Minggu, 12 November 2017

Partai Politik NU




PARTAI POLITIK NU
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Ulangan Tengah Semester
Mata Kuliah : Fiqh Siyasah
Dosen Pengampu : H. Jaenal Arifin, M.Ag


 









Disusun Oleh
Budi Utomo    1520110024








 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI AKHWAL AS-SYAHSIYAH
2017

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sebagai sebuah gerakan, Nahdatul Ulama (NU) hadir seiring dengan kondisi bangsa Indonesia yang masih terhegemoni oleh kekuasaan penjajahan asing (Belanda). Pada masa itu pula, setiap gerakan rakyat yang muncul selalu berdedikasi kepada keinginan untuk merubah keadaan bangsa dan meningkatkan kualitas warga bangsa melalui peningkatan kualitas keagamaannya. Paling tidak terdapat dua gerakan besar yang hadir pada masa itu dan berkembang pesat hingga kini sehingga dapat dianggap sebagai gerakan Islam terbesar di Indonesia. Walaupun keduanya lahir dalam suasana yang sama, tetapi dari sisi lain keduanya mempunyai wawasan yang berbeda, sehingga dalam perkembangannya, perbedaan itu menjadi ciri-ciri yang berkembang dengan sangat menyolok pada basis sosial masing-masing.
Sesuatu yang menarik untuk dicermati gagasan mengenai finalitas bentuk negara Indonesia justru dicetuskan oleh NU. Organisasi yang telah dikenal dengan identitas tradisionalnya. Pengakuan terhadap negara RI sebagai sebuah bentuk final dan sistem kenegaraan yang sah. Demikan pula perubahan NU dari organisasi yang berwatak tradisional radikal menjadi organisasi sosial keagamaan yang mempelopori penerimaan asas tunggal Pancasila menjadi catatan tersendiri dalam sejarah hubungan NU dengan negara, hal ini karena pada dasawarsa 1970-an, NU tampil sebagai unsur PPP yang paling keras mengkritik kebijaksanaan pemerintah. Perjuangan NU di bidang politik kenegaraan juga tidak ketinggalan, ulama-ulama NU banyak yang merasa terpanggil untuk aktif dalam pemerintahan. Sampai saat ini peran NU tidak diragukan lagi dalam pergumulan modernitas politik kenegaraan dan ini menjadi cerminan tentang mengkuatnya akar tradisionalisme dalam percaturan besar kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui Muktamar yang ke-19 di Palembang tahun 1952 karena adanya picu peledak dari Masyumi, lahirlah Partai Politik Nahdatul Ulama. Oleh karena itu di dalam makalah ini akan dibahas tentang masa pertumbuhan NU sebagai partai politik, masa perjuangan NU dalam bidang politik dan pemerintahan, masa pengolakan dan masa orde baru NU sebagai partai politik.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Masa Pertumbuhan Nahdatul Ulama Sebagai Partai Politik ?
2.      Bagaimana Masa Perjuangan Nahdatul Ulama Sebagai Partai Politik ?
3.      Bagaimana Masa Pergolakan Nahdatul Ulama Sebagai Partai Politik ?
4.      Bagaimana Masa Orde Baru Nahdatul Ulama Sebagai Partai Politik ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Masa Pertumbuhan ( 1952-1955 )
Beberapa waktu sebelum keluar dari Masyumi, KH. A. Wahid Hasyim selaku Ketua Muda PBNU telah banyak melakukan kegiatan prakondisi. Perkembangan politik dalam tubuh Masyumi senantiasa disampaikan kepada para tokoh NU baik di daerah maupun di pusat. Maksudnya agar mereka juga ikut menilai, memikirkan dan kemudian menentukan sikap. Puncak pra-kondisi itu ditandai dengan berkumpulnya tokoh-tokoh NU se-Jawa dan Madura di kediaman KH. Maksum Khalil, Jagalan-Jombang, awal April 1952. Berbagai persoalan telah dibahas dan akhirnya diputuskan : “ Secara organisatoris NU memisahkan diri dari Masyumi, dan mengusahakan kepada Masyumi agar segera mengadakan re-organisasi untuk menjadikan dirinya sebagai badan federasi. Keputusan ini kemudian dituangkan dalam keputusan PBNU yang terkenal dengan “Surat Keputusan PBNU tanggal 5/6 April 1952”.[1]
Kemudian pada Muktamar ke-19 di Palembang tanggal 28 April – 1 Mei 1952, keputusan PBNU tersebut disampaikan dalam Muktamar. Ternyata 61 suara menyetujui, 9 suara menolak dan 7 suara memisahkan diri dari Masyumi dengan syarat sebagai berikut :
1.      Pelaksanaan keputusan jangan sampai menimbulkan kegoncangan di kalangan ummat Islam Indonesia,
2.      Pelaksanaan keputusan tersebut dilakukan melalui perundingan dengan Masyumi,
3.      Keputusan ini dijalankan dalam hubungan luas berkenaan dengan keinginan membentuk Dewan Pimpinan Ummat Islam Indonesia yang nilainya lebih tinggi, di mana partai-partai dan organisasi dapat berkumpul dan berjuang bersama-sama.
Selain itu, Muktamar juga membentuk panitia yang terdiri dari 7 cabang, 3 di antaranya cabang yang setuju kepada keputusan PBNU, 3 dari cabang yang kontra (tidak setuju) dan 1 cabang yang blanko. Panitia ini bersama dengan PBNU akan menentukan sikap : Apakah NU akan memproklamasikan menjadi partai politik atau tidak. Dan panitia ini akan bersidang menunggu hasil perundingan NU dengan Masyumi mengenai sikap tersebut.[2]
Ternyata, Masyumi tidak mau mendengarkan niat baik NU. Dan lahirlah Partai Politik NU yang disponsori para Kiai. Masih dalam Muktamar Palembang NU memutuskan beberapa pokok pikirannya yang erat hubungannya dengan politik :
1.      Mendesak Pemerintahan RI agar segera mengadakan Pemilihan Umum,
2.      Menyetujui kehendak Pemerintahan RI untuk mengadakan penghematan dan membasmi pengeluaran yang tidak jujur,
3.      Mendesak kepada Pemerintah agar menggiatkan pendidikan Pancasila secara teratur dan bersungguh-sungguh, khususnya tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang tampaknya kurang mendapat perhatian.[3]

B.     Masa Perjuangan ( 1955-1959 )
Setelah proklamasi kemerdekaan, hampir semua organisasi Islam sepakat menjadikan Masyumi sebagai satu-satunya Partai Politik Islam. Organisasi-organisasi Islam yang pertama kali memperkuat Partai Masyumi adalah : NU, Muhammadiyah, Perserikatan Ulama Islam, Persatuan Umat Islam dan pada tahun berikutnya ditambah oleh organisasi-organisasi lain, seperti : Al-Irsyad, Al-Jamiyyah al-Wasliyah, dan Pesatuan Islam. Untuk menjadi anggota Masyumi dapat dilakukan dengan dua jalur, yaitu keanggotaan pribadi dan keanggotaan organisasi. Cara keanggotaan inilah yang tidak disetujui oleh Nahdlatul Ulama  karena akan menyebabkan rapuhnya dukungan terhadap Masyumi sebagai satu-satunya wadah politik umat Islam kelak di kemudian hari.
Pada tahun 1949 pimpinan partai Masyumi melakukan reorganisasi dengan mengubah fungsi Majelis Syuro hanya sebagai penasehat. Menanggapi keputusan tersebut, dalam mukhtamar XVIII NU di Jakarta pada 30 April-3 Mei 1950 diputuskan NU akan keluar dari Masyumi sambil menunggu sementara waktu untuk memberikan kesempatan partai Masyumi meninjau pendiriannya atas koreksi-koreksi yang disampaikan NU. Akhirnya, pada muktamar XIX NU di Palembang pada 1 Mei 1952, secara resmi NU menyatakan keluar dari partai Masyumi dan menjadikan dirinya sebagai partai politik. Sejak itu NU memasuki dunia politik secara otonom dan terlibat langsung dalam persoalan-persoalan kekuasaan Negara. Meskipun demikian, NU tidak melepaskan karakteristiknya sebagai organisasi keagamaan dengan tetap mempertahankan struktur kepemimpinan formalnya yang disebut Syuriah dan Tanfidziyah.
Sebagai partai politik, sudah tentu NU dituntut untuk mengambil bagian dalam berbagai aktivitas pemerintahan guna membangun bangsa dan Negara. Pada tahun 1953, NU masuk dalam cabinet Ali Sastroamijaya dengan menempatkan kader-kadernya, yaitu: KH. Zainul Arifin (Wakil Perdana Menteri), KH. Masykur (Menteri Agama), Muhammad Hanafiyah (Menteri Agraria). Begitu juga pada masa cabinet Burhanuddin Harahap, NU juga ikut didalamnya. Dua orang duduk dalam kementrian, yakni Mr. Sunaryo (Menteri Dalam Negeri) dan KH. Mohammad Ilyas (Menteri Agama).
Pada Pemilihan Umum tahun 1955, di luar dugaan NU menempati urutan ketiga dan menjadi empat partai besar dengan memperoleh 45 kursi di parlemen (DPR RI). Setelah dalam pemilu 1955 berhasil keluar sebagai partai besar, pasca pemilu 1955 NU menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan perjuangan yang ulet dan militant. Sebab kabinet yang disusun berdasarkan hasil pemilu yang dikenal dengan Kabinet Ali Sastroamiidjojo II atau Kabinet Ali-Roem-Idham- kabinet koalisi partai PNI-Masyumi-NU telah mendapat tantangan yang berat dari presiden Soekarno. Presiden Soekarno secara terang-terangan menyatakan keinginannya agar diikut sertakan dalam Kabinet. Alasannya karena PKI juga berhasil menjadi salah satu dari empat partai besar. Tetapi baik PNI, NU, maupun Masyumi tidak menginginkan keikutsertaan PKI dalam Kabinet. Pembelaan Soekarno kepada PKI, secara politis menguntungkan PKI dalam pertumbuhan politik di Indonesia selanjutnya, dan presiden Soekarno sudah melibatkan diri ke dalam kancah politik dan langsung menyaingi Parlemen. Dengan konsep “Demokrasi Terpimpin”, presiden Soekarno mengecam system “Demokrasi Liberal”, karena system banyak partai yang tidak pernah membangun sebuah pemerintahan yang kuat, yang dibutuhkan Indonesia guna membangun dirinya..
Keadaan semakin bahaya setelah dibubarkannya Kabinet Ali-Roem-Idham dalam bulan Maret 1957, praktis peranan Parlemen dan partai-partai politik menjadi merosot. Pusat kekuasaan yang biasanya berada di Parlemen beralih kepada Presiden Soekarno. Dengan segera presiden mengumumkan gagasannya membentuk Dewan Nasional dan membubarkan partai-partai, dengan menerapkan demokrasi terpimpin, memasukkan golongan fungsionilke dalam Parlemen. Langkah pertama yang dilakukan Presiden Soekarno adalah membentuk Kabinet baru. Untuk menghadapi situasi politik seperti itu, NU masih sempat mencoba  mengadakan Sidang Pleno NU bersama konsul-konsul NU se-Indonesia pada tanggal 9-10 Maret 1957, yang khusus membicarakan gagasan dari presiden Soekarno yang ingin membentuk Dewan Nasional, pada intinya, akan menyetujui dengan syarat Dewan Nasional hanya bersifat sebagai penasehat dan tidak mempunyai akibar politis, dan pembentukannya diselesaikan oleh Kabinet bersama Kepala Negara.

C.    Masa Pergolakan ( 1959-1968 )
Setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959, pimpinan pemerintah dan Angkatan Bersenjata diletakkan di tangan Presiden. Otonomi Presiden Soekarno semakin mekar dan bahkan menjadi ukuran kehidupan politik dimasa itu. Organisasi sosial poitik  menjadi lumpuh tidak berdaya. Suhu politik semakin memanas dan sia-sia demokrasi yang paling penghabisan pun lenyap tertelan gelombang Demokrasi terpimpinya presiden Soekarno.
Tindakan-tindakan inkonstitusional semakin gencar dilakukan presiden. Antara lain, MPR hasil pemilihan rakyat dibubarkan dan diganti MPRS yang diatur oleh Penetapan Prsiden (Penpres) No.2 tahun 1959 tanggal 22 Juli 1959. Anggota MPRS diangkat dan Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pimpinan pemerintah dan Angkatan Bersenjata diletakkan di tengah presiden. Bahkan demi kesatuan komando - sesuai dengan prinsip Demokrasi Terpimpin pimpinan rakyat perlu diserahkan secara formal pula kepada Presiden. Pimpinan rakyat itu pun diwujudkan dengan membentuk organisasi massa yang dipimpin lagsung oleh Presiden. Dengan demikian, kekuasaan semakin berpusat ke Istana Ngara, keangan Presiden Soekarno, fungsi diberhentikan oleh presiden sendiri.
Ide Presiden Soekarno paling penting adalah mempersatukan bangsa Indonesia ke dalam NASKOM (Nasionalisme-Agama-Komunisme). Ide ini terlihat jelas pada amanat Presiden 17 Agustus 1960, yang kemudian terkenal dengan rumusan “ Jalannya Revolusi Kita” (JAREK)
Perwira-perwira militer, khususnya Angatan Darat ( AD), yang memegang pimpinan ABRI memang terkenal anti-Komunis (PKI). Sikap itu dibentuk oleh sebuah pengalaman pahit menghadapi pemberontakan merebut kekuasaan yang dilakukan oleh partai Komunis, September 1948, yang terkenal dengan “ PERISTIWA MADIUN”.
Ketika partai NU mengadakan Muktamar ke-22 pada 14-18 Desember 1959 di Jakarta, Idham Chalid di depan Muktamar perlu menjelaskan bahwa keadaan Negara (kala itu) memerlukan kebijaksanaan dan cara yang banyak berbeda dari keadaan normal sebelumnya.


Beberapa hal yang perlu dicatat selama NU menduduki kementerian agama antara lain :
1.      Tentang penyelenggaraan ibadah haji.
2.      Pendirian Masjid Istiqlal yang kini merupakan symbol kemegahan Islam di Idonesia, adalah atas hasil usaha menteri Agama KH. A. Wahid Hasyim di zaman Bung Karno, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Menteri Agama KH. Ilyas, yang juga dari NU.
3.       Pendirian Institut Agama Islam Negeri (IAIN) adalah hasil u-saha Menteri Agama KH. Wahib Wahab.
4.      Penerjemahan serta p-encetakan Al-Qur’an oleh departemen agama.
5.      Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang sampai saat ini masih terus bergema, hasil usaha Menteri Aama KH. M.Dachlan. [4]


D.    Masa Orde Baru ( 1968-1973)
      Pengakuan Jenderal Soeharto sebagai Presiden oleh MPRS dalam bulan Maret 1968, menurut Alfian, dapat dipergunakan sebagai ukuran bahwa kaki Orde Baru sudah tertanam kuat. Tetapi Jenderal Soeharto masihdihapkan pada persoalan penting tentang format politik macam apa yang harusditumbuhkan dan dikembangkan untuk membangu Indonesia kembali.
      Di zaman “Demokrasi Liberal”, stabilitas politik tidak pernah terwujud. Penyebabnya, antara lain, karena sistem banyak partai tidak pernah berhasil membentuk  kabinet atau eksekutif yang kuat. Sedangkan di zamann “Demokrasi Terpimpin”  kekuasaan Presiden Soekarno sebagai kepala eksekutif sangat besar. Tetapi kekuasaan itu, ternyata, tidak dapat dipergunakan secara efektif dan baik. Sebab Presiden Soekarno tidak pernah berhasil melaksanakan ide penyederhanaan sistem kepartaian secara berarti, dan yang lebih penting, karena Soekarno tidak memiliki basis masa yang mampu menyangga kedudukannya.
      Semenjak itu, tingkah laku poltik Jenderal Soeharto menjurus kepada usaha-usaha menghilangkan kelemahan yang pernah terjadi di zaman Presiden Soekarno. Sehingga, pada masa itu pula, dibentuk kabinet atau eksekutif yang kuat, bersama dengan pengukuhan posisi militer dan Golongan Karya (GOLKAR) sebagai basis utama kekuatannya. Sejalan dengan itu, proses penyederhanaan partai berjalan secara sistematis. Dan inilah format baru yang ditumbuhkan di masa Orde Baru.
      AH.Nasution mengemukakan, skala prioritas perjuangan Orde Baru adalah:
1.      Membangun kembali ekonomi yang sudah parah akibat kesalahan pemerintah Orde Lama, terutama sandang pangan.
2.      Pengorbanan disegala bidang secara konsekuen, termasuk pembersih, penertiban mental Orde Lama.
Pada tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru NU memegang peranan cukup besar. Akan tetapi dalam perkembangannya, NU mengalami anti klimaks dari seluruh prestasi politiknya. Sampai menjelang pemilu 1971, NU masih memiliki wakilnya di kabinet, tetapi ketika jabatan Menteri Agama beralih ke tangan Prof. Dr. A. Mukti Ali berakhirlah sejarah keikut sertaan NU dalam kabinet pemerintahan Orde Baru. Keterlibatan NU dibidang politik sesudah itu hanya pada sekitar parlemen (legislative), sehingga secara nasional peranannya semakin menyempit.
Pengalaman traumatic sebagai akibat pelaksanaan demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin, mendatangkan badai kritik terhadap tatanan politik yang ada. Perombakan struktur politik menjadi suatu keniscayaan, sehingga dilakukan penyedrhanaan partai dan perubahan orientasi dalam pembangunan politik di Indonesia. Pada 5 Januari 1973 di deklarasikan berdirinya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari empat 94) partai Islam peserta pemilu 1971, yakni : NU, Parmusi, PSII dan Perti. Dari partai ini diharapkan muncul kesatuan langkah umat Islam dalam membawakan aspirasi politiknya.
Semula peranan NU dalam PPP cukup besar karena hampir seluruh personalia pusatnya dijabat oleh tokoh-tokoh NU seperti : KH. Bisri Syamsuri (Rais Am Majelis Syura), KH. Masykur (Ketua Majelis Pertimbangan Partai), dan KH. Idham Khalid (Presiden Partai). Akan tetapi sejak kepemimpinan J. Naro peranan NU semakin berkurang karena dominasi unsure-unsur di luar NU, terutama MI (Muslim Indonesia), yang menduduki jabatan-jabatan strategis dalam kepemimpinan partai.
            Kondisi ini mempengaruhi timbulnya gagasan-gagasan yang mengambil tema “kembali kepada jiwa 1926”. Gagasan ini pertama kali muncul secara terbuka pada Muktamar XXV NU (20-25 Desember 1971) di Surabaya. Usaha mengembalikan keberadaan NU sebgai organisasi keagamaan (jamiyyah diniyah) semakin menunjukkan hasilnya pada Muktamar XXVI NU (5-11 Juli 1979) di Semarang. Akhirnya pada Muktamar XXVII NU (8-12 Desember 1984) di Situbondo, NU secara resmi melepaskan diri dari kegiatan politik praktis dan membebaskan warganya untuk memilih dan menyalurkan aspirasi politiknya kepada partai-partai politik peserta pemilihan umum. Sejak itu NU menapaki lembaran baru sejarahnya dengan kembali kepada jati dirinya sebagai organisasi social keagamaan (jamiyyah diniyah ijtimaiyah) yang lebih popular dengan kembali kepada “khitthah NU 1926”.[5]






BAB III
KESIMPULAN

A.     Kesimpulan
Keaktifam NU dalam mengambil bagian penciptaan stabilitas politik semakin mantap, dan kerja keras NU tidaklah sia-sia. Dalam masa pertumbuhannya, partai politik NU menghadapi berbagai kesulitan, yang akhirnya membawa keberhasilan dalam pencapaian hasil pemilu yang mengubah peta politik Indonesia yang mampu mengangkat prestise ummat Islam dalam percaturan politik di Parlement maupun di Kabinet.
Masa perjuangan NU Sebagai partai politik, sudah tentu NU dituntut untuk mengambil bagian dalam berbagai aktivitas pemerintahan guna membangun bangsa dan Negara. Sikap dan perjuangan NU dalam menghadapi situasi sebagaimana pun, akan tetap menyesuaikan diri dalam batas-batas yang masih mungkin untuk dilakukan tanpa melupakan prinsip dan objektivitas. Karena mengakui kenyataannya keterbatasan pada dirinya sebagai kekuatan politik.
Pada masa pergolakan, NU mulai terjepit posisinya setelah peristiwa pergolakan Gestapu PKI. Sebagai satu-satunya partai politik yang mempunyai andil besar dalam penumpasan PKI dan terciptannya orde baru, kedudukannya di dalam kabinet maupun front politik semakin terdesak, sikap-sikap politiknya semakin lemah, karena isu-isu yang sempat menggetarkan sejumlah pemimpin NU, selain factor internal juga disebabkan karena faktor eksternal.
Pada masa orde baru, perkembangan politik di bawah Jenderal Soeharto yang menumbuhkan dan mengembangkan pembentukan eksekutif yang kuat yang didukung oleh basis massa riil, serta penyederhanaan sistem kepartaian dan menjauhi atau menolak radikalisme.







DAFTAR PUSTAKA

Abdul Basit Adnan, Kemelut di NU Antara Kyai dan Politisi.Sala, CV. M ayasari, 1980.

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta, Gramedia, 2009

Maksoem Mahfoedz, Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama, Surabaya, Yayasan      Kesejahteraan Ummat.1982.
.
Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, IV .Jakarta : Departemen Pendidikan dan            Kebudayaan, 2004




[1] Maksoem Mahfoedz, Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama, (Surabaya, Yayasan Kesejahteraan Ummat,       1982), hal. 90-91
[2] Haji Abdul Basit Adnan, Kemelut di NU Antara Kyai dan Politisi, (Sala, CV. M ayasari, 1980), hal.18-19

[3] Ibid, hal 93.
[4] Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, IV (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975),      hal. 107

[5] Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta, Gramedia, 1983), hal. 34-35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

New Post

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Dose...