PERBEDAAN PERKAWINAN HUKUM ADAT HUKUM
KONVENSIONAL DAN HUKUM ISLAM
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:
Hukum Adat
Dosen pengampu: Hasanain Haikal, S.H., M.H.

Disusun oleh:
Abdur Rohman Solih (15201100010)
Ichda Nurul Chusna (1520110010)
Muhammad Sahal Nasikhin (1520110012)
Slamet Fitriyanto (1520110014)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN SYARI’AH DAN
EKONOMI ISLAM
STUDI AHWALUS
SYAKHSIYYAH
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan masalah penting bagi
kelangsungan hidup manusia, dengan melalui perkawinan manusia akan berharap
memperoleh keturunan untuk meneruskan silsilah kehidupannya. Dalam perkawinan
tidak hanya menyangkut mempelai pria dan mempelai wanita saja, tetapi juga
orang tua kedua belah pihak dan keluarga-keluarga mereka masing-masing. Suatu
perkawinan diharapkan menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera serta hidup
rukun sampai akhir hayatnya. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yangbahagia
yang kekal abadi sebagaimana terdapat dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.[1]
Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai
akibat yang luas di dalam hubungan hukum antara suami istri. Dengan perkawinan
itu timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban, umpamanya: kewajiban
untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, kewajiban
memberi belanja rumah tangga, hak waris dan sebagainya.[2]
Di Indonesia ada bermacam-macam hukum
tentang perkawinan, yaitu perkawinan menurut hukum adat, perkawinan menurut
hukum perdata (hukum konvensional) dan perkawinan menurut hukum islam. Semua
perkawinan itu memiliki ciri dan perbedaan yang tersendiri, sehingga diperlukan
penjelasan mengenai perkawinan. Untuk itu, di dalam makalah ini akan dijelaskan
mengenai jenis-jenis perkawinan tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkawinan menurut hukum adat?
2. Bagaimana perkawinan menurut hukum perdata?
3. Bagaimana perkawinan menurut hukum islam?
4. Bagaimana perbedaan antara perkawinan
menurut hukum adat, hukum perdata, dan hukum islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui perkawinan menurut hukum adat.
2. Mengetahui perkawinan menurut hukum
perdata.
3. Mengetahui perkawinan menurut hukum islam.
4. Mengetahui perbedaan antara perkawinan
hukum adat, hukum perdata, dan hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkawinan Menurut Hukum Adat
Pembahasan tentang subjek hukum perkawinan,
pada dasarnya berarti membicarakan mengenai siapa yang boleh melangsungkan
perkawinan dengan siapa. Perkataan siapa mengandung arti bahwa yang dapat
melangsungkan perkawinan itu hanyalah subjek hukum yang dinamakan pribadi
kodrati. Tetapi, kiranya tidak setiap pribadi kodrati yang dapat melangsungkan
perkawinan.[3]
Pribadi kodrati mana saja yang dapat melangsungkan perkawinan dapat diketahui
pada uraian-uraian sebagai berikut:
1. Pada Masyarakat Batak
Masyarakat Batak menganggap bahwa
perkawinan ideal adalah perkawinan antara orang-orang rumpal (Toba:
marpariban) ialah antara seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara
laki-laki ibunya. Dengan demikian, seorang laki-laki Batak, sangat pantang
kawin dengan seorang wanita dari marganya sendiri dan juga dengan anak
perempuan ayah. Tetapi preferensi perkawinan sebagai terurai ini, pada masa
sekarang telah banyak tidak dilakukan lagi.[4]
2. Pada Masyarakat Minangkabau
Pada masa lalu terdapat adat bahwa seorang
laki-laki sedapat mungkin kawin dengan anak perempuan mamaknya, atau
gadis-gadis yang dapat digolongkan demikian itu. Istilah ninik mamak itu
berarti saudara laki-laki ibu. Jadi, pada masyarakat minangkabau (pada masa
lalu) terdapat keharusan bahwa seorang laki-laki melangsungkan perkawinan
dengan seorang perempuan yang merupakan anak dari saudara kandung laki-laki ibu
(nya). Akan tetapi karena berbagai keadaan, timbul beberapa bentuk lain,
misalnya kawin dengan kemenakan (anak saudara perempuan) perempuan dari
ayahnya. Orang juga boleh kawin dengan saudara perempuan suami, atau anak dari
saudara perempuannya sendiri (bride exchange). Dalam zaman sekarang ini
pola-pola ini sudah mulai menghilang. Bahkan adanya pengaruh dunia modern,
perkawinan endogami lokal tidak lagi dipertahankan sebagaimana semula, sehingga
menyebabkan pilihan makin meluas. Perkawinan dengan anak mamak dapat
diperkirakan merupakan pola yang asli.[5]
3. Pada Masyarakat Jawa
Pada masyarakat Jawa, berlaku adat yang menentukan
bahwa dua orang yang tidak boleh saling kawin apabila mereka itu saudara
sekandung, apabila mereka itu pancer lanang, yaitu anak dari dua orang
bersaudara sekandung laki-laki, apabila mereka itu misan, dan akhirnya apabila
pihak laki-laki lebih muda menurut ibunya dari pada pihak wanita. Dengan
demikian, perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan
kekerabatan seperti di atas diperkenankan. Juga, perkawinan yang dibolehkan
adalah ngarang walu, yaitu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita
adik dari almarhum istrinya.[6]
B. Perkawinan Menurut Hukum Perdata
1. Arti dan Tujuan Perkawinan
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga
yangbahagia yang kekal abadi sebagaimana terdapat dalam pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Dari definisi ini, dapat diuraikan
unsur-unsur perkawinan, yaitu sebagai berikut.
a. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita.
b. Ikatan lahir itu ditunjukkan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal dan sejahtera.
c. Dasar lahir batin dan tujuan yang bahagia
kekal itu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sesungguhnya sangat ideal sekali tujuan
perkawinan yang diinginkan oleh UUP, tidak hanya dilihat dari segi perjanjian
lahiriah, tetapi satu ikatan batin antara suami istri yang ditujukan untuk
membentuk dan membina keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat secara lahiriah
baik antara suami istri maupun masyarakat sekelilingnya dan katan batin
diperlukan untuk mencerminkan kerukunan suami istri. Rumusan perkawinan di atas
merupakan rumusan arti dan tujuan perkawinan itu sendiri. Untuk lebih jelasnya
diuraikan sebagai berikut.
a. Maksud dengan arti perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan
tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Dengan ikatan lahir batin dimaksudkan bahwa
perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya ikatan lahir atau ikatan batin
saja, tetapi kedua-duanya. Suatu ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat.
Mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk
hidup bersama, sebagai suami-istri, dengan kata lain dapat disebut hubungan
formil.[7]
2. Syarat Sahnya Perkawinan
Sahnya perkawinan didasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 sebagai
berikut:
1.
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaan itu.
2.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Syarat Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal
6 s/d 7 UUP. Pasal 6 menyatakan sebagai berikut:
1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
2.
Untuk melangsungkan perkawinan
seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua.
3.
Dalam hal seorang dari kedua orang
tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4.
Dalam hal kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya,
maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
5.
Dalam hal ada perbedaan antara
orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah
seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan
atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu
mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal
ini.
6.
Ketentuan tersebut ayat (1) sampai
dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Kemudian
selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 7 sebagai berikut:
1.
Perkawinan hanya diizinkan bila
piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
2.
Dalam hal penyimpangan dalam ayat
(1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang
diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
3.
Ketentuan-ketentuan mengenai
keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4)
Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat
(2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
4.
Larangan Perkawinan
Larangan perkawinan diatur dalam pasal 8
sampai pasal 12 UUP. Pasal 8, sebagai berikut:
1.
berhubungan darah dalan garis keturunan lurus
ke bawah atau ke atas
2.
berhubungan darah dalam garis keturunan
menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang
tua dan antara seorang dengan saudara neneknya
3.
berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri,
menantu dan ibu/bapak tiri
4.
berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan
bibi/paman susuan.
5.
berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai
bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang
6.
yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya
atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Kemudian
dijelaskan pula dalam Pasal 9, sebagai berikut:
Seorang yang terikat tali perkawinan dengan
orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal
3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini.
Kemudian dijelaskan pula dalam Pasal 10,
sebagai berikut:
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi
satu dengan yang lain bercerai lagi
untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan
lagi, sepanjang hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
Kemudian dijelaskan pula dalam Pasal 11, sebagai berikut:
1.
Bagi seorang yang putus
perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
2.
Tenggang waktu jangka waktu tunggu
tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
C. Perkawinan Menurut Hukum Islam
1.
Pengertian
perkawinan
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa arab
disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini
yang terpakai dalam kehidupan sehari- hari orang arab dan banyak terdapat dalam
Al-Qur’an dan hadis Nabi. Hukum Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan
dengan akad atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan
disaksikan dua orang laki-laki. Perkawinan menurut Islam ialah suatu perjanjian
suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan membemtuk keluarga yang kekal, santun
menyantuni, kasih mengasihi, aman tenteram, bahagia dan kekal.
Dengan demikian Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan
pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan
melakukannya merupakan ibadah. Apabila pengertian tersebut dibandingkan dengan
yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UU
Perkawinan) dan KHI maka pada dasarnya antara pengertian perkawinan menurut
hukum Islam dan menurut UU Perkawinan tidak terdapat perbedaan
prinsipil, sebab pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan ialah:
“ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[8]
2.
Sumber hukum
perkawinan
Ayat-ayat Al-Qur’an tentang perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Perkawinan adalah tuntutan kodrat hidup dan tujuannya antara lain
adalah untuk memperoleh keturunan, guna melangsungkan kehidupan jenisnya
terdapat didalam beberapa ayat Al-Qur’an, sebagai berikut:
وَمِنْ
كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” QS. Al-Dzariyat:49.[9]
سُبْحَانَ
الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ
أَنفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ
“Maha Suci Tuhan yang telah
menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh
bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” QS.Yasin:36.[10]
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal”. QS.al-Hujurat:13.[11]
وَاللَّهُ
جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ
بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ
وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Allah menjadikan bagi kamu
istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu
itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?"
QS.al-Nahl:72.[12]
b. Perkawinan adalah untuk mewujudkan kedamaian dan ketentraman hidup
serta menumbuhkan rasa kasih sayang khususnya antara suami istri, kalangan
keluarga yang lebih luas, bahkan dalam kehidupan umat manusia umumnya. Hal ini
dapat dilihat didalam
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” QS. Al-Rum:21.[13]
وَأَنْكِحُوا
الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ
يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang
sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha
luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. QS.An-nur:32.[14]
3. Syarat dan Rukun Perkawinan
a. Rukun Perkawinan
1. Mempelai laki-laki dan mempelai perempuan
2. Wali
3. Adanya 2 orang saksi
4. Dilakukan dengan shighat tertentu.[15]
b. Syarat mempelai pria
1. Calon suami beragama Islam
2. Terang bahwa calon suami itu betul
laki-laki
3. Orangnya diketahui dan tertentu
4. Calon mempelai laki-laki jelas halal kawin
dengan calon istri
5. Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada
calon istri serta tahu betul calon istri halal baginya.
6. Calon suami ridla (tidak dirpaksa) untuk
melakukan perkawinan itu.
7. Tidak sedang melakukan ihram.
8. Tidak mempunyai istri yang haram dimadu
dengan calon istri
9. Tidak sedang mempunyai istri empat.[16]
c. Syarat calon pengantin perempuan
1. Calon istri beragama islam
2. Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa
3. Wanita itu tertentu orangnya
4. Halal bagi calon suami
5. Wanita tidak dalam ikatan perkawinan dan
tidak dalam masa ‘iddah
6. Tidak dipaksa
7. Tidak dalam keadaan Haji atau Umroh.[17]
4. Hukum Melakukan Perkawinan
a. Melakukan Perkawinan yang hukumnya wajib
Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina
seandainya tidak kawin, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut
wajib. Hal ini didasarkan pada suatu kaidah yaitu:
مَالَايَتِمُّ اْلوَاجِبُ اِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali
denganny, maka sesuatu itu hukumnya wajib”.[18]
b. Melakukan perkawinan yang hukumnya sunnah
Orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi tidak dikhawatirkan akan
berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan tersebut adalah sunnah.
c. Melakukan perkawinan yang hukumnya haram
Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan
dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga, sehingga apabila melangsungkan
perkawinan akan terlantarlah dirinya dan istrinya, maka hukum melakukan
perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.[19]
d. Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga
tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina, sekiranya tidak kawin.
Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi
kewajiban suami istri dengan baik.[20]
e. Melakukan perkawinan yang hukumnya mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat
zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelatarkan istri. Perkawinan
orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan
menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini
juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk kawin
itu sama. Sehingga menimbulkan keraguan orang yang melakukan kawin, seperti
mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk
melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.[21]
D. Perbedaan Antara Perkawinan Menurut Hukum
Adat, Hukum Perdata, dan Hukum Islam
Dari semua perkawinan yang telah dijelaskan
di atas, kita bisa simpulkan perbedaan antara tiga metode perkawinan tersebut.
Perbedaan yang paling mencolok adalah pengembangan mengenai dasar hukum yng
digunakan untuk mendasari pernikahan tersebut. Perkawinan hukum adat didasarkan
berdasarkan norma atau kaidah adat dari suatu wilayah adat atu suku tertentu,
sehingga setiap suku memiliki cara-cara tersendiri dalam melaksanakan upacara
perkawinan.
Kemudian perkawinan hukum Perdata adalah
perkawinan yang didasarkan pada azas-azas hukum perdata yang telah ada di
indonesia, yaitu antara lain adalah KUHPer (BW) dan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974. Dan Perkawinan Hukum islam adalah perkawinan yang didasarkan pada
nilai-nilai islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Dan bagi masyarakat islam
indonesia juga dikenal KHI atau Kompilasi Hukum Islam.
Akan tetapi dalam konteks indonesia
sekarang, semua perkawinan akan sah jika dilakukan berdasar agama masing-masing
dan dicatatkan ke kantor pencatatan sipil, atau juga KUA.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari uraian tentang
perkawinan di atas dapat kita simpulkan sebagai berikut:
1. Perkawinan Hukum adat adalah perkawinan
yang dilaksanakan berdasarkan adat dari suatu daerah tertentu seperti, pada
masyarakat Batak, pada Masyarakat Minangkabau, masyarakat Jawa, dan lain-lain.
2. Perkawinan hukum Konvensional atau
perkawinan Hukum Perdata adalah perkawinan yang didasarkan pada Hukum perdata
(BW dan UU Nomor 1 tahun 1974.
3. Perkawinan Hukum islam adalah perkawinan
yang didasarkan pada Al-Qur’an atau dalam konteks Islam Indonesia bisa di
dasarkan pada Kompilasi Hukum Islam.
4. Perbedaan antara perkawinan hukum adat,
hukum perdata, dan hukum islam meliputi beberapa aspek yaitu, dasar hukum,
wilayah cakupan hukum, dan tata cara yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Afandi. Hukum Waris Hukum Keluarga
Hukum Pembuktian. Rineka Cipta.
Jakarta. 1997.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Alwaah,
Semarang, 1993,
Jamaluddin & Nanda Amalia. Buku Ajar
Hukum Perkawinan. Unimal Press.
Lhokseumawe. 2016.
Supriyadi. Dasar-Dasar Hukum Perdata Di
Indonesia. Kiara Science. Kudus.
2015.
Soerjono Soekanto & Soleman B. Taneko. Hukum
Adat Indonesia. Rajagrafindo
Persada. Jakarta. 2015.
Zakiah Daradjat dkk. Ilmu Fiqh Jilid II.
Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta. 1995.
[2] Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Rineka
Cipta, jakarta, 1997, hal., 93.
[3] Soerjono Soekanto & Soleman B. Taneko, Hukum
Adat Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2015, hal., 217.
[8] Jamaluddin & Nanda Amalia,
Buku Ajar Hukum Perkawinan, Unimal Press, Lhokseumawe, 2016, hal., 16.
[9]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Alwaah, Semarang, 1993, hal., 862.
[10]Departemen Agama Republik Indonesia, Op.
Cit., hal., 710.
[11]Departemen Agama Republik Indonesia, Op.
Cit., hal., 847
[12]Departemen Agama Republik Indonesia, Op.
Cit., hal., 412.
[13]Departemen Agama Republik Indonesia, Op.
Cit., hal., 644.
[14]Departemen Agama Republik Indonesia, Op.
Cit., hal., 549.
[15] Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Fiqh Jilid II, Dana Bhakti Wakaf,
Yogyakarta, 1995, hal., 38.
[16] Zakiah Daradjat dkk, Op. Cit., hal., 39.
[17] Zakiah Daradjat dkk, Op. Cit., hal., 41.
[18] Zakiah Daradjat dkk, Op. Cit., hal., 46
[19] Zakiah Daradjat dkk, Op. Cit., hal., 47
[20] Zakiah Daradjat dkk, Op. Cit., hal.,47
[21] Zakiah Daradjat dkk, Op. Cit., hal., 48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar