JUAL BELI
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Ujian Akhir Semester
Fiqh Muammalah
Dosen Pengampu : Dr. Abdul Jalil, S.Ag, M.EI

Disusun Oleh :
Budi Utomo (1520110024)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI AKHWAL ASYAHSIYYAH
2017
BAB I
PENDHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa Sajakah Konsep Jual Beli Dalam Islam?
2. Apa Saja Kaidah Fiqh Yang Berhubungan Dengan
Jual Beli?
3. Apa Saja Jual Beli Yang Dilarang Dalam Islam?
4. Bagaimana Jual Beli Yang Sedang Diperdebatkan
Keharamannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Jual Beli Dalam Islam
1. Definisi Jual Beli
Jual beli adalah menukar suatu barang dengan baarang yang lai dengan cara
yang tertentu (akad).[1]
Adapun definisi jual beli secara terminologi diungkapkan oleh para ulama
sebaagaai berikut:
a. Hanafiyah
مُبا دَ لة شَيْئِ مَرْ غُؤ بِ فِيْهِ بِمِثْلِهِ
“Saling Tukar Menukar sesuatu
yang disenangi yang semisalnya.”
تَمْلِيْكُ مَا لِ مُقَا بِلُ مَا لِ عَلَي وَ خْهِ مَهْصُوْ صِ
“Kepemilikan harta dengan
cara tukar menukatr dengn harta lainya pada jalan yang telah ditentukan”
b. Malikiyah
حَقْدُ مُعَا وَ ضَة عَلَي غَيْرِ مَنَا فِعَ
“Akad saling tukar-menukar
terhadap selain manfaat”
c. Syafi’iyah
عقد معا وضة يفيد ملك عين أ و منفعة علي التأ بيد
“Akad saling tukar-menukar yang
bertujuan memindahkan kepemilikan barang atau manfaatnya yang bersifat abadi.”
d. Hanabilah
مبا د لة الْما ل باْ لْما لِ تمليكا
“ Saling tukar-menukar
harta dengan harta dengan tujuan memindahkan kepemilikan.”[2]
2. Dalil Hukum Disyariatkannya Jual Beli
a. Al-Qur’an
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“ Alllah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.......”( QS. Al-Baqarah 2 :
275)
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“ Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.....”
(QS. An-Nisa 4:29)
b. Hadist
اِ نّمَا ا لبَيْعُ عَنْ تَرَا ض ( رواه أبو داود و التر مزي وابن ما جه عن
أبي سعيد الخد ري ر ضي اللّه عنه )
“ Jual beli itu
didasarkan kepada suka sama suka” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dari
Abu Sa’idah al-Khudry Ra)
c. Ijma’
Kaum muslimin telah
sepakat bahwa dari dahulu sampai sekarang tetang kebolehan hukum jual beli.
Oleh karena itu, hal ini merupakan bentuk ijma’ umat, karena tidak ada
seorangpun yang menentangnya.
d. Akal
Sesungguhnya kebutuhan
manusia yang berhubungan dengan apa yang ada ditangan sesamanya tidak ada jalan
lain untuk saling timbal balik keculai dengan melakukan jual beli. Maka jual
beli ini menjadi perantara kebutuhan manusia terpenuhi.[3]
3. Hukum Jual Beli
Dari kandungan ayat diatas dan hadis hadist Nabi SAW para ulama mengatakan
bahwa hukum asal jual beli itu boleh atau mubah apabila terpenuhi syarat dan
rukunya, namun dalam situasi tertentu hukum dapat berubah menjadi wajib, haram,
mandub, dan makruh.
a. Contoh yang wajib : apabila seseorang sangat
terdesak untuk membeli makanan dan yang lainya , maka penjual jangan menimbunya
atau tidak mejualnya.
b. Contoh yang haram : memperjualbelikan barang
yang haram seperti anjing, babi, dan lainya.
c. Contoh yang sunah: seorang penjual bersumpah
kepada orang lain akan menjualnya yang tidak akan menimbulkan kemudaratan
bilamana dia menjualnya.
d. Contoh yang makruh : memperjualbelikan kucing
dan kulit binatang buas untuk dimanfaatkan kulitnya.[4]
4. Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun jual beli adalah
sebagai berikut :
a. Penjual dan Pembeli
Syaratnya adalah:
1) Berakal
2) Kehendak sendiri (bukan terpaksa)
3) Tidak mubadzir (pemboros), sebab harta orang
yang mubadzir itu ditangan walinnya.
4) Baliq (minimal 15 tahun)
b. Uang dan benda yang dibeli
Syaratnya yaitu:
1) Suci
2) Ada manfaatnya
3) Barang itu dapat diserahkan
4) Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual
5) Dapat diketahui dengan jelas barang tersebut
c. Lafaz ijab dan qobul
Menurut ulama yang
mewajibkan lafaz apabila memenuhi syarat:
1) Keadaan ijab dan qobul berhubungan
2) Makna keduanya hendaknya mufakad (sama)
walaupun lafaz keduanya berlainan
3) Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang
lain, misalnya seperti kata “ kalau saya jadi pergi, saya jual barang ini
sekian”
4) Tidak berwaktu. [5]
5. Macam-Macam Jual Beli
a. Pembagian Jula Beli Berdasarkan Objek
Barangnya
1) Bai’ al-Mutlak, yaitu tukar menukar suatu
benda dengan mata uang
2) Bai’ al-Salam, yaitu tukar menukar utang
dengan barang atau menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda dengan
pembayaran modal lebih awal.
3) Bai’ al-sharf. Yaitu tukar menukar mata unag
dengan mata uang lainya.
4) Bai’ al-Muqayadhah, yaitu tukar menukar harta
dengan harta selain emmas dan perak.
b. Pembagian Jual Beli Berdasarkan Batas Nilai
Tukar Barangnya
1) Bai’ al-Musyawamah, yaitu jual beli yang
dilakukan penjual tanpa menyebutkan harga asal dalam jual beli.
2) Bai’ al-Muzayadah, yaitu penjual memperlihatkan
harga barang di pasar kemudian pembeli membeli barang tersebut dengan harga
yang lebih tinggi.
