang yang dicegah atau larang untuk membelanjakan
hartanya). Menurut qiyâs maka wasiat ini tidak diperbolehkan, karena termasuk
mendiamkan hartanya. Tetapi menurut kemashlahatan diperbolehkan adanya wasiat.
Karena wasiat jatuh saat orang yang mewasiatkan meninggal dunia. Hal ini untuk
memberikan kesempatan pada dia untuk mendapatkan pahala wasiat, tetapi
meniadakan kedhoruratan saat hidupnya.
4.
Kehujjahan Istihsan
Jumhur Malikiyah dan Hanafiyah
menetapkan bahwa Istihsan adalah suatu dalil syar’i yang dapat dijadikan hujjah
untuk menetapkan hukum terhadap sesuatu yang ditetapkan oleh Qiyas atau
keumuman nas.
Ulama hanafiyah
menggunakan istihsan ini dengan alasan berdalil dengan istihsan itu sebenarnya
sama dengan berdalil dengan qiyas khafi atau berdalil dengan istihlah,
kesemuanya dapat diterima.
Menurut
asy-Syafi’i, istihsan itu sekali-kali bukan dalil syar’i. Beliau menganggap
orang yang menggunakan istihsan sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan
hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri semata yang mungkin benar dan
mungkin pula salah. Ibnu hazm termasuk
salah seorang ulama’ yang menolak istihsan. Beliau menganggap bahwa
istihsan itu, berarti menganggap baik terhadap sesuatu menurut hawa nafsunya,
bisa benar bisa pula salah. Misalnya mengharamkan sesuatu tanpa dalil.
Perselisihan
para ulama’ mengenai kehujjahan dan kebolehan istihsan dijadikan sebagai jalan
ijtihad ini, sebenarnya terletak pada perbedaan mereka dalam memberikan batasan
terhadap istihsan itu sendiri, jadi bukan pada operasionalnya dalam menetapkan
hukum berdasarkan istihsan. Jika istihsan diberi batasan sebagai mana
dikemukakan oleh ulama’ hanafiyah atau ulama’ malikiyyah, maka sebenarnya
ulama’ syafi’iyyah menggunakan cara mengistinbathkan hukum seperti itu.
Segolongan ulama’ berpendapat bahwa istihsan bukan dalil yang berdiri sendiri,
tetapi memerlukan dan berpokok pangkal pada dalil syar’i lain.[8]
B. Maslahah
Mursalah
1. Pengertian
Maslahah Mursalah
Maslahah
Mursalah menurut
lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah
berasal dari kata kerja bahasa arab صَلَحَ- يَصْلُحُ menjadi صُلْحًا
atau مَصْلَحَةً yang berarti sesuatu
yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata
kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul yaituاَرْسَلَ – يُرْسِلُ ـ اِرْسَالاً – مُرْسَلٌ menjadi مُرْسَلٌ yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan).
Perpaduan dua kata menjadi maslahah mursalah yang berarti prinsip kemaslahatan
(kebaikan) yang dipergunakan untuk menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat
berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).[9]
Menurut
istilah para ahli ushul fiqih, maslahah mursalah adalah suatu
kemaslahatan dimana Syari’ tidak mensyari’atkan suatu hukum untuk merealisir
kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuan atau
pembatalannya.[10]
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa malahah mursalah adalah suatu hukum yang ditetapkan untuk
memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak madharat dan meraih
maslahah.
2. Syarat-Syarat
Maslahah Mursalah
Golongan
yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah
syarat tertentu yang harus dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan
hawa nafsu, tujuan dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga
seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan
menjadikan syahwatnya sebagai syari’atnya.
Syarat-syarat
itu adalah:
a.
Maslahah itu harus hakikat bukan dugaan. Pembentukan hukum itu harus didasarkan
pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat
menolak bahaya dari mereka.
Maka maslahah-maslahah yang bersifat
dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syariat,
tidaklah diperlukan, seperti dalih maslahah yang dikatakan dalam soal larangan
bagi suami untuk menalak istrinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada
hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini,
tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya
rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan istrinya ditegakkan diatas
suatu dasar paksaan undang-undang tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih
sayang, dan cinta-mencintai.
b. Maslahah
harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang
dalam jumlah sedikit.
c. Maslahah itu
harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari’. Maslahah tersebut harus dari jenis
maslahah yang telah didatangkan oleh syari’. Seandainya tidak ada dalil
tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang
telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
d. Maslahah itu
bukan maslahah yang tidak benar, dimana nash yang sudah ada tidak membenarkannya, dan tidak
menganggap salah.[11]
3. Macam-macam
Maslahah Mursalah
Ulama Ushul Fiqh membagi maslahah kepada tiga bagian, yaitu :
a. Maslahah Dharuriyah
Yaitu perkara-perkara yang menjadi tegaknya
kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalela
kerusakan, timbullah fitnah dan kehancuran yang hebat.
Perkara-perkara ini dapat dikembalikan
kepada lima perkara yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu:
1)
Agama. Diantara syari’at yang diwajibkan untuk
memelihara agama adalah kewajiban jihad untuk mempertahankan akidah Islamiyah.
2)
Jiwa. Diantara syari’at yang diwajibkan untuk
memelihara jiwa adalah kewjiban berusaha memperoleh makanan, minuman dan
pakaian untuk mempertahankan hidup.
3)
Akal. Diantara syari’at yang diwajibkan untuk
memelihara akal adalah untuk meninggalkan minum khamr dan segala sesuatu yang
memabukkan.
4)
Keturunan. Diantara syari’at yang diwajibkan untuk
memelihara keturunan adalah kewajiban untuk menghindarkan diri dari perbuatan
zina.
5)
Harta. Diantara syari’at yang diwajibkan untuk
memlihara harta adalah menjauhi pencurian dan berusaha mendapatkan rezeki
dengan cara halal.
b. Maslahah Hajjiyah
Yaitu semua bentuk perbuatan dan tindakan
yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah)
yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan
kesulitan dan menghilangkan kesempitan.
Misalnya dalam hal ibadah adalah
dibolehkannya qashar salat, berbuka puasa bagi orang sakit dan musafir. Selain
itu, hajjiyah juga termasuk dalam memlihara kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan
beragama. Sebab dengan kemerdekaan tersebut, luruslah gerak langkah hidup
manusia.
c. Maslahah Tahsiniyah
Yaitu mempergunakan semua yang layak dan
pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul
akhlak.
Misalnya kewajiban bersuci dari najis,
menutup aurat, larangan menjual benda-benda najis, dilarang berbuat curang
dalam timbangan ketika jual-beli.[12]
4. Kehujjahan
Maslahah Mursalah
Dalam
kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul,
diantaranya :
a. Maslahah Mursalah tidak dapat menjadi
hujjah atau dalil menurut ulama-ulama Syafi’iyyah, ulama Hanafiyah, dan
sebagian ulama Malikiyyah, seperti lbnu Hajib.
b. Maslahah Mursalah dapat menjadi hujjah atau
dalil menurut sebagian ulama Malikiyyah dan sebagian ulama Syafi’iyyah, tetapi
harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul.
Jumhur Hanafiyyah dan Syafi’iyyah mensyaratkan tentang maslahah ini,
hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang
dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhobit (tepat) sehingga
dalam hubungan hukum itu terdapat tempat untuk merealisir kemaslahatan.
c. Imam Al-Qarafi berkata bahwa sesungguhnya
berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua madzhab, karena mereka
melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu dengan yang lainnya
karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Istihsan
Istihsan adalah berpalingnya
(pindahnya) seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata)
kepada tuntutan qiyas yang Khafi (samar), atau dari hukum Kulli (umum)
kepada hukum istitsnai (pengecualian), karena terdapat dalil yang mementingkan
perpindahan.
Dasar-dasarnya terdapat pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang maknanya denotatif, yaitu QS. Az-Zumar: 18, 55 dan
hadits Nabi “Apa yang
dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah
baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah
buruk pula”
Pembagian Istihsan: istihsân dengan nash, ijmâ’, dhorurat,
qiyâs khafî, ‘urf, dan mashlahah.
Segolongan ulama’ berpendapat bahwa
istihsan bukan dalil yang berdiri sendiri, tetapi memerlukan dan berpokok
pangkal pada dalil syar’i lain.
2. Maslahah Mursalah
Yaitu suatu
hukum yang ditetapkan untuk memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu
menolak madharat dan meraih maslahah. Pembentukan maslahah mursalah harus
memenuhi beberapa syarat diantaranya:
Maslahah itu
harus hakikat bukan dugaan., Maslahah harus bersifat umum dan
menyeluruh., Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum
yang dituju oleh syari’, Maslahah itu bukan maslahah yang tidak
benar.
Maslahah
dibagi menjadi tiga macam yaitu, Maslahah Dharuriyyah, Maslahah Hajjiyah, dan
Maslahah Tahsiniyah. Mengenai kehujjahan Maslahah mursalah, para ulama
mempunyai perbedaan pendapat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syâtibi. Al-Muwâfaqat Juz IV.
Husain, Muslim Abu dan Hajjaj
al-Qusyairy al-Naisabury. Shahih Muslim Juz VII. Dâr Ali al-Kutub. Kairo. 1996.
Isma’il, Sya’ban Muhammad. Ushul
Fiqh al-Muyassar Juz II.
Karim, A. Syafi’i. Fiqih: Ushul Fiqih. CV. Pustaka Setia. Bandung. 2001.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Dina Utama Semarang.
Semarang. 1994.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul
Fiqih. Dina Utama. Semarang. 2014.
Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah
al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz VII, Dâr Ibn Katsîr, Beirut, 1407.
Salam, Zarkasji Abdul dan Oman Fathurohman SW. Pengantar Ilmu
Fiqh Usul Fiqh 1. Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI). Yogyakarta. 1994.
Umam, Chaerul, dkk. Ushul Fiqih 1. CV. Pustaka Setia. Bandung.
2000.
Zuhaili, Wahbah. Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh. Dâr al-Fikr. Beirut. 1999.
[1] Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama, Semarang, 2014, hlm 131.
[2] QS. Az-Zumar:
55.
[4] Muhammad bin
Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz VII, Dâr Ibn Katsîr,
Beirut, 1407, hlm. 233. Muslim Abu Husain, Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih
Muslim Juz VII, Dâr Ali
al-Kutub, Kairo, 1996, hlm. 285.
[5] Sya’ban
Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar Juz II, hlm. 82.
[6] Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqat,
Juz IV, hlm. 117.
[7]
Ibid, Juz II, hlm. 85.
[8] Zarkasji Abdul
Salam dan Oman Fathurohman SW, Pengantar Ilmu Fiqh Usul Fiqh 1, Lembaga
Studi Filsafat Islam (LESFI), Yogyakarta, 1994, hlm 115.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar