Selasa, 17 Oktober 2017

Makalah Hukum Kekerabatan Adat





Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hukum Adat
DosenPengampu: Hasanain Haikal Hadining,  S.H M.H


Description: D:\logo2\logo STAIN.wmf

Disusun Oleh :
Hidayatul Ula              1520110023
Budi Utomo                1520110024
Islakhudin                   1520110025
Ilyana                          1520110026

 


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI AHWALUS SYAKHSIYAH
TAHUN AKADEMIK 2016/2017


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan suatu wilayah yang terdiri atas bermacam-macam suku, budaya,  bahasa daerah dan adat istiadat yang berbeda dari satu daerah dengan daerah lain. Perbedaan tersebut tidak hanya terbatas dari segi budaya saja, akan tetapi kultur dalam segi kekerabatan yang sudah mendarah daging sejak zaman nenek moyang di Indonesia menjadi ciri khas yang kuat dari setiap daerah yang ada di Indonesia. Dalam persoalan hubungan keakraban baik itu adanya faktor sedarah, pertalian pernikahan dan sebagainya hukum kekerabatan di Indonesia sangatlah kompleks dan mempunyai karakter dalam sistem penerapan hukum kekerabatan itu sendiri. Hasil dari perbedaan kultur dalam hal kekerabatan pun menimbulkan suatu akibat untuk menjalin sebuah hubungan (kekerabatan) baik itu sama dalam segi biologis maupun hasil dari keadaan sosial.
Hukum kekerabatan sendiri mempunyai arti, hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota dalam hubungan kekerabatan, serta kedudukan anak terhadap orang tua atau sebaliknya dan juga masalah perwalian anak. Pembahasan mengenai hukum kekerabatan sendiri mengundang ketegangan yang terdapat di berbagai suku daerah bangsa Indonesia antara keluarga dan kesatuan kerabat (suku, klan). Berhubungan dengan hal itu, maka makin pentinglah arti keluarga, sejalan dengan makin merosotnya arti kesatuan kerabat (suku, klan, dan sebagainya).
Adanya permasalahan diatas mengenai merosotnya arti kesatuan kerabat serta ketegangan yang terjadi antar suku daerah akan dibahas dan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya. Sejatinya Indonesia adalah Negara yang kuat dengan semboyan “BHINEKA TUNGGAL IKA” ( meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua), untuk itulah dalam hukum adat dijelaskan mengenai hukum kekerabatan yang menjadi cirri khas dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita mengetahui sejauh manakah hukum adat mengatur tentang system kekerabatan dan pembagian hukum kekerabatan yang ada di Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Hukum Kekerabatan?
2.      Bagaimana Sistem Hukum Kekerabatan Adat?
3.      Bagaimana Kedudukan Pribadi dalam Hukum Kekerabatan Adat?
4.      Bagaimana Hukum Kekerabatan Adat Menurut Pertalian Darah?
5.      Bagaimana Hukum Kekerabatan Adat Menurut Pertalian Perkawinan?
6.      Bagaimana Hukum Kekerabatan dat Menurut Pertalian Adat?



















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Kekerabatan Adat
Hukum kekerabatan adat ialah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota dalam kerabat, kedudukan anak terhadap orang tuanya ataupun sebaliknya, serta kedudukan anak terhadap kerabatnya ataupun sebaliknya dan masalah perwalian anak.[1] Secara sederhananya, hukum kekerabatan adat mengatur tentang pertalian sanak saudara berdasarkan pertalian darah, pertalian perkawinan dan pertalian adat. Pada dasarnya pengertian hukum kekerabatan dibagi menjadi dua. Pertama, pengertian keturunan yaitu hubungan darah antara satu orang dengan yang lainnya. Dengan adanya keturunan ini maka seorang individu memiliki hak dan kewajiban yang berhubungan dengan keluarga serta silsilahnya. Kedua, adalah hubungan anak dengan orang tua.
Menurut Prof. Bushar Muhammad, SH keturunan dapat bersifat:
1.      Lurus, apabila ada seseorang merupakan langsung keturunan dari yang lain. Misalnya antara bapak dan anak, antara kakek. Bapak dan anak disebut lurus ke bawah apabila rangkaiannya dilihat dari kakek, bapak lalu ke anak.
2.      Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung), atau sekakek nenek.[2]

B.     Sistem Hukum Kekerabatan Adat
Sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat Indonesia didasari oleh faktor genealogis, yakni suatu kesatuan hukum yang mana para anggotanya terikat sabagai suatu kestauan karena persekutuan hukum dimana mereka merasa berasala dari nenek moyang yang sama. Sistem kekerabatan dipengaruhi oleh garis keturunan yang menurunkan atau diikuti oleh kesatuan hukum adat tersebut.[3]
Sistem kekerabatan yang ada di masyarakat Indonesia dibagi menjadi:
1.      Sistem kekerabatan unilateral
Sistem kekrabatan unilateral merupakan system kekerabatan yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan hanya dari satu pihak sajayakni ayah atau ibu. Sistem kekerabatan ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Sistem kekerabatan matrilineal, ialah sistem kekerabatan yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan hanya dari pihak ibu saja Mereka menganggap bahwa kekerabtan dari pihak ibu lebih kuat dan lebih penting dari hubungan kekerabatan dari pihak ayah.. Misalnya: di daerah Minangkabau, Kerinci, Semendo (Sumatera Selatan), Lampung, Paminggir.
b.      Sistem kekerabatan patrilineal, ialah sistem kekerabatan yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan hanya dari pihak laki-laki/ ayah saja , terus menerus ke atas karea adanya kepercayaan bahwa mereka berasal dari seorang ayah asal yang hubungannya jauh lebih erat serta menganggap bahwa kekerabatan dari pihak ayah lebih penting dari kekerabatan pihak ibu. Misalnya, di daerah Sumatera Utara, Gayo, Tapanuli, Nias, Pulau Seram, Bali, Lombok, Pulau Baru.
2.      Sistem kekerabatan masyarakat bilateral/parental
Sistem kekerabatan yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan baik melalui garis keturunan ayah maupun ibu.[4]


C.    Kedudukan Pribadi dalam Hukum Kekerabatan Adat
Pada hakekatnya setiap manusia mempunyai nilai yang sama tentang nilai hidup, kemerdekaan, kesejahteraan, kehormatan dan kebendaan. Hanya saja kehidupan masyarakat, adat budaya, serta pengaruh agama yang dianut membuat penilaian terhadap manusia menjadi tidak sama. Misalnya: Menurut adat budaya Minangkabau dibedakan antara beberapa tingkat kemenakan, yaitu kemenakan batali darah, kemenakan batali adat, kemenakan batali budi dan kemenakan di bawah lutut. Menurut adat budaya masyarakat Lampung dibedakan antara warga kepunyimbangan bumi(marga), kepunyimbangan ratu (tiyuh), kepunyimbangan suku dan beduwa (keturunan rendah). Dalam agama Hindhu ada pembedaan golongan dalam masyarakata atau biasa disebut dengan kasta, yaitu kasta Brahma (keturunan pendeta), kasta Ksatria (keturunan bangsawan), kasta weisha (keturunan pedaganag), dan kasta Sudra (keturunan rakyat jelata). Dengan adanya pembedaan pribadi seseorang dalam kehidupan masyarakat maka berbeda pula hak dan kewajibannya serta kewenangannya dalam kemasyarakatan hukum adatnya.

D.    Hukum Kekerabatan Adat Berdasarkan Pertalian Darah
Berdasarkan pertailan darah, hukum kekerabatan adat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.      Kedudukan Anak
 Pertalian sanak berdasarkan pertalian darah maka yang dibicarakan adalah kedudukan anak kandung. Menurut Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 ( UU Perkawinan ) Tentang Kedudukan Anak, hak dan kewajibannya terhadap orang tua dikatakan dalam Pasal 42 – 43 bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Menurut hukum adat anak kandung yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan ayah dan ibunya yang sah, walaupun mungkin terjadinya perkawinan itu setelah ibunya hamil lebih dulu sebelum perkawinan. Di daerah Lampung perkawinan semacam itu disebut kappang tubas (perkawinan itu merupakan perkawinan darurat untuk menutup malu), di daerah Jawa dikenal dengan istilah nikah tambelan, di daerah Bugis disebut patongkok siri (perkawinan yang dilakukan bukan dengan pria yang member benih). Pada kalangan umat Kristen/Katolik anak yang lahir diluar perkawinan tidak menjadi masalah, untuk itu dalam agama mereka anak yang sudah ada sebelumnya itu dapat diakui dan disahkan pada saat berlangsungnya pernikahan. Dikalangan Umat Islam tidak ada lembaga untuk mengatur pengesahan anak yang lahir sebelum terjadinya perkawinan yang sah. Di daerah Minahasa anak yang lahir diluar perkawinan karena hubungan suami istri yang belum sah, dapat diakui oleh ayah biologisnya dengan memberi lilikur (tanda pengakuan) dimana kedudukan anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.[5]
Kewajiban anak menurut UU Perkawinan terhadap orang tua bahwa anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik (Pasal 46 ayat 1) dan apabila anak sudah dewasa maka anak wajib memelihara menurut kemampuannya. Orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas bila mereka memerlukan bantuan (Pasal 46 ayat 2). Hal ini selaras dengan kehidupan keluarga dalam masyarakat yang bersifat parental atau keluarga atau rumah tangga yang modern. Menurut hukum adat dimana susunan kekerabatan yang patrilinial dan matrilineal yang masih kuat disebut orang tua yang bukan hanya garis lurus ke atas saja melainkan juga garis ke samping seperti: para paman, saudara ibu, saudara ayah, serta juga buyut, canggah, dan Poyang.
Menurut UU Perkawinan anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum menikah maka masih dalam kekuasaan orang tuanya, sedangkan yang tidak berada pada kekuasaan orang tua berada dibawah kekuasaan wali. Dalam hukum adat lembaga perwalian itu pada dasarnya tidak ada dan semua anak yang masih dibawah umur  dan belum pernah menikah masih tetap berada pada kekuasaan orang tuanya dan kerabat menurut struktur kemasyarakatan adatnya masing-masing.
2.      Kedudukan Orang Tua
Menurut UU Perkawinan Pasal 45 (ayat 1-2) dikatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban memlihara dan mendidik anak tetap terus berjalan meskipun perkawinan antara kedua orang tuanya putus. Pada masyarakat patrilinial kewajiban memelihara dan mendidik anak dibebankan tanggung jawabnya kepada kerabat pihak ayah dan dalam masyarakat matrilineal kewajiban dibebankan tanggung jawabnya kepada kerabat pihak ibu/wanita.
Begitu pula dalam hal orang tua  mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam maupun di luar Pengadilan Pasal 42 ayat (2) menurut hukum adat disesuaiakan dengan susunan kekerabatannya. Sedangkan klausa yang menyatakan bahwa orang tua tidak boleh memindahkan hak ataupun menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang masih dibawah umur 18 tahun atau belum menikah, kecuali jika kepentingan anaknya menghendakinya (Pasal 48), hal ini tidak dikenal dalam hukum adat. Demikian pula hal itu berlaku bahwa salah seorang dari mereka(orang tua) dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau pada waktu tertentu atas permintaan orang tua, keluarga, ataupun pejabat yang berwenang sesuia keputusan Pengadilan meskipun mlalaikan kewajiban terhadap anaknya, ataupun berkelakuan buruk, hal ini pula tidak dikenal dalam hukum adat.
Pada persekutuan kekerabatan adat tanggung jawab kehidupan keluarga  ditanggung bersama, segala seuatu diselesaikan melalui musyawarah mufakat antar kerabat.
3.      Kedudukan Anak dan Kerabat
Hubungan antara anak dengan kerabat tidak diatur dalam UU Perkawinan, tetapi hubungan ini disesuaikan dengan hukum adat yang berlaku dalam lingkungan masyarakat adat masing-masing.
Dalam lingkungan masyarakat adat patrilinial anak tidak hanya wajib hormat kepada ayah dan ibunya saja, tetapi juga hormat kepada para paman, saudara lelaki ayah. Diantara semua paman atau saudara tersebut yang ikut bertanggung jawab penuh, dan memperhatikan, mengurusan serta memelihara kemenakan(keponakan) adalah dari pihak kerabat saudara lelaki ayah, sedangkan yang lainnya hanya bersifat membantu.
Sedangkan di lingkungan masyarakat adat matrilineal yang terutama wajib dihormati adalah semua mamak saudara lelaki ibu, terutama yang berkedudukan mamak kepala waris.
Dalam hal ini bukan berarti anak tidak hormat kepada bako-baki(kerabat ayah), namun kelompok kerabat ini bukan penanggung jawab penuha ats kepengurusan, pemeliharaan dan pendidikan anak kemenakan oleh karena itu tanggung jawab terletak pada pada ibu dan mamak. Di lingkungan masyarakat parental, dimana peranan orang tua sudah bertanggung jawab penuh atas pemeliharaan dan pendidikan anak, maka semua anak wajib menghormati ayah dan ibunya, sedangkan penghormatan terhadap paman, bibi atau kerabat ayah dan ibunya sebatas sewajarnya (longgar). Pada kennyataanya anak akan menghormati kerabat ayah dan ibunya bilamana yang paling sering memberikan bantuan kepadanya, hal ini dikarenakan keluarga parental kebanyakan sudah hidup mandiri berdiri di atas keluarganya saja.[6]

E.     Hukum Kekerabatan Adat Berdasarkan Pertalian Perkawinan
Perkawinan menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban suami istri sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan (Pasal 30-34). Dalam hukum positif tidak mengatur mengenai hubungn hukum kekerabatan yang timbul dari perkawinan, hubungan menantu dengan mertua, hubungan per-iparan dan besanan antara kerabat yang satu dengan yang lain. Untuk itu dalam hukum kekerabatan adat diatur mengenai hubungan kekerabatan tersebut.
Diantara hubungan kekerabatan yang timbul dari pertalian perkawinan, ialah:
1.      Kedudukan suami istri
Berdasarkan UU Perkawinan (Pasal 30-31) yang mengemukakan mengenai kedudukan suami istri serta hak dan kewajibannya, hendaknya istilah “rumah tangga” bukan hanya sebatas membentuk  keluarga secara batiniah saja, tetapi juga terkait karena adanya ikatan perkawinan yang terdiri atas dua keluarga besar. Sehingga dengan adanya kekerabatan atas dasar pertalian perkawinan ini juga berkaitan pada rasa saling mencintai dan menghormati setiap anggota keluarga dan bagaimana mengimbangi antara hak dan kewajiban baik antara suami istri dengan anggota kerabat yang lain atas dua keluarga besar tersebut.Di era modern ini hubungan kekerabatanpun sudah dipengaruhi oleh bentuk perkawinan yang mereka lakukan dan lingkungan sekitar mereka. Jadi, tidak semua kekerabatan ini masih ada dan berjalan.[7]
Bentuk-bentuk perkawinan diantaranya:
a.       Perkawinan Bebas
Ikatan perkawinan suami istri dalam bentuk “perkawinan bebas”  yang banyak berlaku dikalangan masyarakat parental, contohnya : Jawa atau keluarga-keluarga modern yang individual serat apa yang menjadi tipe ideal dari bentuk rumah tangga dan perkawinan yang dikehendaki perundangan nasional tersebut tidak menimbulkan banyak masalah. Membentuk kehidupan yang mandiri antara suami dan istri .[8]
b.      Perkawinan Jujur
Bentuk perkawinan dengan pemberian uang jujur dari pihak kerabat pria kepada pihak kerabat wanita yang kebanyakan dipertahankan oleh masyarakat kekerabatan patrilinial, untuk mempertahankan garis keturunan lelaki, maka setelah perkawinan istri melepaskan kedudukan kewargaan adatnya dari kekerabatan bapaknya dan masuk kedalam satuan kekerabatan suaminya. Misalnya, didaerah Batak, Lampung, Bali, NTT, Maluku, Irian Jaya yang menggunakan pertalian perkawinan jujur.
Ikatan perkawinan jujur ini kewajiban memikul tanggung jawab menegakkan rumah tangga adalah suami, sedangkan istri hanya sebagai pendampingnya. Jadi, hak dan kedudukan istri tidak seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dlam kehidupan berumah tangga maupun dalam hubungan kekerabatan dan masyarakat. Istri tidak bebas melakukan perbuatan hukum tanpa ijin suami, karena suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah pendamping suami.[9]
c.       Perkawinan Semenda
Bentuk perkawinan tanpa pembayaran uang jujur yang kebanyakan dipertahankan oleh masyarakat kekerabatan matrilineal, untuk mempertahankan garis keturunan wanita yang merupakan kebalikan dari perkawinan jujur. Dimana setelah perkawinan suami masuk ke dalam kekerabatan istri atau hanya sebagai pemberi benih keturunan yang tidak bertanggung jawab penuh di dalam rumah tangga. Dalam hal ini hak dan kedudukan suami berada dibawah pengaruh istri dan kerabatnya.[10]

F.     Hukum Kekerabatan Berdasarkan Pertalian Adat
Pertalian sanak berdasarkan pertalian adat maka yang utama dibahas adalah hubungan hukum antara anak angkat, anak tiri, anak asuh atau anak akuan. Sebelumnya akan dijabarkan mengenai pengertian anak angkat, anak tiri dan anak asuh.
1.      Anak Angkat, ialah anak orang lainyang diangkat oleh orang tua (angkat) dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga. Pengangkatan anak biasanya dilakukan terhadap anak kemenekan sendiri yang diambil lebih muda (usia) serta pengangkatan tersebut harus jelas dan terang serta disetujui oleh semua anggota kerabat yang bersangkutan.[11]
Kedudukan anak angkat sama halnya dengan kedudukan anak kandung yang akan menjadi penerus dan pewaris dari orang tua angkatnya dan anak angkat itu tidak lagi mewarisi harta kekayaan milik orang tua kandungnya melainkan apabila orang tua kandungnya tidak mempunyai anak lelaki lain, sehingga anak tadi menjadi pewaris dari kedua ayah yang bersaudara tersebut.
2.      Anak Tiri, ialah anak kandung yang dibawa oleh suami atau istri dari perkawinan sebelumnya sehingga salah satu dari merek menyebutnya anak tiri. Kedudukan anak tiri di dalam suatu keluarga pada masyarakat adat juga terdapat perbedaan  karena tergantung pada susunan kekerabatan atau bentuk perkawinan ayah atau ibu tirinya. Kewajiban orang tua tiri terhadap anak tiri yang diikutsetakan dalam perkawinan, baik untuk memelihara dan mendidik mereka tidaka ada bedanya dengan anak kandung (anak sendiri). Kewajiban anak tiri terhadap orang tua sama halnya dengan kewajiban seorang anak kandung kepada orang tua.
Kedudukan anak tiri dalam bentuk perkawinan jujur ataupun semenda tidak terlepas dari pengaruh kekerabatan ayah atau ibu. Bagi ayah tiri terdapat ketentuan yang harus diperhatikan untuk tidak begitu saja melakukan transaksi atas hak milik kepada anak tiri yang amsih dibawah umur atau tanpa kesepakatan anggota kerabat. Dalam hal ini, anak tiri pada dasarnya hanay bisa mewarisi dari orang tua yang melahirkannya.[12]
3.      Anak akuan (asuh), ialah anak orang lain yang mengakui karena belas kasihan dimana terkadang ada alasan untuk mengasuh anak tersebut karena belum mempunyai keturunan. Kedudukan anak akuan ini terhadap orang tua yang mengasuhnya bukan sebagai ahli warisnya, oleh karena itu pada dasarnya pengakuan anak asuh tidak mengubah hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, kecuali dialihkan dari anak asuhan menjadi anak angkat. Adakalanya anak asuhan mendapat bagian warisan dari orang tua asuh dikarenakan rasa kebijaksanaan ataupun rasa kasih sayang orang tua asuh pada anak asuhnya. [13]


BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
1.      Hukum kekerabatan adat ialah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota dalam kerabat, kedudukan anak terhadap orang tuanya ataupun sebaliknya, serta kedudukan anak terhadap kerabatnya ataupun sebaliknya dan masalah perwalian anak.
2.      Sistem kekerabatan yang ada di masyarakat Indonesia dibagi menjadi dua:
a.       Sistem kekerabatan unilateral, sistem kekerabatan unilateral merupakan sistem kekerabatan yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan hanya dari satu pihak sajayakni ayah atau ibu. Dibagi lagi menjadi dua, yaitu: system kekerabtan matrilineal dn system kekerabtan patrilinial.
b.      Sistem kekerabatan masyarakat bilateral/parental
Sistem kekerabatan yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan baik melalui garis keturunan ayah maupun ibu.
3.      Pada hakekatnya setiap manusia mempunyai nilai yang sama tentang nilai hidup, kemerdekaan, kesejahteraan, kehormatan dan kebendaan. Hanya saja kehidupan masyarakat, adat budaya, serta pengaruh agama yang dianut membuat penilaian terhadap manusia menjadi tidak sama. Dalam agama Hindhu ada pembedaan golongan dalam masyarakata atau biasa disebut dengan kasta, yaitu kasta Brahma (keturunan pendeta), kasta Ksatria (keturunan bangsawan), kasta weisha (keturunan pedaganag), dan kasta Sudra (keturunan rakyat jelata).
4.      Berdasarkan pertailan darah, hukum kekerabatan adat dibagi menjadi tiga, yaitu:
a.       Kedudukan Anak
b.      Kedudukan Orang Tua
c.       Kedudukan Anak dan Kerabat
5.      Diantara hubungan kekerabatan yang timbul dari pertalian perkawinan, ialah:
Kedudukan suami istri dimana terdapat bentuk-bentuk perkawinan:
a.       Perkawinan Jujur
b.      Perkawinan Bebas
c.       Perkawinan Semenda
6.      Pertalian sanak berdasarkan pertalian adat maka yang utama dibahas adalah hubungan hukum antara anak angkat, anak tiri, anak asuh atau anak akuan. Sebelumnya akan dijabarkan mengenai pengertian anak angkat, anak tiri dan anak asuh.
a.       Anak Angkat, ialah anak orang lainyang diangkat oleh orang tua (angkat) dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga. Kedudukan anak angkat sama halnya dengan kedudukan anak kandung yang akan menjadi penerus dan pewaris dari orang tua angkatnya dan anak angkat itu tidak lagi mewarisi harta kekayaan milik orang tua kandungnya melainkan apabila orang tua kandungnya tidak mempunyai anak lelaki lain, sehingga anak tadi menjadi pewaris dari kedua ayah yang bersaudara tersebut.
b.      Anak Tiri, ialah anak kandung yang dibawa oleh suami atau istri dari perkawinan sebelumnya sehingga salah satu dari merek menyebutnya anak tiri. Kedudukan anak tiri di dalam suatu keluarga pada masyarakat adat juga terdapat perbedaan  karena tergantung pada susunan kekerabatan atau bentuk perkawinan ayah atau ibu tirinya. Kewajiban orang tua tiri terhadap anak tiri yang diikutsetakan dalam perkawinan, baik untuk memelihara dan mendidik mereka tidaka ada bedanya dengan anak kandung (anak sendiri). Kewajiban anak tiri terhadap orang tua sama halnya dengan kewajiban seorang anak kandung kepada orang tua.
c.       Anak akuan (asuh), ialah anak orang lain yang mengakui karena belas kasihan dimana terkadang ada alasan untuk mengasuh anak tersebut karena belum mempunyai keturunan. Kedudukan anak bukan sebagai ahli warisnya, Adakalanya anak asuhan mendapat bagian warisan dari orang tua asuh dikarenakan rasa kebijaksanaan ataupun rasa kasih sayang orang tua asuh pada anak asuhnya.





DAFTAR PUSTAKA

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya bakti, 1995.
Hidayat, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1992.
Muhammad, Bushar. Pokok-pokok Hukum Adat , Jakarta: Pradnya Paramita, 2006
Poesponoto, Soebakti. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 2001,
Sudiyat, Iman. Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1981.













[1] Hilman Hidayat, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1992, hlm. 201.
[2] Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat , Jakarta: Pradnya Paramita, 2006, hlm. 4.
[3] Soebakti Poesponoto, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 2001, hlm. 144.
[4] Ibid., hlm. 145-146.
[5] Hilman Hidayat, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1992, hlm. 202-203.
[6] Ibid., hlm. 205.
[7] Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1981, hlm.91-92.
[8] Ibid., hlm. 93.
[9] Ibid., hlm. 94.
[10] Ibid., hlm. 95.
[11] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya bakti, 1995, hlm. 143.
[12] Ibid., hlm. 149.
[13] Ibid., hlm. 151.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

New Post

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Dose...