3) Bai’ al-Amanah, yaitu penjual dibatasi oleh
harga awal atau ditambah atau dikurangi. Jual beli ini terbagi menjadi tiga
macam, yaitu:
a) Bai’ al-Murabahah, yaitu penjual menjual
barang tersebut dengan harga asal ditambah keuntungan yang disepakati
b) Bai’ al-Tauliyah, yaitu penjual menjual barang
dengan harga asal tanpa menambah ayaupun mengurangi.
c) Bai’ al-Wadhi’ah, yaitu penjual menjual
barangnya dengan harga asal dan menyebutkan potongan harganya.
c. Pembagian Jual Beli Berdasarkan Penyerahan
Nilai Tukar Pengganti Barangnya
1) Bai’ Munjiz al-Tsaman, yaitu jual beli yang
didalamnya disyariatkan pembayaran secara tunai
2) Bai’ Muajjal al-Tsaman, yaitu jual beli yang
dilakukan dengan pembayaran secara kredit.
3) Bai’ Muajjal al-Mutsaman, yaitu jual beli
serupa dengan bai’ al-salam
4) Bai’ Muajjal al-iwadhain, yaitu jual beli
utang dengan utaag. Hal ini dilarang oleh syara’.
d. Pembagian Jual Beli Berdasarkan Hukumnya
1) Ba’i al-Mun’aqaid yaitu jual beli yang
disyariatkan oeh syara’.
2) Bai’ al-Shahih, yaitu jual beli yang terpenuhi
syarat sahnya.
3) Bai’ al-Nafidz, yaitu jual beli shahih yang dilakukan oleh orang yang cakap
melaksanakannya sperti balig dan berakal.
4) Bai’ al-Lazim, yaitu jual beli disebut juga
dengan bai’ al-jaiz
6. Akhlak dan Faktor-Faktor Keberhasilan dalam Jual
Beli
a. Takqwa
b. Tawakal
c. Menghindari terjadinya banyak sampah
d. Melakukan pembukuan
e. Rajin mengeluarkan zakat, infaq, dan sedekah
f.
Berangkat pagi-pagi dalam mencari rezeki
g. Selalu ingat kepada Allah SWT
h. Memasyurkan salam dan menjawabnya
i.
Toleransi dan menghindarkan kesulitan
j.
Jujur dan amanah
k. Qana’ah
l.
Memperluas silaturahmi.[6]
7. Khiyar dalam Jual Beli
a. Pengertian
Khiyar menurut bahasa
merupakan ism mashdar dari kata الآ ختيا ر
yang bermakna pilihan dan bersih. Adapun menurut istilah berarti adanya
hak kedua belah pihak yang melakukan akad untuk memilih meneruskan atau
membatalkan akad.
b. Macam-Macam Khiyar
1) Khiyar Majlis, ialah hak pilih bagi kedua
belah pihak untuk meneruskan atau membatalkan akad selama kedua-duanya berada
dalam satu majlis akad dan belum berpisah badan.
2) Khiyar syarat, ialah hak pilih yang ditetapkan
bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya atau bagi ornag lain yang
meneruskan atau membatalkan akad jual beli selama masih dalam tenggang waktu
yang telah ditentukan.
3) Khiyar aib, ialah hak pembeli untuk meneruskan
atau membatalkan akad jual beli tatkala terdapat suatu cacat pada objek yang
diperjualbelikan, sedang cacatnay itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad
belangsung.
4) Khiyar ru’yah, adalah hak khiyar bagi pembeli
untuk menyatakan apakah mau meneruskan akad jual beli atau membatalkannya
terhadap barang yang belum ia lihat ketika akad berlangsung.
c. Hikmah
Hikmah disyariatkannya khiyar adalah untuk kemaslahatan bagi pihak – pihak
yang melakukan tarnsaksi itu sendiri, memelihara kerukunan hubungan baik serta
menjalin cinta kasih diantara sesama manusia.[7]
8. Iqalah dalam Jual Beli
Iqalah maksudnya ialah membatalkan akad yang telah terjadi berdasarkan
keridhaan kedua belah pihak. Hal ini terjadi ketika salah satu pihak (orang
yang berakad) menyesal terhadap akad jual beli yang telah dilakukannya atau
ternyata pembeli tidak butuh terhadap barang yang dibelinya atau tidak sanggup
membayar hargannya, lalu masing-masing pihak menarik kembali haknya tanpa
kurang atau lebih. Dengan kata lain, penjual mengambil kembali barang yang
dijualnya, dan pembeli mengambil kembali
uang yang telah diserahkan kepada penjual.
Akan tetapi hukumnya tidak sah apabila barang tersebut sudah rusak, atau
salah satu pihak meninggal dunia, atau terjadi penambahan harga dan atau
pengurangan.
Dalil hukum Islam yang berhuugan dengan diperbolehkannnya iqalah ialah
sabda Nabi SAW.
مَنْ أ قاَ لَ مُسْلِمَا أ قَالَ اللّهُ عَتَرَ تَهُ
( رواه ابو داود وابن ماجه عن أبي هريرة رضي اللّه عنه)
“Barang siapa
membebaskan (meringkankan) seorang muslim dari jual belinya, niscaya Allah akan
melepaskannya pula dari kesalahannya. “ (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dari Abu Hurairah Ra)
9. Hikmah Disyariatkannya Jual Beli
Hidup bermasyarakat merupakan karakter manusia yang Allah SWT ciptakan
antara laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bernegara supaya saling
mengenal diantara mereka. Kemudian menitipkan mereka naluri saling tolong –
menolong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk menjembatani hal tersebut
maka Allah mensyariatkan jual beli sebagai jalan yang adil tersebut.
Pensyariatannya jual beli ini bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidunya dengan cara suka sama suka antara
kedua belah pihak. Sebagaimana firman-Nya berikut ini :[8]
وَمَنْ
أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum)
Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al-Maidah:50)
B. Kaidah Fiqh Yang Berhubungan Dengan Jual Beli
1. Kiadah Pertama
اَلأَ صْلُ فيِ المعَا مَلَةِ الْحِلُّ وَالاْ بَا حَةُ
“prinsip dasar dalam muammalah
adalajh halal dan haram”
Maksudnya kaidah diatas ialah semua akad
dipandang halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Dalil -dalil hukum
Islam yang berhubungan dengan kaidah ini adalah :
a. Firman Allah QS Al-Baqarah:275
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ
الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ
وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ
فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
b. QS An-Nisa:29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا
تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu
2. Kaidah Kedua
“Muammalah
dapat sah karena sesuatu yang menunjukkan maksudnya baik melalui ucapan atau
perbuatan yang baik”
Maksudnya ialah sesungguhgnya
akad muammlah yang berbeda-beda seperti jual beli salam,wakaf, hiwalah,
kafalah, hibah, qiradh, dan akad lainya semuanya terdapat dalilnya.
Hukumnya mutlak dan tidak boleh dibatasi dengan ucapan atau perbuatan tertentu.
3. Kaidah Ketiga
“Hukum asal
setiap sesuatu yang sah diamnfaatkannya, maka sah pula diperjualbelikannya
kecuali dalil yang mengharamkannya’
Kaidah diatas berhubungan dengan objek yang
bisa diperjualbelikannya dan dimanfaatkannya. Dalam hal ini terdapat
syarat-syaratnya, yaitu;
a. Benda yang diperjualbelikan ada manfaatnya
b. Manfaat tersebut diperbolehkan oleh syara’
Para ulama membagi barang yang dperjualbelikan dilihat dari segi
pemanfaatkannya kepada empat macam, yaitu:
a. Barang yang diperbolehkan manfaatkannya secara
mutlak, seperti kendaraan, bejana.
b. Baranag yang tidak diperbolehkan manfaatkannya
ketika dibutuhkan, misalnya babi, bangkai, anjing.
c. Barang diperbolehkan manfaatnya ketika
dibutuhkan, barang tersebut pada asalnya haram, namun karena alasan kebutuhan
maka barang tersebut boleh dimanfaatkan. Contoh anjing sebagai penjaga rumah.
d. Barang yang tidak dimanfaatkannya sama sekali,
hukumnya tidak diharamkan dan juga tidak di perbolehkan. Mislanya serangga dan
yang semisalnnya.
Firman Allah SWT.
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan
dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah
yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu
(disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi
orang-orang yang mengetahui. (QS. Al-A’raf:32).
4. Kaidah Keempat
Hukum asal
dalam mengadakan syarat atau perjanjian dalam muammalah adalah halal dan boleh
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
kaidah ini sangat penting
karena berkaitan dengan syarat-syarat (perjanjian) jual beli antara kedua belah
pihak yang melakukan akad atau salah
satunya, dengan manfaat yang dirasakan sekarang atau yang akan datang.
5. Kaidah Kelima
Setiap
muammalah yang didalamnya terdapat kesamaan dan ketidaktahuan tujuannya maka
hukumnya batal.
Kaidah diatas termasuk
kedalam kaidah samar yang diahramkan dalam muammalah. Keharamannya dikembalikan
kepada tiga kaidah yaitu : kaidah gharar (samar), kaidah ghasysyi (tipu daya),
dan kaidah riba.[9]
C. Jual Beli Yang Dilarang Dalam Islam
Beberapa jual beli yang sah, tapi terlarang, yaitu :
1. Membeli barang dengan harga yang lebih mahal
dari pada harga pasar, sedangkan dia tidak mengiginkan barang itu, semata agar
orang lain tidak membeli barang itu.
2. Membeli barang yang sudah dibeli orang lain
yang masih dalam masa khiyar.
3. Mencegat sebelum sampai ke pasar.
4. Membeli barang untuk ditimbun supaya dijual
pada saat harga barang tersebut tinggi.
5. Menjual perbuatan yang berguna, namun
dijadikan maksiat.
6. Jual beli disertai tipuan.[10]
D. Jual Beli Yang Sedang Diperdebatkan
Keharamannya
1. Ba’i al-Urbun
Al-‘Urbun beraasal dari kata عر ب – وعربن – وهو عربون – وعر بون
yang artinya seorang pembeli memberi uang panjar (DP). Dinamakan
demikan karena didalam akad jual beli tersebut terdapat uang pajar yang
bertujuan agar orang lain yang
menginginkan baranag itu tidak berniat membelinnya Karena sudah di panjar oleh
si pembeli pertama.
Sedangkan
menurut ulama definisi menurut istilah adalah seseorang yang membeli barang
kemudain memnayarkan uang pajar kepada sip e njual dengan syarat bilamana
pembeli jadi membelinya, maka uang panjar itu dihitung dari harga, dan jika
tidak jadi membelinya, maka uang panjar
itu menjadi ilik penjual.
Pendapat yang
membolehkan jual beli ini adalah dari kalangan sahabat diantaranya adalah Umar
bin Khattab Ra. Dalam Al-Istidkar, Ibnu Abd al-Barr menyebutkan hadist yang
diriwayatkan oleh Nafi’ bin Abd al-Harits, yang artinya:
Umar
bermuammalah dengan penduduk Makkah (shafyan). Beliau membeli rumah dari
Shafwan bin Ummayah seharga empat ribu dirham. sebagai tanda jadi pembeli, umar
memberi uang panjar sebesar empat ratus dirham, kemudian Nafi’ memberi syarat,
jika umar benar-benar jadi membeli rumah itu, maka uang panjar itu dihitung
dari harga. Dan jika tidak jadi membelinya maka uang panjar itu milik Shafwan.
Dari kalangan Tabiin yaitu pendapat dari Muhammad bin Sirih, sebagaimana
hadist yang diriwayatkan Ibny Abi Syaibah, beliau (Ibnu Sirih) berkata : “Boleh
hukumnya seseorang memberikan panjar berupa garam atau yang lainya kepada si
penjual. Kemudian dia berkata: “jika aku datang kepadamu jadi membeli barang
itu, maka jadilah jual beli itu, kalau tidak, maka panjar yang berikan itu
untukmu”
Pendapat para Ulama yang tidak membolehkan jual beli ini menurut Imam Abu
Hanifah sebagaimana yang dikemukakan dalam kitab fatwa al-safdih-bai’
al-‘Urbun termasuk kedalam jual beli yang fasik (rusak).
Imam Malik berpendapat sebagaiman dikemukakan dalam kitab Al-Tamhid termasuk kedalam jual beli batal.
Imam Syafi’i berpendapat sebagaimana dikemukakan
dalam kitab Al-Majmu termasuk kedalam
jual beli batal. Dalam hal ini beliau sependapat dengan Imam Malik.
‘Ilat yang terdapat dalam larangan bai’ al-‘urbun karena terdapat dua syarat yang dipandang rusak
yaitu adanya syarat uang muka terlebih dahulu dan mengembalikan barang kepada
si penjual jika penjual dibatalkan.
2. Bai’ al-Tawaruq
Menurut bahasa al-tawaruq berarti perak yang dicetak atau tidak dicetak, kata
al-tawaruq diartikan daun maksudnya adalah memperbanyak uang. Sedangkan menurut
istilah adalah seseorang membeli barang dengan secara diangsur, kemudian ia
menjual kepada orang lain secara kontan dengan harga yang lebih murah dari pada
harga pembeliannya, tujuannya untuk memperoleh uang kontan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum Bai’ al-Tawaruq, pertama
hukumnya boleh. Pendapat ini dikeukakan oleh Hanabilah, menurut mereka
hukummnya dikembalikan kepada hukum asal yaitu hukumnya boleh. Kedua hukumnya
dilarang pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah dan muridnya, yaitu Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyah. Ketiga, hukumnya makruh. Pendapat ini dikeukakan oleh
Imam Ahmad dan Umar bin Abdul Aziz.
3. Bai’ al-Taqsith
Menurut bahasa ialah membagi-bagi sesuatu dan memisahkan menjadi beberapa
bagian. Seangkan menurut istilah ialah
“menjual sesuatu dengan pembayaran diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu
tertentu, dan harga barang lebih mahal daripada pembayaran secara tunai.
Para ulama berbeda pendapat tentang
hal ini, pertama hukumnya boleh pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama (
Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah), para sahabt, tabiin, dan Zaid bin Ali.
Pendapat kedua hukumnya haram yang dikemukakan oleh Zaidiyah ( salah satu sekte
dalam Syi’ah), Ibadiyah (salah satu sekte dalam Khawarijj), Imam Yahya,
Al-Jashash al-Hanafi, sebagian ulama Syafi’iyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah.
Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh cara pandang mereka dalam
memahami tam bahan harga apakah
dikategorikan riba atau tidak? Dan jual beli yang tidak jelas.
4. Bai’ al-Hayawan bi al-Hayawan Nasiatan
Ialah menjual (menukarkan) binatang dengan binatang secara ditangguhkan.
Mengenai hukum jual beli ini, para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini
yaitu,
Pertama hukumnya dilarang mutlak, pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu
Hanafiyah serta ulama Kufah lainnya, Ahmad bin Hanbal, dan golongan sahabt
seperti Ibnu Abbas, Atha, dan al-Tsauri.
Kedua, hukumnya boleh mutlak, baik keduanya sama jenisnya atau berbeda.
Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama (Syafi’iyah, Hanabilah, dll).
Alasannya adalah terbebas dari ‘illat riba dalam jual beli binatang.
Ketiga, apabila berbeda sifat dan manfaatnya diantara keduannya, maka
hukumnya diperbolehkan. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jual beli adalah menukar
suatu barang dengan baarang yang lai dengan cara yang tertentu (akad), dalilnya
adalah QS. Al-Baqarah 2 : 275), dan (QS. An-Nisa
4:29).
Rukun jual beli adalah sebagai berikut : ada penjual dan pembeli, uang dan
benda yang dibeli, dan lafaz ijab dan qobul.
Macam-Macam Jual Beli :
1. Pembagian Jula Beli Berdasarkan Objek
Barangnya : Bai’ al-Mutlak, Bai’ al-Salam, , Bai’ al-sharf. Yaitu tukar menukar
mata unag dengan mata uang lainya, Bai’ al-Muqayadhah,
2. Pembagian Jual Beli Berdasarkan Batas Nilai
Tukar Barangnya : Bai’ al-Musyawamah, Bai’ al-Muzayadah,Bai’ al-Amanah,
3. Pembagian Jual Beli Berdasarkan Penyerahan
Nilai Tukar Pengganti Barangnya : Bai’ Munjiz al-Tsaman, Bai’ Muajjal
al-Tsaman,Bai’ Muajjal al-Mutsaman, dan Bai’ Muajjal al-iwadhain.
4. Pembagian Jual Beli Berdasarkan Hukumnya :
Ba’i al-Mun’aqaid, Bai’ al-Shahih, Bai’ al-Nafidz, Bai’ al-Lazim,
Akhlak dan Faktor-Faktor Keberhasilan dalam
Jual Beli adalah : Takqwa, Tawakal, Menghindari terjadinya banyak sampah,
Melakukan pembukuan, Rajin mengeluarkan, zakat, infaq, dan sedekah, Berangkat
pagi-pagi dalam mencari rezeki, Selalu ingat kepada Allah SWT, Memasyurkan
salam dan menjawabnya, Toleransi dan menghindarkan kesulitan, Jujur dan amanah,
Qana’ah dan Memperluas silaturahmi.
Khiyar berarti adanya hak kedua belah pihak
yang melakukan akad untuk memilih meneruskan atau membatalkan akad. Macam-Macam
Khiyar adalah Khiyar Majlis, Khiyar syarat, Khiyar aib, dan Khiyar ru’yah.
Iqalah maksudnya ialah membatalkan akad yang
telah terjadi berdasarkan keridhaan kedua belah pihak. Hal ini terjadi ketika
salah satu pihak (orang yang berakad) menyesal terhadap akad jual beli yang
telah dilakukannya atau ternyata pembeli tidak butuh terhadap barang yang
dibelinya atau tidak sanggup membayar hargannya, lalu masing-masing pihak
menarik kembali haknya tanpa kurang atau lebih.
Hikmah disyariatannya jual beli ini bertujuan
untuk memberikan keleluasaan kepada manusia dalam memenuhi kebutuhan hidunya
dengan cara suka sama suka antara kedua belah pihak.
Beberapa jual beli yang sah, tapi terlarang,
yaitu : membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari pada harga pasar,
sedangkan dia tidak mengiginkan barang itu, semata agar orang lain tidak membeli
barang itu, membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa
khiyar, mencegat sebelum sampai ke pasar, membeli barang untuk ditimbun supaya
dijual pada saat harga barang tersebut tinggi, menjual perbuatan yang berguna,
namun dijadikan maksiat dan jual beli disertai tipuan.
Jual Beli Yang Sedang Diperdebatkan
Keharamannya yaitu : Ba’i al-Urbun, Bai’ al-Tawaruq, Bai’ al-Taqsith, dan Bai’
al-Hayawan bi al-Hayawan Nasiatan
DAFTAR PUSTAKA
Abi Malik bin Sayyid al-Salim. shahih fiqh al-sunnah. Kairo:Maktabah
al-Tawfiqyah. t.th, Jilid IV, cetakan
XII.
Hidayat Enang. Fiqh Jual Beli. Bandung:Remaja Rosdakarya. 2015.
Nasrun Haroen. fiqh muamalah. Jakarta : Gaya
Media Pratama. 2007.
Rasjid Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung:Sinar Baru. 2016.
[3] Abi Malik bin Sayyid al-Salim, shahih fiqh
al-sunnah, Kairo:Maktabah al-Tawfiqyah, t.th, Jilid IV, cetakan XII, hlm.
252.
[8] Nasrun Haroen, fiqh muamalah, (Jakarta
: Gaya Media Pratama. 2007), hlm. 7.
JUAL BELI
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Ujian Akhir Semester
Fiqh Muammalah
Dosen Pengampu : Dr. Abdul Jalil, S.Ag, M.EI

Disusun Oleh :
Budi Utomo (1520110024)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI AKHWAL ASYAHSIYYAH
2017
BAB I
PENDHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa Sajakah Konsep Jual Beli Dalam Islam?
2. Apa Saja Kaidah Fiqh Yang Berhubungan Dengan
Jual Beli?
3. Apa Saja Jual Beli Yang Dilarang Dalam Islam?
4. Bagaimana Jual Beli Yang Sedang Diperdebatkan
Keharamannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Jual Beli Dalam Islam
1. Definisi Jual Beli
Jual beli adalah menukar suatu barang dengan baarang yang lai dengan cara
yang tertentu (akad).[1]
Adapun definisi jual beli secara terminologi diungkapkan oleh para ulama
sebaagaai berikut:
a. Hanafiyah
مُبا دَ لة شَيْئِ مَرْ غُؤ بِ فِيْهِ بِمِثْلِهِ
“Saling Tukar Menukar sesuatu
yang disenangi yang semisalnya.”
تَمْلِيْكُ مَا لِ مُقَا بِلُ مَا لِ عَلَي وَ خْهِ مَهْصُوْ صِ
“Kepemilikan harta dengan
cara tukar menukatr dengn harta lainya pada jalan yang telah ditentukan”
b. Malikiyah
حَقْدُ مُعَا وَ ضَة عَلَي غَيْرِ مَنَا فِعَ
“Akad saling tukar-menukar
terhadap selain manfaat”
c. Syafi’iyah
عقد معا وضة يفيد ملك عين أ و منفعة علي التأ بيد
“Akad saling tukar-menukar yang
bertujuan memindahkan kepemilikan barang atau manfaatnya yang bersifat abadi.”
d. Hanabilah
مبا د لة الْما ل باْ لْما لِ تمليكا
“ Saling tukar-menukar
harta dengan harta dengan tujuan memindahkan kepemilikan.”[2]
2. Dalil Hukum Disyariatkannya Jual Beli
a. Al-Qur’an
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“ Alllah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.......”( QS. Al-Baqarah 2 :
275)
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“ Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.....”
(QS. An-Nisa 4:29)
b. Hadist
اِ نّمَا ا لبَيْعُ عَنْ تَرَا ض ( رواه أبو داود و التر مزي وابن ما جه عن
أبي سعيد الخد ري ر ضي اللّه عنه )
“ Jual beli itu
didasarkan kepada suka sama suka” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dari
Abu Sa’idah al-Khudry Ra)
c. Ijma’
Kaum muslimin telah
sepakat bahwa dari dahulu sampai sekarang tetang kebolehan hukum jual beli.
Oleh karena itu, hal ini merupakan bentuk ijma’ umat, karena tidak ada
seorangpun yang menentangnya.
d. Akal
Sesungguhnya kebutuhan
manusia yang berhubungan dengan apa yang ada ditangan sesamanya tidak ada jalan
lain untuk saling timbal balik keculai dengan melakukan jual beli. Maka jual
beli ini menjadi perantara kebutuhan manusia terpenuhi.[3]
3. Hukum Jual Beli
Dari kandungan ayat diatas dan hadis hadist Nabi SAW para ulama mengatakan
bahwa hukum asal jual beli itu boleh atau mubah apabila terpenuhi syarat dan
rukunya, namun dalam situasi tertentu hukum dapat berubah menjadi wajib, haram,
mandub, dan makruh.
a. Contoh yang wajib : apabila seseorang sangat
terdesak untuk membeli makanan dan yang lainya , maka penjual jangan menimbunya
atau tidak mejualnya.
b. Contoh yang haram : memperjualbelikan barang
yang haram seperti anjing, babi, dan lainya.
c. Contoh yang sunah: seorang penjual bersumpah
kepada orang lain akan menjualnya yang tidak akan menimbulkan kemudaratan
bilamana dia menjualnya.
d. Contoh yang makruh : memperjualbelikan kucing
dan kulit binatang buas untuk dimanfaatkan kulitnya.[4]
4. Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun jual beli adalah
sebagai berikut :
a. Penjual dan Pembeli
Syaratnya adalah:
1) Berakal
2) Kehendak sendiri (bukan terpaksa)
3) Tidak mubadzir (pemboros), sebab harta orang
yang mubadzir itu ditangan walinnya.
4) Baliq (minimal 15 tahun)
b. Uang dan benda yang dibeli
Syaratnya yaitu:
1) Suci
2) Ada manfaatnya
3) Barang itu dapat diserahkan
4) Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual
5) Dapat diketahui dengan jelas barang tersebut
c. Lafaz ijab dan qobul
Menurut ulama yang
mewajibkan lafaz apabila memenuhi syarat:
1) Keadaan ijab dan qobul berhubungan
2) Makna keduanya hendaknya mufakad (sama)
walaupun lafaz keduanya berlainan
3) Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang
lain, misalnya seperti kata “ kalau saya jadi pergi, saya jual barang ini
sekian”
4) Tidak berwaktu. [5]
5. Macam-Macam Jual Beli
a. Pembagian Jula Beli Berdasarkan Objek
Barangnya
1) Bai’ al-Mutlak, yaitu tukar menukar suatu
benda dengan mata uang
2) Bai’ al-Salam, yaitu tukar menukar utang
dengan barang atau menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda dengan
pembayaran modal lebih awal.
3) Bai’ al-sharf. Yaitu tukar menukar mata unag
dengan mata uang lainya.
4) Bai’ al-Muqayadhah, yaitu tukar menukar harta
dengan harta selain emmas dan perak.
b. Pembagian Jual Beli Berdasarkan Batas Nilai
Tukar Barangnya
1) Bai’ al-Musyawamah, yaitu jual beli yang
dilakukan penjual tanpa menyebutkan harga asal dalam jual beli.
2) Bai’ al-Muzayadah, yaitu penjual memperlihatkan
harga barang di pasar kemudian pembeli membeli barang tersebut dengan harga
yang lebih tinggi.
3) Bai’ al-Amanah, yaitu penjual dibatasi oleh
harga awal atau ditambah atau dikurangi. Jual beli ini terbagi menjadi tiga
macam, yaitu:
a) Bai’ al-Murabahah, yaitu penjual menjual
barang tersebut dengan harga asal ditambah keuntungan yang disepakati
b) Bai’ al-Tauliyah, yaitu penjual menjual barang
dengan harga asal tanpa menambah ayaupun mengurangi.
c) Bai’ al-Wadhi’ah, yaitu penjual menjual
barangnya dengan harga asal dan menyebutkan potongan harganya.
c. Pembagian Jual Beli Berdasarkan Penyerahan
Nilai Tukar Pengganti Barangnya
1) Bai’ Munjiz al-Tsaman, yaitu jual beli yang
didalamnya disyariatkan pembayaran secara tunai
2) Bai’ Muajjal al-Tsaman, yaitu jual beli yang
dilakukan dengan pembayaran secara kredit.
3) Bai’ Muajjal al-Mutsaman, yaitu jual beli
serupa dengan bai’ al-salam
4) Bai’ Muajjal al-iwadhain, yaitu jual beli
utang dengan utaag. Hal ini dilarang oleh syara’.
d. Pembagian Jual Beli Berdasarkan Hukumnya
1) Ba’i al-Mun’aqaid yaitu jual beli yang
disyariatkan oeh syara’.
2) Bai’ al-Shahih, yaitu jual beli yang terpenuhi
syarat sahnya.
3) Bai’ al-Nafidz, yaitu jual beli shahih yang dilakukan oleh orang yang cakap
melaksanakannya sperti balig dan berakal.
4) Bai’ al-Lazim, yaitu jual beli disebut juga
dengan bai’ al-jaiz
6. Akhlak dan Faktor-Faktor Keberhasilan dalam Jual
Beli
a. Takqwa
b. Tawakal
c. Menghindari terjadinya banyak sampah
d. Melakukan pembukuan
e. Rajin mengeluarkan zakat, infaq, dan sedekah
f.
Berangkat pagi-pagi dalam mencari rezeki
g. Selalu ingat kepada Allah SWT
h. Memasyurkan salam dan menjawabnya
i.
Toleransi dan menghindarkan kesulitan
j.
Jujur dan amanah
k. Qana’ah
l.
Memperluas silaturahmi.[6]
7. Khiyar dalam Jual Beli
a. Pengertian
Khiyar menurut bahasa
merupakan ism mashdar dari kata الآ ختيا ر
yang bermakna pilihan dan bersih. Adapun menurut istilah berarti adanya
hak kedua belah pihak yang melakukan akad untuk memilih meneruskan atau
membatalkan akad.
b. Macam-Macam Khiyar
1) Khiyar Majlis, ialah hak pilih bagi kedua
belah pihak untuk meneruskan atau membatalkan akad selama kedua-duanya berada
dalam satu majlis akad dan belum berpisah badan.
2) Khiyar syarat, ialah hak pilih yang ditetapkan
bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya atau bagi ornag lain yang
meneruskan atau membatalkan akad jual beli selama masih dalam tenggang waktu
yang telah ditentukan.
3) Khiyar aib, ialah hak pembeli untuk meneruskan
atau membatalkan akad jual beli tatkala terdapat suatu cacat pada objek yang
diperjualbelikan, sedang cacatnay itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad
belangsung.
4) Khiyar ru’yah, adalah hak khiyar bagi pembeli
untuk menyatakan apakah mau meneruskan akad jual beli atau membatalkannya
terhadap barang yang belum ia lihat ketika akad berlangsung.
c. Hikmah
Hikmah disyariatkannya khiyar adalah untuk kemaslahatan bagi pihak – pihak
yang melakukan tarnsaksi itu sendiri, memelihara kerukunan hubungan baik serta
menjalin cinta kasih diantara sesama manusia.[7]
8. Iqalah dalam Jual Beli
Iqalah maksudnya ialah membatalkan akad yang telah terjadi berdasarkan
keridhaan kedua belah pihak. Hal ini terjadi ketika salah satu pihak (orang
yang berakad) menyesal terhadap akad jual beli yang telah dilakukannya atau
ternyata pembeli tidak butuh terhadap barang yang dibelinya atau tidak sanggup
membayar hargannya, lalu masing-masing pihak menarik kembali haknya tanpa
kurang atau lebih. Dengan kata lain, penjual mengambil kembali barang yang
dijualnya, dan pembeli mengambil kembali
uang yang telah diserahkan kepada penjual.
Akan tetapi hukumnya tidak sah apabila barang tersebut sudah rusak, atau
salah satu pihak meninggal dunia, atau terjadi penambahan harga dan atau
pengurangan.
Dalil hukum Islam yang berhuugan dengan diperbolehkannnya iqalah ialah
sabda Nabi SAW.
مَنْ أ قاَ لَ مُسْلِمَا أ قَالَ اللّهُ عَتَرَ تَهُ
( رواه ابو داود وابن ماجه عن أبي هريرة رضي اللّه عنه)
“Barang siapa
membebaskan (meringkankan) seorang muslim dari jual belinya, niscaya Allah akan
melepaskannya pula dari kesalahannya. “ (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dari Abu Hurairah Ra)
9. Hikmah Disyariatkannya Jual Beli
Hidup bermasyarakat merupakan karakter manusia yang Allah SWT ciptakan
antara laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bernegara supaya saling
mengenal diantara mereka. Kemudian menitipkan mereka naluri saling tolong –
menolong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk menjembatani hal tersebut
maka Allah mensyariatkan jual beli sebagai jalan yang adil tersebut.
Pensyariatannya jual beli ini bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidunya dengan cara suka sama suka antara
kedua belah pihak. Sebagaimana firman-Nya berikut ini :[8]
وَمَنْ
أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum)
Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al-Maidah:50)
B. Kaidah Fiqh Yang Berhubungan Dengan Jual Beli
1. Kiadah Pertama
اَلأَ صْلُ فيِ المعَا مَلَةِ الْحِلُّ وَالاْ بَا حَةُ
“prinsip dasar dalam muammalah
adalajh halal dan haram”
Maksudnya kaidah diatas ialah semua akad
dipandang halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Dalil -dalil hukum
Islam yang berhubungan dengan kaidah ini adalah :
a. Firman Allah QS Al-Baqarah:275
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ
الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ
وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ
فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
b. QS An-Nisa:29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا
تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu
2. Kaidah Kedua
“Muammalah
dapat sah karena sesuatu yang menunjukkan maksudnya baik melalui ucapan atau
perbuatan yang baik”
Maksudnya ialah sesungguhgnya
akad muammlah yang berbeda-beda seperti jual beli salam,wakaf, hiwalah,
kafalah, hibah, qiradh, dan akad lainya semuanya terdapat dalilnya.
Hukumnya mutlak dan tidak boleh dibatasi dengan ucapan atau perbuatan tertentu.
3. Kaidah Ketiga
“Hukum asal
setiap sesuatu yang sah diamnfaatkannya, maka sah pula diperjualbelikannya
kecuali dalil yang mengharamkannya’
Kaidah diatas berhubungan dengan objek yang
bisa diperjualbelikannya dan dimanfaatkannya. Dalam hal ini terdapat
syarat-syaratnya, yaitu;
a. Benda yang diperjualbelikan ada manfaatnya
b. Manfaat tersebut diperbolehkan oleh syara’
Para ulama membagi barang yang dperjualbelikan dilihat dari segi
pemanfaatkannya kepada empat macam, yaitu:
a. Barang yang diperbolehkan manfaatkannya secara
mutlak, seperti kendaraan, bejana.
b. Baranag yang tidak diperbolehkan manfaatkannya
ketika dibutuhkan, misalnya babi, bangkai, anjing.
c. Barang diperbolehkan manfaatnya ketika
dibutuhkan, barang tersebut pada asalnya haram, namun karena alasan kebutuhan
maka barang tersebut boleh dimanfaatkan. Contoh anjing sebagai penjaga rumah.
d. Barang yang tidak dimanfaatkannya sama sekali,
hukumnya tidak diharamkan dan juga tidak di perbolehkan. Mislanya serangga dan
yang semisalnnya.
Firman Allah SWT.
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan
dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah
yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu
(disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi
orang-orang yang mengetahui. (QS. Al-A’raf:32).
4. Kaidah Keempat
Hukum asal
dalam mengadakan syarat atau perjanjian dalam muammalah adalah halal dan boleh
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
kaidah ini sangat penting
karena berkaitan dengan syarat-syarat (perjanjian) jual beli antara kedua belah
pihak yang melakukan akad atau salah
satunya, dengan manfaat yang dirasakan sekarang atau yang akan datang.
5. Kaidah Kelima
Setiap
muammalah yang didalamnya terdapat kesamaan dan ketidaktahuan tujuannya maka
hukumnya batal.
Kaidah diatas termasuk
kedalam kaidah samar yang diahramkan dalam muammalah. Keharamannya dikembalikan
kepada tiga kaidah yaitu : kaidah gharar (samar), kaidah ghasysyi (tipu daya),
dan kaidah riba.[9]
C. Jual Beli Yang Dilarang Dalam Islam
Beberapa jual beli yang sah, tapi terlarang, yaitu :
1. Membeli barang dengan harga yang lebih mahal
dari pada harga pasar, sedangkan dia tidak mengiginkan barang itu, semata agar
orang lain tidak membeli barang itu.
2. Membeli barang yang sudah dibeli orang lain
yang masih dalam masa khiyar.
3. Mencegat sebelum sampai ke pasar.
4. Membeli barang untuk ditimbun supaya dijual
pada saat harga barang tersebut tinggi.
5. Menjual perbuatan yang berguna, namun
dijadikan maksiat.
6. Jual beli disertai tipuan.[10]
D. Jual Beli Yang Sedang Diperdebatkan
Keharamannya
1. Ba’i al-Urbun
Al-‘Urbun beraasal dari kata عر ب – وعربن – وهو عربون – وعر بون
yang artinya seorang pembeli memberi uang panjar (DP). Dinamakan
demikan karena didalam akad jual beli tersebut terdapat uang pajar yang
bertujuan agar orang lain yang
menginginkan baranag itu tidak berniat membelinnya Karena sudah di panjar oleh
si pembeli pertama.
Sedangkan
menurut ulama definisi menurut istilah adalah seseorang yang membeli barang
kemudain memnayarkan uang pajar kepada sip e njual dengan syarat bilamana
pembeli jadi membelinya, maka uang panjar itu dihitung dari harga, dan jika
tidak jadi membelinya, maka uang panjar
itu menjadi ilik penjual.
Pendapat yang
membolehkan jual beli ini adalah dari kalangan sahabat diantaranya adalah Umar
bin Khattab Ra. Dalam Al-Istidkar, Ibnu Abd al-Barr menyebutkan hadist yang
diriwayatkan oleh Nafi’ bin Abd al-Harits, yang artinya:
Umar
bermuammalah dengan penduduk Makkah (shafyan). Beliau membeli rumah dari
Shafwan bin Ummayah seharga empat ribu dirham. sebagai tanda jadi pembeli, umar
memberi uang panjar sebesar empat ratus dirham, kemudian Nafi’ memberi syarat,
jika umar benar-benar jadi membeli rumah itu, maka uang panjar itu dihitung
dari harga. Dan jika tidak jadi membelinya maka uang panjar itu milik Shafwan.
Dari kalangan Tabiin yaitu pendapat dari Muhammad bin Sirih, sebagaimana
hadist yang diriwayatkan Ibny Abi Syaibah, beliau (Ibnu Sirih) berkata : “Boleh
hukumnya seseorang memberikan panjar berupa garam atau yang lainya kepada si
penjual. Kemudian dia berkata: “jika aku datang kepadamu jadi membeli barang
itu, maka jadilah jual beli itu, kalau tidak, maka panjar yang berikan itu
untukmu”
Pendapat para Ulama yang tidak membolehkan jual beli ini menurut Imam Abu
Hanifah sebagaimana yang dikemukakan dalam kitab fatwa al-safdih-bai’
al-‘Urbun termasuk kedalam jual beli yang fasik (rusak).
Imam Malik berpendapat sebagaiman dikemukakan dalam kitab Al-Tamhid termasuk kedalam jual beli batal.
Imam Syafi’i berpendapat sebagaimana dikemukakan
dalam kitab Al-Majmu termasuk kedalam
jual beli batal. Dalam hal ini beliau sependapat dengan Imam Malik.
‘Ilat yang terdapat dalam larangan bai’ al-‘urbun karena terdapat dua syarat yang dipandang rusak
yaitu adanya syarat uang muka terlebih dahulu dan mengembalikan barang kepada
si penjual jika penjual dibatalkan.
2. Bai’ al-Tawaruq
Menurut bahasa al-tawaruq berarti perak yang dicetak atau tidak dicetak, kata
al-tawaruq diartikan daun maksudnya adalah memperbanyak uang. Sedangkan menurut
istilah adalah seseorang membeli barang dengan secara diangsur, kemudian ia
menjual kepada orang lain secara kontan dengan harga yang lebih murah dari pada
harga pembeliannya, tujuannya untuk memperoleh uang kontan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum Bai’ al-Tawaruq, pertama
hukumnya boleh. Pendapat ini dikeukakan oleh Hanabilah, menurut mereka
hukummnya dikembalikan kepada hukum asal yaitu hukumnya boleh. Kedua hukumnya
dilarang pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah dan muridnya, yaitu Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyah. Ketiga, hukumnya makruh. Pendapat ini dikeukakan oleh
Imam Ahmad dan Umar bin Abdul Aziz.
3. Bai’ al-Taqsith
Menurut bahasa ialah membagi-bagi sesuatu dan memisahkan menjadi beberapa
bagian. Seangkan menurut istilah ialah
“menjual sesuatu dengan pembayaran diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu
tertentu, dan harga barang lebih mahal daripada pembayaran secara tunai.
Para ulama berbeda pendapat tentang
hal ini, pertama hukumnya boleh pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama (
Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah), para sahabt, tabiin, dan Zaid bin Ali.
Pendapat kedua hukumnya haram yang dikemukakan oleh Zaidiyah ( salah satu sekte
dalam Syi’ah), Ibadiyah (salah satu sekte dalam Khawarijj), Imam Yahya,
Al-Jashash al-Hanafi, sebagian ulama Syafi’iyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah.
Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh cara pandang mereka dalam
memahami tam bahan harga apakah
dikategorikan riba atau tidak? Dan jual beli yang tidak jelas.
4. Bai’ al-Hayawan bi al-Hayawan Nasiatan
Ialah menjual (menukarkan) binatang dengan binatang secara ditangguhkan.
Mengenai hukum jual beli ini, para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini
yaitu,
Pertama hukumnya dilarang mutlak, pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu
Hanafiyah serta ulama Kufah lainnya, Ahmad bin Hanbal, dan golongan sahabt
seperti Ibnu Abbas, Atha, dan al-Tsauri.
Kedua, hukumnya boleh mutlak, baik keduanya sama jenisnya atau berbeda.
Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama (Syafi’iyah, Hanabilah, dll).
Alasannya adalah terbebas dari ‘illat riba dalam jual beli binatang.
Ketiga, apabila berbeda sifat dan manfaatnya diantara keduannya, maka
hukumnya diperbolehkan. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jual beli adalah menukar
suatu barang dengan baarang yang lai dengan cara yang tertentu (akad), dalilnya
adalah QS. Al-Baqarah 2 : 275), dan (QS. An-Nisa
4:29).
Rukun jual beli adalah sebagai berikut : ada penjual dan pembeli, uang dan
benda yang dibeli, dan lafaz ijab dan qobul.
Macam-Macam Jual Beli :
1. Pembagian Jula Beli Berdasarkan Objek
Barangnya : Bai’ al-Mutlak, Bai’ al-Salam, , Bai’ al-sharf. Yaitu tukar menukar
mata unag dengan mata uang lainya, Bai’ al-Muqayadhah,
2. Pembagian Jual Beli Berdasarkan Batas Nilai
Tukar Barangnya : Bai’ al-Musyawamah, Bai’ al-Muzayadah,Bai’ al-Amanah,
3. Pembagian Jual Beli Berdasarkan Penyerahan
Nilai Tukar Pengganti Barangnya : Bai’ Munjiz al-Tsaman, Bai’ Muajjal
al-Tsaman,Bai’ Muajjal al-Mutsaman, dan Bai’ Muajjal al-iwadhain.
4. Pembagian Jual Beli Berdasarkan Hukumnya :
Ba’i al-Mun’aqaid, Bai’ al-Shahih, Bai’ al-Nafidz, Bai’ al-Lazim,
Akhlak dan Faktor-Faktor Keberhasilan dalam
Jual Beli adalah : Takqwa, Tawakal, Menghindari terjadinya banyak sampah,
Melakukan pembukuan, Rajin mengeluarkan, zakat, infaq, dan sedekah, Berangkat
pagi-pagi dalam mencari rezeki, Selalu ingat kepada Allah SWT, Memasyurkan
salam dan menjawabnya, Toleransi dan menghindarkan kesulitan, Jujur dan amanah,
Qana’ah dan Memperluas silaturahmi.
Khiyar berarti adanya hak kedua belah pihak
yang melakukan akad untuk memilih meneruskan atau membatalkan akad. Macam-Macam
Khiyar adalah Khiyar Majlis, Khiyar syarat, Khiyar aib, dan Khiyar ru’yah.
Iqalah maksudnya ialah membatalkan akad yang
telah terjadi berdasarkan keridhaan kedua belah pihak. Hal ini terjadi ketika
salah satu pihak (orang yang berakad) menyesal terhadap akad jual beli yang
telah dilakukannya atau ternyata pembeli tidak butuh terhadap barang yang
dibelinya atau tidak sanggup membayar hargannya, lalu masing-masing pihak
menarik kembali haknya tanpa kurang atau lebih.
Hikmah disyariatannya jual beli ini bertujuan
untuk memberikan keleluasaan kepada manusia dalam memenuhi kebutuhan hidunya
dengan cara suka sama suka antara kedua belah pihak.
Beberapa jual beli yang sah, tapi terlarang,
yaitu : membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari pada harga pasar,
sedangkan dia tidak mengiginkan barang itu, semata agar orang lain tidak membeli
barang itu, membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa
khiyar, mencegat sebelum sampai ke pasar, membeli barang untuk ditimbun supaya
dijual pada saat harga barang tersebut tinggi, menjual perbuatan yang berguna,
namun dijadikan maksiat dan jual beli disertai tipuan.
Jual Beli Yang Sedang Diperdebatkan
Keharamannya yaitu : Ba’i al-Urbun, Bai’ al-Tawaruq, Bai’ al-Taqsith, dan Bai’
al-Hayawan bi al-Hayawan Nasiatan
DAFTAR PUSTAKA
Abi Malik bin Sayyid al-Salim. shahih fiqh al-sunnah. Kairo:Maktabah
al-Tawfiqyah. t.th, Jilid IV, cetakan
XII.
Hidayat Enang. Fiqh Jual Beli. Bandung:Remaja Rosdakarya. 2015.
Nasrun Haroen. fiqh muamalah. Jakarta : Gaya
Media Pratama. 2007.
Rasjid Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung:Sinar Baru. 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar