PARTAI POLITIK NU
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Ulangan Tengah Semester
Mata Kuliah : Fiqh Siyasah
Dosen Pengampu : H. Jaenal Arifin, M.Ag
![]() |
Disusun Oleh
Budi Utomo 1520110024
![]() |
|||
![]() |
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI AKHWAL AS-SYAHSIYAH
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai sebuah gerakan, Nahdatul Ulama (NU)
hadir seiring dengan kondisi bangsa Indonesia yang masih terhegemoni oleh
kekuasaan penjajahan asing (Belanda). Pada masa itu pula, setiap gerakan rakyat
yang muncul selalu berdedikasi kepada keinginan untuk merubah keadaan bangsa
dan meningkatkan kualitas warga bangsa melalui peningkatan kualitas
keagamaannya. Paling tidak terdapat dua gerakan besar yang hadir pada masa itu
dan berkembang pesat hingga kini sehingga dapat dianggap sebagai gerakan Islam
terbesar di Indonesia. Walaupun keduanya lahir dalam suasana yang sama, tetapi
dari sisi lain keduanya mempunyai wawasan yang berbeda, sehingga dalam
perkembangannya, perbedaan itu menjadi ciri-ciri yang berkembang dengan sangat
menyolok pada basis sosial masing-masing.
Sesuatu yang menarik untuk dicermati gagasan
mengenai finalitas bentuk negara Indonesia justru dicetuskan oleh NU.
Organisasi yang telah dikenal dengan identitas tradisionalnya. Pengakuan
terhadap negara RI sebagai sebuah bentuk final dan sistem kenegaraan yang sah.
Demikan pula perubahan NU dari organisasi yang berwatak tradisional radikal
menjadi organisasi sosial keagamaan yang mempelopori penerimaan asas tunggal
Pancasila menjadi catatan tersendiri dalam sejarah hubungan NU dengan negara,
hal ini karena pada dasawarsa 1970-an, NU tampil sebagai unsur PPP yang paling
keras mengkritik kebijaksanaan pemerintah. Perjuangan NU di bidang politik
kenegaraan juga tidak ketinggalan, ulama-ulama NU banyak yang merasa terpanggil
untuk aktif dalam pemerintahan. Sampai saat ini peran NU tidak diragukan lagi
dalam pergumulan modernitas politik kenegaraan dan ini menjadi cerminan tentang
mengkuatnya akar tradisionalisme dalam percaturan besar kehidupan berbangsa dan
bernegara. Melalui Muktamar yang ke-19 di Palembang tahun 1952 karena adanya
picu peledak dari Masyumi, lahirlah Partai Politik Nahdatul Ulama. Oleh karena
itu di dalam makalah ini akan dibahas tentang masa pertumbuhan NU sebagai
partai politik, masa perjuangan NU dalam bidang politik dan pemerintahan, masa
pengolakan dan masa orde baru NU sebagai partai politik.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Masa Pertumbuhan Nahdatul
Ulama Sebagai Partai Politik ?
2.
Bagaimana Masa Perjuangan Nahdatul
Ulama Sebagai Partai Politik ?
3.
Bagaimana Masa Pergolakan Nahdatul
Ulama Sebagai Partai Politik ?
4.
Bagaimana Masa Orde Baru Nahdatul
Ulama Sebagai Partai Politik ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masa Pertumbuhan (
1952-1955 )
Beberapa waktu sebelum keluar dari Masyumi,
KH. A. Wahid Hasyim selaku Ketua Muda PBNU telah banyak melakukan kegiatan
prakondisi. Perkembangan politik dalam tubuh Masyumi senantiasa disampaikan
kepada para tokoh NU baik di daerah maupun di pusat. Maksudnya agar mereka juga
ikut menilai, memikirkan dan kemudian menentukan sikap. Puncak pra-kondisi itu
ditandai dengan berkumpulnya tokoh-tokoh NU se-Jawa dan Madura di kediaman KH.
Maksum Khalil, Jagalan-Jombang, awal April 1952. Berbagai persoalan telah
dibahas dan akhirnya diputuskan : “ Secara organisatoris NU memisahkan diri
dari Masyumi, dan mengusahakan kepada Masyumi agar segera mengadakan
re-organisasi untuk menjadikan dirinya sebagai badan federasi. Keputusan ini
kemudian dituangkan dalam keputusan PBNU yang terkenal dengan “Surat Keputusan PBNU tanggal 5/6 April 1952”.[1]
Kemudian pada Muktamar ke-19 di Palembang
tanggal 28 April – 1 Mei 1952, keputusan PBNU tersebut disampaikan dalam
Muktamar. Ternyata 61 suara menyetujui, 9 suara menolak dan 7 suara memisahkan
diri dari Masyumi dengan syarat sebagai berikut :
1.
Pelaksanaan keputusan jangan sampai
menimbulkan kegoncangan di kalangan ummat Islam Indonesia,
2.
Pelaksanaan keputusan tersebut
dilakukan melalui perundingan dengan Masyumi,
3.
Keputusan ini dijalankan dalam
hubungan luas berkenaan dengan keinginan membentuk Dewan Pimpinan Ummat Islam
Indonesia yang nilainya lebih tinggi, di mana partai-partai dan organisasi
dapat berkumpul dan berjuang bersama-sama.
Selain itu, Muktamar juga membentuk panitia
yang terdiri dari 7 cabang, 3 di antaranya cabang yang setuju kepada keputusan
PBNU, 3 dari cabang yang kontra (tidak setuju) dan 1 cabang yang blanko.
Panitia ini bersama dengan PBNU akan menentukan sikap : Apakah NU akan
memproklamasikan menjadi partai politik atau tidak. Dan panitia ini akan
bersidang menunggu hasil perundingan NU dengan Masyumi
mengenai sikap tersebut.[2]
Ternyata, Masyumi tidak mau mendengarkan niat
baik NU. Dan lahirlah Partai Politik NU yang disponsori para Kiai. Masih dalam
Muktamar Palembang NU memutuskan beberapa pokok pikirannya yang erat
hubungannya dengan politik :
1.
Mendesak Pemerintahan RI agar segera
mengadakan Pemilihan Umum,
2.
Menyetujui kehendak Pemerintahan RI
untuk mengadakan penghematan dan membasmi pengeluaran yang tidak jujur,
3.
Mendesak kepada Pemerintah agar
menggiatkan pendidikan Pancasila secara teratur dan bersungguh-sungguh, khususnya
tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang tampaknya kurang mendapat perhatian.[3]
B. Masa Perjuangan (
1955-1959 )
Setelah proklamasi kemerdekaan, hampir semua
organisasi Islam sepakat menjadikan Masyumi sebagai satu-satunya Partai Politik
Islam. Organisasi-organisasi Islam yang pertama kali memperkuat Partai Masyumi
adalah : NU, Muhammadiyah, Perserikatan Ulama Islam, Persatuan Umat Islam dan
pada tahun berikutnya ditambah oleh organisasi-organisasi lain, seperti :
Al-Irsyad, Al-Jamiyyah al-Wasliyah, dan Pesatuan Islam. Untuk menjadi anggota
Masyumi dapat dilakukan dengan dua jalur, yaitu keanggotaan pribadi dan keanggotaan
organisasi. Cara keanggotaan inilah yang tidak disetujui oleh Nahdlatul
Ulama karena akan menyebabkan rapuhnya dukungan terhadap Masyumi sebagai
satu-satunya wadah politik umat Islam kelak di kemudian hari.
Pada tahun 1949 pimpinan partai Masyumi melakukan
reorganisasi dengan mengubah fungsi Majelis Syuro hanya sebagai penasehat.
Menanggapi keputusan tersebut, dalam mukhtamar XVIII NU di Jakarta pada 30
April-3 Mei 1950 diputuskan NU akan keluar dari Masyumi sambil menunggu
sementara waktu untuk memberikan kesempatan partai Masyumi meninjau
pendiriannya atas koreksi-koreksi yang disampaikan NU. Akhirnya, pada muktamar
XIX NU di Palembang pada 1 Mei 1952, secara resmi NU menyatakan keluar dari
partai Masyumi dan menjadikan dirinya sebagai partai politik. Sejak itu NU
memasuki dunia politik secara otonom dan terlibat langsung dalam
persoalan-persoalan kekuasaan Negara. Meskipun demikian, NU tidak melepaskan
karakteristiknya sebagai organisasi keagamaan dengan tetap mempertahankan
struktur kepemimpinan formalnya yang disebut Syuriah dan Tanfidziyah.
Sebagai partai politik, sudah tentu NU
dituntut untuk mengambil bagian dalam berbagai aktivitas pemerintahan guna
membangun bangsa dan Negara. Pada tahun 1953, NU masuk dalam cabinet Ali
Sastroamijaya dengan menempatkan kader-kadernya, yaitu: KH. Zainul Arifin
(Wakil Perdana Menteri), KH. Masykur (Menteri Agama), Muhammad Hanafiyah
(Menteri Agraria). Begitu juga pada masa cabinet Burhanuddin Harahap, NU juga
ikut didalamnya. Dua orang duduk dalam kementrian, yakni Mr. Sunaryo (Menteri
Dalam Negeri) dan KH. Mohammad Ilyas (Menteri Agama).
Pada Pemilihan Umum tahun 1955, di luar dugaan
NU menempati urutan ketiga dan menjadi empat partai besar dengan memperoleh 45
kursi di parlemen (DPR RI). Setelah dalam pemilu 1955 berhasil keluar sebagai
partai besar, pasca pemilu 1955 NU menghadapi berbagai tantangan yang
memerlukan perjuangan yang ulet dan militant. Sebab kabinet yang disusun
berdasarkan hasil pemilu yang dikenal dengan Kabinet Ali Sastroamiidjojo II
atau Kabinet Ali-Roem-Idham- kabinet koalisi partai PNI-Masyumi-NU telah
mendapat tantangan yang berat dari presiden Soekarno. Presiden Soekarno secara
terang-terangan menyatakan keinginannya agar diikut sertakan dalam
Kabinet. Alasannya karena PKI juga berhasil menjadi salah satu dari empat
partai besar. Tetapi baik PNI, NU, maupun Masyumi tidak menginginkan
keikutsertaan PKI dalam Kabinet. Pembelaan Soekarno kepada PKI, secara politis
menguntungkan PKI dalam pertumbuhan politik di Indonesia selanjutnya, dan
presiden Soekarno sudah melibatkan diri ke dalam kancah politik dan langsung
menyaingi Parlemen. Dengan konsep “Demokrasi Terpimpin”, presiden Soekarno
mengecam system “Demokrasi Liberal”, karena system banyak partai yang tidak
pernah membangun sebuah pemerintahan yang kuat, yang dibutuhkan Indonesia guna
membangun dirinya..
Keadaan semakin bahaya setelah dibubarkannya
Kabinet Ali-Roem-Idham dalam bulan Maret 1957, praktis peranan Parlemen dan
partai-partai politik menjadi merosot. Pusat kekuasaan yang biasanya berada di
Parlemen beralih kepada Presiden Soekarno. Dengan segera presiden mengumumkan
gagasannya membentuk Dewan Nasional dan membubarkan partai-partai, dengan
menerapkan demokrasi terpimpin, memasukkan golongan fungsionilke dalam
Parlemen. Langkah pertama yang dilakukan Presiden Soekarno adalah membentuk
Kabinet baru. Untuk menghadapi situasi politik seperti itu, NU masih sempat
mencoba mengadakan Sidang Pleno NU bersama konsul-konsul NU se-Indonesia
pada tanggal 9-10 Maret 1957, yang khusus membicarakan gagasan dari presiden
Soekarno yang ingin membentuk Dewan Nasional, pada intinya, akan menyetujui
dengan syarat Dewan Nasional hanya bersifat sebagai penasehat dan tidak
mempunyai akibar politis, dan pembentukannya diselesaikan oleh Kabinet bersama
Kepala Negara.
C. Masa Pergolakan (
1959-1968 )
Setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959, pimpinan
pemerintah dan Angkatan Bersenjata diletakkan di tangan Presiden. Otonomi Presiden Soekarno semakin mekar dan
bahkan menjadi ukuran kehidupan politik dimasa itu. Organisasi sosial
poitik menjadi lumpuh tidak berdaya. Suhu politik semakin memanas dan
sia-sia demokrasi yang paling penghabisan pun lenyap tertelan gelombang
Demokrasi terpimpinya presiden Soekarno.
Tindakan-tindakan inkonstitusional semakin
gencar dilakukan presiden. Antara lain, MPR hasil pemilihan rakyat dibubarkan
dan diganti MPRS yang diatur oleh Penetapan Prsiden (Penpres) No.2 tahun 1959
tanggal 22 Juli 1959. Anggota MPRS diangkat dan Setelah Dekrit Presiden 5 Juli
1959, pimpinan pemerintah dan Angkatan Bersenjata diletakkan di tengah
presiden. Bahkan demi kesatuan komando - sesuai dengan prinsip Demokrasi
Terpimpin pimpinan rakyat perlu diserahkan secara formal pula kepada Presiden.
Pimpinan rakyat itu pun diwujudkan dengan membentuk organisasi massa yang
dipimpin lagsung oleh Presiden. Dengan demikian, kekuasaan semakin berpusat ke
Istana Ngara, keangan Presiden Soekarno, fungsi diberhentikan oleh presiden
sendiri.
Ide Presiden Soekarno paling penting adalah
mempersatukan bangsa Indonesia ke dalam NASKOM (Nasionalisme-Agama-Komunisme).
Ide ini terlihat jelas pada amanat Presiden 17 Agustus 1960, yang kemudian
terkenal dengan rumusan “ Jalannya Revolusi Kita” (JAREK)
Perwira-perwira militer, khususnya Angatan
Darat ( AD), yang memegang pimpinan ABRI memang terkenal anti-Komunis (PKI).
Sikap itu dibentuk oleh sebuah pengalaman pahit menghadapi pemberontakan
merebut kekuasaan yang dilakukan oleh partai Komunis, September 1948, yang
terkenal dengan “ PERISTIWA MADIUN”.
Ketika partai NU mengadakan Muktamar ke-22
pada 14-18 Desember 1959 di Jakarta, Idham Chalid di depan Muktamar perlu
menjelaskan bahwa keadaan Negara (kala itu) memerlukan kebijaksanaan dan cara
yang banyak berbeda dari keadaan normal sebelumnya.
Beberapa hal yang perlu dicatat selama NU
menduduki kementerian agama antara lain :
1.
Tentang penyelenggaraan ibadah haji.
2. Pendirian Masjid Istiqlal yang kini merupakan
symbol kemegahan Islam di Idonesia, adalah atas hasil usaha menteri Agama KH.
A. Wahid Hasyim di zaman Bung Karno, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Menteri
Agama KH. Ilyas, yang juga dari NU.
3. Pendirian Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
adalah hasil u-saha Menteri Agama KH. Wahib Wahab.
4. Penerjemahan serta p-encetakan Al-Qur’an oleh
departemen agama.
5.
Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang sampai saat ini masih terus bergema,
hasil usaha Menteri Aama KH. M.Dachlan. [4]
D. Masa Orde Baru (
1968-1973)
Pengakuan Jenderal Soeharto sebagai
Presiden oleh MPRS dalam bulan Maret 1968, menurut Alfian, dapat dipergunakan
sebagai ukuran bahwa kaki Orde Baru sudah tertanam kuat. Tetapi Jenderal
Soeharto masihdihapkan pada persoalan penting tentang format politik macam apa
yang harusditumbuhkan dan dikembangkan untuk membangu Indonesia kembali.
Di zaman “Demokrasi Liberal”,
stabilitas politik tidak pernah terwujud. Penyebabnya, antara lain, karena
sistem banyak partai tidak pernah berhasil membentuk kabinet atau
eksekutif yang kuat. Sedangkan di zamann “Demokrasi Terpimpin” kekuasaan
Presiden Soekarno sebagai kepala eksekutif sangat besar. Tetapi kekuasaan itu,
ternyata, tidak dapat dipergunakan secara efektif dan baik. Sebab Presiden
Soekarno tidak pernah berhasil melaksanakan ide penyederhanaan sistem
kepartaian secara berarti, dan yang lebih penting, karena Soekarno tidak
memiliki basis masa yang mampu menyangga kedudukannya.
Semenjak itu, tingkah laku poltik
Jenderal Soeharto menjurus kepada usaha-usaha menghilangkan kelemahan yang
pernah terjadi di zaman Presiden Soekarno. Sehingga, pada masa itu pula,
dibentuk kabinet atau eksekutif yang kuat, bersama dengan pengukuhan posisi
militer dan Golongan Karya (GOLKAR) sebagai basis utama kekuatannya. Sejalan
dengan itu, proses penyederhanaan partai berjalan secara sistematis. Dan inilah
format baru yang ditumbuhkan di masa Orde Baru.
AH.Nasution mengemukakan, skala
prioritas perjuangan Orde Baru adalah:
1.
Membangun kembali ekonomi yang
sudah parah akibat kesalahan pemerintah Orde Lama, terutama sandang pangan.
Pada tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru
NU memegang peranan cukup besar. Akan tetapi dalam perkembangannya, NU
mengalami anti klimaks dari seluruh prestasi politiknya. Sampai menjelang
pemilu 1971, NU masih memiliki wakilnya di kabinet, tetapi ketika jabatan
Menteri Agama beralih ke tangan Prof. Dr. A. Mukti Ali berakhirlah sejarah
keikut sertaan NU dalam kabinet pemerintahan Orde Baru. Keterlibatan NU
dibidang politik sesudah itu hanya pada sekitar parlemen (legislative),
sehingga secara nasional peranannya semakin menyempit.
Pengalaman traumatic sebagai akibat
pelaksanaan demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin, mendatangkan badai
kritik terhadap tatanan politik yang ada. Perombakan struktur politik menjadi
suatu keniscayaan, sehingga dilakukan penyedrhanaan partai dan perubahan
orientasi dalam pembangunan politik di Indonesia. Pada 5 Januari 1973 di
deklarasikan berdirinya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi
dari empat 94) partai Islam peserta pemilu 1971, yakni : NU, Parmusi, PSII dan
Perti. Dari partai ini diharapkan muncul kesatuan langkah umat Islam dalam
membawakan aspirasi politiknya.
Semula peranan NU dalam PPP cukup besar karena
hampir seluruh personalia pusatnya dijabat oleh tokoh-tokoh NU seperti : KH.
Bisri Syamsuri (Rais Am Majelis Syura), KH. Masykur (Ketua Majelis Pertimbangan
Partai), dan KH. Idham Khalid (Presiden Partai). Akan tetapi sejak kepemimpinan
J. Naro peranan NU semakin berkurang karena dominasi unsure-unsur di luar NU,
terutama MI (Muslim Indonesia), yang menduduki jabatan-jabatan strategis dalam
kepemimpinan partai.
Kondisi ini mempengaruhi timbulnya gagasan-gagasan yang mengambil tema “kembali
kepada jiwa 1926”. Gagasan ini pertama kali muncul secara terbuka pada Muktamar
XXV NU (20-25 Desember 1971) di Surabaya. Usaha mengembalikan keberadaan NU
sebgai organisasi keagamaan (jamiyyah diniyah) semakin menunjukkan hasilnya
pada Muktamar XXVI NU (5-11 Juli 1979) di Semarang. Akhirnya pada Muktamar XXVII
NU (8-12 Desember 1984) di Situbondo, NU secara resmi melepaskan diri dari
kegiatan politik praktis dan membebaskan warganya untuk memilih dan menyalurkan
aspirasi politiknya kepada partai-partai politik peserta pemilihan umum. Sejak
itu NU menapaki lembaran baru sejarahnya dengan kembali kepada jati dirinya
sebagai organisasi social keagamaan (jamiyyah diniyah ijtimaiyah) yang lebih
popular dengan kembali kepada “khitthah NU 1926”.[5]
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Keaktifam NU
dalam mengambil bagian penciptaan stabilitas politik semakin mantap, dan kerja
keras NU tidaklah sia-sia. Dalam masa pertumbuhannya, partai politik NU
menghadapi berbagai kesulitan, yang akhirnya membawa keberhasilan dalam
pencapaian hasil pemilu yang mengubah peta politik Indonesia yang mampu
mengangkat prestise ummat Islam dalam percaturan politik di Parlement maupun di
Kabinet.
Masa
perjuangan NU Sebagai partai politik, sudah tentu NU dituntut untuk mengambil
bagian dalam berbagai aktivitas pemerintahan guna membangun bangsa dan Negara.
Sikap dan perjuangan NU dalam menghadapi situasi sebagaimana pun, akan tetap
menyesuaikan diri dalam batas-batas yang masih mungkin untuk dilakukan tanpa
melupakan prinsip dan objektivitas. Karena mengakui kenyataannya keterbatasan
pada dirinya sebagai kekuatan politik.
Pada masa
pergolakan, NU mulai terjepit posisinya setelah peristiwa pergolakan Gestapu
PKI. Sebagai satu-satunya partai politik yang mempunyai andil besar dalam
penumpasan PKI dan terciptannya orde baru, kedudukannya di dalam kabinet maupun
front politik semakin terdesak, sikap-sikap politiknya semakin lemah, karena
isu-isu yang sempat menggetarkan sejumlah pemimpin NU, selain factor internal
juga disebabkan karena faktor eksternal.
Pada masa orde
baru, perkembangan politik di bawah Jenderal Soeharto yang menumbuhkan dan
mengembangkan pembentukan eksekutif yang kuat yang didukung oleh basis massa
riil, serta penyederhanaan sistem
kepartaian dan menjauhi atau menolak radikalisme.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Basit Adnan, Kemelut di NU Antara Kyai dan Politisi.Sala, CV. M
ayasari, 1980.
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta,
Gramedia, 2009
Maksoem Mahfoedz, Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama, Surabaya,
Yayasan Kesejahteraan Ummat.1982.
.
Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, IV .Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
2004
[1]
Maksoem Mahfoedz, Kebangkitan Ulama dan
Bangkitnya Ulama, (Surabaya, Yayasan Kesejahteraan Ummat, 1982), hal. 90-91
[2] Haji Abdul Basit Adnan, Kemelut
di NU Antara Kyai dan Politisi, (Sala, CV. M ayasari, 1980), hal.18-19
[4] Sartono Kartodirjo, Sejarah
Nasional Indonesia, IV (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1975), hal. 107
[5]
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik
Indonesia, (Jakarta, Gramedia, 1983), hal. 34-35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar