Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hukum Adat
DosenPengampu: Hasanain Haikal Hadining, S.H M.H

Disusun Oleh :
Hidayatul Ula 1520110023
Budi Utomo 1520110024
Islakhudin 1520110025
Ilyana 1520110026

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KUDUS
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI AHWALUS SYAKHSIYAH
TAHUN AKADEMIK 2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Indonesia
merupakan suatu wilayah yang terdiri atas bermacam-macam suku, budaya, bahasa daerah dan adat istiadat yang berbeda
dari satu daerah dengan daerah lain. Perbedaan tersebut tidak hanya terbatas
dari segi budaya saja, akan tetapi kultur dalam segi kekerabatan yang sudah
mendarah daging sejak zaman nenek moyang di Indonesia menjadi ciri khas yang
kuat dari setiap daerah yang ada di Indonesia. Dalam persoalan hubungan
keakraban baik itu adanya faktor sedarah, pertalian pernikahan dan sebagainya
hukum kekerabatan di Indonesia sangatlah kompleks dan mempunyai karakter dalam
sistem penerapan hukum kekerabatan itu sendiri. Hasil dari perbedaan kultur
dalam hal kekerabatan pun menimbulkan suatu akibat untuk menjalin sebuah
hubungan (kekerabatan) baik itu sama dalam segi biologis maupun hasil dari
keadaan sosial.
Hukum
kekerabatan sendiri mempunyai arti, hukum adat yang mengatur tentang bagaimana
kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota dalam hubungan kekerabatan, serta
kedudukan anak terhadap orang tua atau sebaliknya dan juga masalah perwalian
anak. Pembahasan mengenai hukum kekerabatan sendiri mengundang ketegangan yang
terdapat di berbagai suku daerah bangsa Indonesia antara keluarga dan kesatuan
kerabat (suku, klan). Berhubungan dengan hal itu, maka makin pentinglah arti
keluarga, sejalan dengan makin merosotnya arti kesatuan kerabat (suku, klan,
dan sebagainya).
Adanya
permasalahan diatas mengenai merosotnya arti kesatuan kerabat serta ketegangan
yang terjadi antar suku daerah akan dibahas dan diuraikan dalam pembahasan
selanjutnya. Sejatinya Indonesia adalah Negara yang kuat dengan semboyan
“BHINEKA TUNGGAL IKA” ( meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua), untuk
itulah dalam hukum adat dijelaskan mengenai hukum kekerabatan yang menjadi
cirri khas dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita
mengetahui sejauh manakah hukum adat mengatur tentang system kekerabatan dan
pembagian hukum kekerabatan yang ada di Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian Hukum Kekerabatan?
2.
Bagaimana Sistem Hukum Kekerabatan
Adat?
3.
Bagaimana Kedudukan Pribadi dalam
Hukum Kekerabatan Adat?
4.
Bagaimana Hukum Kekerabatan Adat
Menurut Pertalian Darah?
5.
Bagaimana Hukum Kekerabatan Adat
Menurut Pertalian Perkawinan?
6.
Bagaimana Hukum Kekerabatan dat
Menurut Pertalian Adat?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum Kekerabatan Adat
Hukum kekerabatan adat ialah hukum
adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai
anggota dalam kerabat, kedudukan anak terhadap orang tuanya ataupun sebaliknya,
serta kedudukan anak terhadap kerabatnya ataupun sebaliknya dan masalah
perwalian anak.[1]
Secara sederhananya, hukum kekerabatan adat mengatur tentang pertalian sanak
saudara berdasarkan pertalian darah, pertalian perkawinan dan pertalian adat.
Pada dasarnya pengertian hukum kekerabatan dibagi menjadi dua. Pertama,
pengertian keturunan yaitu hubungan darah antara satu orang dengan yang
lainnya. Dengan adanya keturunan ini maka seorang individu memiliki hak dan
kewajiban yang berhubungan dengan keluarga serta silsilahnya. Kedua, adalah
hubungan anak dengan orang tua.
Menurut Prof. Bushar Muhammad, SH keturunan
dapat bersifat:
1.
Lurus, apabila ada seseorang
merupakan langsung keturunan dari yang lain. Misalnya antara bapak dan anak,
antara kakek. Bapak dan anak disebut lurus ke bawah apabila rangkaiannya
dilihat dari kakek, bapak lalu ke anak.
2.
Menyimpang atau bercabang, apabila
antara kedua orang atau lebih terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya
bapak ibunya sama (saudara sekandung), atau sekakek nenek.[2]
B.
Sistem Hukum
Kekerabatan Adat
Sistem kekerabatan yang dianut oleh
masyarakat adat Indonesia didasari oleh faktor genealogis, yakni suatu kesatuan
hukum yang mana para anggotanya terikat sabagai suatu kestauan karena persekutuan
hukum dimana mereka merasa berasala dari nenek moyang yang sama. Sistem
kekerabatan dipengaruhi oleh garis keturunan yang menurunkan atau diikuti oleh kesatuan hukum adat tersebut.[3]
Sistem kekerabatan yang ada di masyarakat
Indonesia dibagi menjadi:
1.
Sistem kekerabatan unilateral
Sistem
kekrabatan unilateral merupakan system kekerabatan yang anggota-anggotanya
menarik garis keturunan hanya dari satu pihak sajayakni ayah atau ibu. Sistem
kekerabatan ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Sistem kekerabatan matrilineal,
ialah sistem kekerabatan yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan hanya
dari pihak ibu saja Mereka menganggap bahwa kekerabtan dari pihak ibu lebih
kuat dan lebih penting dari hubungan kekerabatan dari pihak ayah.. Misalnya: di
daerah Minangkabau, Kerinci, Semendo (Sumatera Selatan), Lampung, Paminggir.
b.
Sistem kekerabatan patrilineal,
ialah sistem kekerabatan yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan hanya
dari pihak laki-laki/ ayah saja , terus menerus ke atas karea adanya
kepercayaan bahwa mereka berasal dari seorang ayah asal yang hubungannya jauh
lebih erat serta menganggap bahwa kekerabatan dari pihak ayah lebih penting
dari kekerabatan pihak ibu. Misalnya, di daerah Sumatera Utara, Gayo, Tapanuli,
Nias, Pulau Seram, Bali, Lombok, Pulau Baru.
2. Sistem
kekerabatan masyarakat bilateral/parental
Sistem kekerabatan
yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan baik melalui garis keturunan
ayah maupun ibu.[4]
C.
Kedudukan
Pribadi dalam Hukum Kekerabatan Adat
Pada hakekatnya setiap manusia
mempunyai nilai yang sama tentang nilai hidup, kemerdekaan, kesejahteraan,
kehormatan dan kebendaan. Hanya saja kehidupan masyarakat, adat budaya, serta
pengaruh agama yang dianut membuat penilaian terhadap manusia menjadi tidak
sama. Misalnya: Menurut adat budaya Minangkabau dibedakan antara beberapa
tingkat kemenakan, yaitu kemenakan batali darah, kemenakan batali adat,
kemenakan batali budi dan kemenakan di bawah lutut. Menurut adat budaya
masyarakat Lampung dibedakan antara warga kepunyimbangan bumi(marga),
kepunyimbangan ratu (tiyuh), kepunyimbangan suku dan beduwa (keturunan rendah).
Dalam agama Hindhu ada pembedaan golongan dalam masyarakata atau biasa disebut
dengan kasta, yaitu kasta Brahma (keturunan pendeta), kasta Ksatria (keturunan
bangsawan), kasta weisha (keturunan pedaganag), dan kasta Sudra (keturunan
rakyat jelata). Dengan adanya pembedaan pribadi seseorang dalam kehidupan
masyarakat maka berbeda pula hak dan kewajibannya serta kewenangannya dalam
kemasyarakatan hukum adatnya.
D.
Hukum
Kekerabatan Adat Berdasarkan Pertalian Darah
Berdasarkan pertailan darah, hukum
kekerabatan adat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.
Kedudukan Anak
Pertalian sanak
berdasarkan pertalian darah maka yang dibicarakan adalah kedudukan anak
kandung. Menurut Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 ( UU Perkawinan ) Tentang Kedudukan Anak, hak dan kewajibannya
terhadap orang tua dikatakan dalam Pasal 42 – 43 bahwa “anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak yang
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”.
Menurut hukum adat anak kandung yang sah
adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan ayah dan ibunya yang sah, walaupun
mungkin terjadinya perkawinan itu setelah ibunya hamil lebih dulu sebelum perkawinan.
Di daerah Lampung perkawinan semacam itu disebut kappang tubas
(perkawinan itu merupakan perkawinan darurat untuk menutup malu), di daerah
Jawa dikenal dengan istilah nikah tambelan, di daerah Bugis disebut patongkok
siri (perkawinan yang dilakukan bukan dengan pria yang member benih). Pada
kalangan umat Kristen/Katolik anak yang lahir diluar perkawinan tidak menjadi
masalah, untuk itu dalam agama mereka anak yang sudah ada sebelumnya itu dapat
diakui dan disahkan pada saat berlangsungnya pernikahan. Dikalangan Umat Islam
tidak ada lembaga untuk mengatur pengesahan anak yang lahir sebelum terjadinya
perkawinan yang sah. Di daerah Minahasa anak yang lahir diluar perkawinan
karena hubungan suami istri yang belum sah, dapat diakui oleh ayah biologisnya
dengan memberi lilikur (tanda pengakuan) dimana kedudukan anak hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.[5]
Kewajiban anak menurut UU Perkawinan terhadap orang tua bahwa anak wajib menghormati orang tua dan
menaati kehendak mereka yang baik (Pasal 46 ayat 1) dan apabila anak sudah
dewasa maka anak wajib memelihara menurut kemampuannya. Orang tua dan keluarga
dalam garis lurus keatas bila mereka memerlukan bantuan (Pasal 46 ayat 2). Hal
ini selaras dengan kehidupan keluarga dalam masyarakat yang bersifat parental
atau keluarga atau rumah tangga yang modern. Menurut hukum adat
dimana susunan kekerabatan yang patrilinial dan matrilineal yang masih kuat
disebut orang tua yang bukan hanya garis lurus ke atas saja melainkan juga
garis ke samping seperti: para paman, saudara ibu, saudara ayah, serta juga
buyut, canggah, dan Poyang.
Menurut UU Perkawinan anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum menikah maka
masih dalam kekuasaan orang tuanya, sedangkan yang tidak berada pada kekuasaan
orang tua berada dibawah kekuasaan wali. Dalam hukum adat lembaga perwalian itu
pada dasarnya tidak ada dan semua anak yang masih dibawah umur dan belum pernah menikah masih tetap berada
pada kekuasaan orang tuanya dan kerabat menurut struktur kemasyarakatan adatnya
masing-masing.
2.
Kedudukan Orang Tua
Menurut UU Perkawinan Pasal 45 (ayat 1-2) dikatakan bahwa kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu menikah
atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban memlihara dan mendidik anak tetap terus
berjalan meskipun perkawinan antara kedua orang tuanya putus. Pada masyarakat patrilinial
kewajiban memelihara dan mendidik anak dibebankan tanggung jawabnya kepada
kerabat pihak ayah dan dalam masyarakat matrilineal kewajiban dibebankan
tanggung jawabnya kepada kerabat pihak ibu/wanita.
Begitu pula dalam hal orang
tua mewakili anak mengenai segala
perbuatan hukum di dalam maupun di luar Pengadilan Pasal 42 ayat (2) menurut
hukum adat disesuaiakan dengan susunan kekerabatannya. Sedangkan klausa yang
menyatakan bahwa orang tua tidak boleh memindahkan hak ataupun menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang masih dibawah umur 18 tahun atau
belum menikah, kecuali jika kepentingan anaknya menghendakinya (Pasal 48), hal
ini tidak dikenal dalam hukum adat. Demikian pula hal itu berlaku bahwa salah
seorang dari mereka(orang tua) dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak
atau pada waktu tertentu atas permintaan orang tua, keluarga, ataupun pejabat
yang berwenang sesuia keputusan Pengadilan meskipun mlalaikan kewajiban
terhadap anaknya, ataupun berkelakuan buruk, hal ini pula tidak dikenal dalam
hukum adat.
Pada persekutuan kekerabatan adat tanggung
jawab kehidupan keluarga ditanggung
bersama, segala seuatu diselesaikan melalui musyawarah mufakat antar kerabat.
3.
Kedudukan Anak dan Kerabat
Hubungan antara anak dengan kerabat
tidak diatur dalam UU Perkawinan, tetapi
hubungan ini disesuaikan dengan hukum adat yang berlaku dalam lingkungan
masyarakat adat masing-masing.
Dalam lingkungan masyarakat adat patrilinial
anak tidak hanya wajib hormat kepada ayah dan ibunya saja, tetapi juga hormat
kepada para paman, saudara lelaki ayah. Diantara semua paman atau saudara
tersebut yang ikut bertanggung jawab penuh, dan memperhatikan, mengurusan serta
memelihara kemenakan(keponakan) adalah dari pihak kerabat saudara lelaki ayah,
sedangkan yang lainnya hanya bersifat membantu.
Sedangkan di lingkungan masyarakat
adat matrilineal yang terutama wajib dihormati adalah semua mamak saudara
lelaki ibu, terutama yang berkedudukan mamak kepala waris.
Dalam hal ini bukan berarti anak
tidak hormat kepada bako-baki(kerabat ayah), namun kelompok kerabat ini
bukan penanggung jawab penuha ats kepengurusan, pemeliharaan dan pendidikan
anak kemenakan oleh karena itu tanggung jawab terletak pada pada ibu dan mamak.
Di lingkungan masyarakat parental, dimana peranan orang tua sudah bertanggung
jawab penuh atas pemeliharaan dan pendidikan anak, maka semua anak wajib
menghormati ayah dan ibunya, sedangkan penghormatan terhadap paman, bibi atau
kerabat ayah dan ibunya sebatas sewajarnya (longgar). Pada kennyataanya anak
akan menghormati kerabat ayah dan ibunya bilamana yang paling sering memberikan
bantuan kepadanya, hal ini dikarenakan keluarga parental kebanyakan sudah hidup
mandiri berdiri di atas keluarganya saja.[6]
E.
Hukum
Kekerabatan Adat Berdasarkan Pertalian Perkawinan
Perkawinan menyebabkan timbulnya
hak dan kewajiban suami istri sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan (Pasal 30-34). Dalam hukum positif tidak mengatur mengenai hubungn
hukum kekerabatan yang timbul dari perkawinan, hubungan menantu dengan mertua,
hubungan per-iparan dan besanan antara kerabat yang satu dengan yang lain.
Untuk itu dalam hukum kekerabatan adat diatur mengenai hubungan kekerabatan
tersebut.
Diantara hubungan kekerabatan yang timbul dari
pertalian perkawinan, ialah:
1.
Kedudukan suami istri
Berdasarkan UU Perkawinan (Pasal 30-31) yang mengemukakan mengenai kedudukan suami istri
serta hak dan kewajibannya, hendaknya istilah “rumah tangga” bukan hanya
sebatas membentuk keluarga secara
batiniah saja, tetapi juga terkait karena adanya ikatan perkawinan yang terdiri
atas dua keluarga besar. Sehingga dengan adanya kekerabatan atas dasar
pertalian perkawinan ini juga berkaitan pada rasa saling mencintai dan
menghormati setiap anggota keluarga dan bagaimana mengimbangi antara hak dan
kewajiban baik antara suami istri dengan anggota kerabat yang lain atas dua
keluarga besar tersebut.Di era modern ini hubungan kekerabatanpun sudah
dipengaruhi oleh bentuk perkawinan yang mereka lakukan dan lingkungan sekitar
mereka. Jadi, tidak semua kekerabatan ini masih ada dan berjalan.[7]
Bentuk-bentuk perkawinan diantaranya:
a.
Perkawinan Bebas
Ikatan perkawinan suami istri dalam
bentuk “perkawinan bebas” yang banyak
berlaku dikalangan masyarakat parental, contohnya : Jawa atau keluarga-keluarga
modern yang individual serat apa yang menjadi tipe ideal dari bentuk rumah
tangga dan perkawinan yang dikehendaki perundangan nasional tersebut tidak
menimbulkan banyak masalah. Membentuk kehidupan yang mandiri antara suami dan
istri .[8]
b.
Perkawinan Jujur
Bentuk perkawinan dengan pemberian
uang jujur dari pihak kerabat pria kepada pihak kerabat wanita yang kebanyakan
dipertahankan oleh masyarakat kekerabatan patrilinial, untuk mempertahankan
garis keturunan lelaki, maka setelah perkawinan istri melepaskan kedudukan
kewargaan adatnya dari kekerabatan bapaknya dan masuk kedalam satuan
kekerabatan suaminya. Misalnya, didaerah Batak, Lampung, Bali, NTT, Maluku,
Irian Jaya yang menggunakan pertalian perkawinan jujur.
Ikatan
perkawinan jujur ini kewajiban memikul tanggung jawab menegakkan rumah tangga
adalah suami, sedangkan istri hanya sebagai pendampingnya. Jadi, hak dan
kedudukan istri tidak seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dlam
kehidupan berumah tangga maupun dalam hubungan kekerabatan dan masyarakat.
Istri tidak bebas melakukan perbuatan hukum tanpa ijin suami, karena suami
adalah kepala rumah tangga dan istri adalah pendamping suami.[9]
c.
Perkawinan Semenda
Bentuk perkawinan tanpa pembayaran
uang jujur yang kebanyakan dipertahankan oleh masyarakat kekerabatan
matrilineal, untuk mempertahankan garis keturunan wanita yang merupakan
kebalikan dari perkawinan jujur. Dimana setelah perkawinan suami masuk ke dalam
kekerabatan istri atau hanya sebagai pemberi benih keturunan yang tidak
bertanggung jawab penuh di dalam rumah tangga. Dalam hal ini hak dan kedudukan
suami berada dibawah pengaruh istri dan kerabatnya.[10]
F.
Hukum
Kekerabatan Berdasarkan Pertalian Adat
Pertalian sanak berdasarkan
pertalian adat maka yang utama dibahas adalah hubungan hukum antara anak
angkat, anak tiri, anak asuh atau anak akuan. Sebelumnya akan dijabarkan
mengenai pengertian anak angkat, anak tiri dan anak asuh.
1.
Anak Angkat, ialah anak orang
lainyang diangkat oleh orang tua (angkat) dengan resmi menurut hukum adat
setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan
atas harta kekayaan rumah tangga. Pengangkatan anak biasanya dilakukan terhadap
anak kemenekan sendiri yang diambil lebih muda (usia) serta pengangkatan
tersebut harus jelas dan terang serta disetujui oleh semua anggota kerabat yang
bersangkutan.[11]
Kedudukan anak angkat sama halnya dengan
kedudukan anak kandung yang akan menjadi penerus dan pewaris dari orang tua
angkatnya dan anak angkat itu tidak lagi mewarisi harta kekayaan milik orang
tua kandungnya melainkan apabila orang tua kandungnya tidak mempunyai anak
lelaki lain, sehingga anak tadi menjadi pewaris dari kedua ayah yang bersaudara
tersebut.
2.
Anak Tiri, ialah anak kandung yang
dibawa oleh suami atau istri dari perkawinan sebelumnya sehingga salah satu
dari merek menyebutnya anak tiri. Kedudukan anak tiri di dalam suatu keluarga
pada masyarakat adat juga terdapat perbedaan
karena tergantung pada susunan kekerabatan atau bentuk perkawinan ayah
atau ibu tirinya. Kewajiban orang tua tiri terhadap anak tiri yang diikutsetakan
dalam perkawinan, baik untuk memelihara dan mendidik mereka tidaka ada bedanya
dengan anak kandung (anak sendiri). Kewajiban anak tiri terhadap orang tua sama
halnya dengan kewajiban seorang anak kandung kepada orang tua.
Kedudukan anak tiri dalam bentuk perkawinan
jujur ataupun semenda tidak terlepas dari pengaruh kekerabatan ayah atau ibu.
Bagi ayah tiri terdapat ketentuan yang harus diperhatikan untuk tidak begitu
saja melakukan transaksi atas hak milik kepada anak tiri yang amsih dibawah
umur atau tanpa kesepakatan anggota kerabat. Dalam hal ini, anak tiri pada
dasarnya hanay bisa mewarisi dari orang tua yang melahirkannya.[12]
3.
Anak akuan (asuh), ialah anak orang
lain yang mengakui karena belas kasihan dimana terkadang ada alasan untuk
mengasuh anak tersebut karena belum mempunyai keturunan. Kedudukan anak akuan
ini terhadap orang tua yang mengasuhnya bukan sebagai ahli warisnya, oleh
karena itu pada dasarnya pengakuan anak asuh tidak mengubah hubungan hukum
dengan orang tua kandungnya, kecuali dialihkan dari anak asuhan menjadi anak
angkat. Adakalanya anak asuhan mendapat bagian warisan dari orang tua asuh
dikarenakan rasa kebijaksanaan ataupun rasa kasih sayang orang tua
asuh pada anak asuhnya. [13]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
1.
Hukum kekerabatan adat ialah hukum
adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai
anggota dalam kerabat, kedudukan anak terhadap orang tuanya ataupun sebaliknya,
serta kedudukan anak terhadap kerabatnya ataupun sebaliknya dan masalah
perwalian anak.
2.
Sistem kekerabatan yang ada di
masyarakat Indonesia dibagi menjadi dua:
a.
Sistem kekerabatan unilateral,
sistem kekerabatan unilateral merupakan sistem kekerabatan yang
anggota-anggotanya menarik garis keturunan hanya dari satu pihak sajayakni ayah
atau ibu. Dibagi lagi menjadi dua, yaitu: system kekerabtan matrilineal dn
system kekerabtan patrilinial.
b.
Sistem kekerabatan masyarakat bilateral/parental
Sistem kekerabatan yang anggota-anggotanya
menarik garis keturunan baik melalui garis keturunan ayah maupun ibu.
3.
Pada hakekatnya setiap manusia
mempunyai nilai yang sama tentang nilai hidup, kemerdekaan, kesejahteraan,
kehormatan dan kebendaan. Hanya saja kehidupan masyarakat, adat budaya, serta
pengaruh agama yang dianut membuat penilaian terhadap manusia menjadi tidak
sama. Dalam agama Hindhu ada pembedaan golongan dalam masyarakata atau biasa
disebut dengan kasta, yaitu kasta Brahma (keturunan pendeta), kasta Ksatria
(keturunan bangsawan), kasta weisha (keturunan pedaganag), dan kasta Sudra
(keturunan rakyat jelata).
4.
Berdasarkan pertailan darah, hukum
kekerabatan adat dibagi menjadi tiga, yaitu:
a.
Kedudukan Anak
b.
Kedudukan Orang Tua
c.
Kedudukan Anak dan Kerabat
5.
Diantara hubungan kekerabatan yang
timbul dari pertalian perkawinan, ialah:
Kedudukan suami istri dimana terdapat
bentuk-bentuk perkawinan:
a.
Perkawinan Jujur
b.
Perkawinan Bebas
c.
Perkawinan Semenda
6.
Pertalian sanak berdasarkan
pertalian adat maka yang utama dibahas adalah hubungan hukum antara anak
angkat, anak tiri, anak asuh atau anak akuan. Sebelumnya akan dijabarkan
mengenai pengertian anak angkat, anak tiri dan anak asuh.
a.
Anak Angkat, ialah anak orang
lainyang diangkat oleh orang tua (angkat) dengan resmi menurut hukum adat
setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan
atas harta kekayaan rumah tangga. Kedudukan anak angkat sama halnya dengan
kedudukan anak kandung yang akan menjadi penerus dan pewaris dari orang tua
angkatnya dan anak angkat itu tidak lagi mewarisi harta kekayaan milik orang
tua kandungnya melainkan apabila orang tua kandungnya tidak mempunyai anak
lelaki lain, sehingga anak tadi menjadi pewaris dari kedua ayah yang bersaudara
tersebut.
b.
Anak Tiri, ialah anak kandung yang
dibawa oleh suami atau istri dari perkawinan sebelumnya sehingga salah satu
dari merek menyebutnya anak tiri. Kedudukan anak tiri di dalam suatu keluarga
pada masyarakat adat juga terdapat perbedaan
karena tergantung pada susunan kekerabatan atau bentuk perkawinan ayah
atau ibu tirinya. Kewajiban orang tua tiri terhadap anak tiri yang
diikutsetakan dalam perkawinan, baik untuk memelihara dan mendidik mereka
tidaka ada bedanya dengan anak kandung (anak sendiri). Kewajiban anak tiri
terhadap orang tua sama halnya dengan kewajiban seorang anak kandung kepada
orang tua.
c.
Anak akuan (asuh), ialah anak orang
lain yang mengakui karena belas kasihan dimana terkadang ada alasan untuk
mengasuh anak tersebut karena belum mempunyai keturunan. Kedudukan anak bukan
sebagai ahli warisnya, Adakalanya anak asuhan mendapat bagian warisan dari
orang tua asuh dikarenakan rasa kebijaksanaan ataupun rasa kasih sayang orang tua
asuh pada anak asuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma,
Hilman. Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya bakti, 1995.
Hidayat,
Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1992.
Muhammad,
Bushar. Pokok-pokok Hukum Adat , Jakarta: Pradnya Paramita, 2006
Poesponoto,
Soebakti. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 2001,
Sudiyat, Iman.
Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1981.
[1] Hilman Hidayat, Pengantar
Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1992, hlm. 201.
[2] Bushar Muhammad, Pokok-pokok
Hukum Adat , Jakarta: Pradnya Paramita, 2006, hlm. 4.
[3] Soebakti Poesponoto, Asas-Asas
dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 2001, hlm. 144.
[4] Ibid., hlm. 145-146.
[5] Hilman Hidayat, Pengantar
Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1992, hlm. 202-203.
[6] Ibid., hlm. 205.
[7] Iman Sudiyat, Hukum Adat
Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1981, hlm.91-92.
[8] Ibid., hlm. 93.
[9] Ibid., hlm. 94.
[10] Ibid., hlm. 95.
[11] Hilman Hadikusuma, Hukum
Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya bakti, 1995, hlm. 143.
[12] Ibid., hlm. 149.
[13] Ibid., hlm. 151.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar