HUKUM
PERKAWINAN ADAT DAN PENGANGKATAN ANAK
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hukum Adat
Dosen pengampu: Hasanain Haikal Hadining, S.H., M.H.
Disusun Oleh:
1.
Maulina Ulfa (1520110005)
2.
Kholifatul Sa’adah (1520110007)
3.
Rendi Permana (1520110009)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI
AHWAL-SYAKHSIYYAH
TAHUN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hukum perkawinan adat bisa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan,
martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung kepada tata-susunan
masyarakat yang bersangkutan.
Dalam suatu perkawinan pasti suatu keluarga bertujuan untuk memiliki keturunan. Pada masyarakat adat
suami, istri, beserta anaknya dinamakan Somah atau serumah yang
diartikan sebagai kesatuan keluarga kecil. Tapi, bagaimana dengan suami istri
yang tidak memiliki keturunan di era sekarang. Banyak sekali cara untuk
memperoleh keturunansalah satunya dengan pengangkatan anak.
Salah satu
pengaturan tentang pengangkatan anak adalah Undang-undang Nomor 23Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Pasal 1 ayat 9 undang-undang ini mendefinisikan anak angkat
yakni anak yang haknya dialihkan dari lingkungankekuasaan
orang tua, wali yang sahatau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak itukedalam lingkungan
keluarga orang tua
angkatnyaberdasarkankeputusan atau penetapan pengadilan.
Perbedaan
pengaturan pengangkatan anak dalam hukum adat ini disebabkan oleh adanya sistem kekeluargaan patrilinial, matrilineal, dan parental/bilateral. Ditambah lagi
dengan adanya perbedaan bentuk perkawinan dan sistem pewarisanya disetiap daerah. Jadi kedudukan anakangkat disetiap
masadaerah terhadap harta warisan orang tua kandung dan orang tua
angkatnyapastilah berdeda pula.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian hukum perkawinan adat?
2.
Bagaimana asas-asas perkawinan adat menurut UU No.7 Tahun
1974?
3.
Bagaimana bentuk-bentuk perkawinan adat?
4.
Bagaimana pengertian pengangkatan anak dalam hukum adat?
5.
Bagaimana UU perlindungan hak asasi anak dalam pengangkatan anak?
6.
Bagaimana sistem pengangkatan anak menurut hukum adat?
7.
Apa akibat dari hukum adopsi?
8.
Bagaimana hubungan pengangkatan anak dengan warisan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Perkawinan Adat
Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat yang mana kebiasaan tersebut
muncul secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama.
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat
penting dalam penghidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya
menyangkut wanita dan pria mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah
pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing.
Hukum perkawinan adat adalah kebiasaan atau
tingkah laku masyarakat adat dalam melakukan upacara perkawian yang kemudian
kebiasaan tersebut dijadikan hukum positif yang tidak tertulis dan hanya
berlaku dalam masyarakat tertentu dan mempunyai sanksi didalamnya.[1]
Menurut hukum adat, perkawinan bisa merupakan
urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi,
bergantung pada tata susunan masyarakat yang bersangkutan. Bagi
kelompok-kelompok wangsa yang mengatakan diri sebagai kesatuan-kesatuan,
sebagai persekutuan-persekutuan hukum, (bagian clan, kaum, kerabat), perkawinan
para warganya (pria, wanita, atau kedua-duanya) adalah sarana untuk
melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib dan teratur. Sarana yang dapat
melahirkan generasi baru yang melanjutkan garis hidup kelompoknya.
Didalam persekutuan-persekutuan hukum yang
merupakan kesatuan-kesatuan susunan rakyat, yaitu persekutuan desa dan wilayah,
maka perkawinan para warganya merupakan unsur penting di dalam peralihannya
kepada inti sosial dari masyarakat, sepanjang ada kemungkinan untuk masuk yang
sepenuhnya menikmati hak dan memikul kewajiban serta bertanggung jawab penuh
atas kesejahteraan masyarakat, baik idiil maupun materiil.
Perkawinan yang dipilih dengan tepat dapat pula
mempertahankan gengsi/martabat kelas-kelas di dalam dan di luar persekutuan,
dalam hal ini adalah urusan kelas. Berbagai fungi perkawinan itu bermanifestasi
di dalam campur tangan kepala-kepala kerabat (clan). Orang tua (ayah-ibu),
kepala-kepala desa dengan pilihan kawin, bentuk perkawinan, upacara perkawinan.
Perkawinan sebagai peristiwa hukum harus mendapatkan tempatnya di dalam
tata-hukum, perbuatannya harus “terang”, para kepala persekutuan yang
bersangkutan dalam hal ini juga menerima imbalan jasa atas legasisasinya.[2]
B.
Asas-asas Perkawinan Adat menurut UU No.1 Tahun 1974
Dalam undang-undang ini
ditentukan prisip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan
dan tuntutan zaman. Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang-undang
ini adalah sebagai berikut:
a. Tujuan perkawinan
Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
b. Sahnya perkawinan
Suatu perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
c. Asas monogami
Undang- undang ini menganut asas monogami hanya
apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang
bersangkutan mengiikannya.
d. Prinsip perkawinan
Bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan,agar dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian.
e. Mempersukar terjadinya perceraian
Menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya
perceraian.
f.
Hak dan kedudukan istri
Seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.[3]
C.
Bentuk-bentuk Perkawinan Adat
1.
Perkawinan patrilineal dengan
perkawinan matrilineal
Yang merupakan pembedaan terpenting diantara berbagai bentuk perkawinan
ialah antara bentuk perkawinan untuk mempertahankan sistem kewangsaan
patrilineal dan sistem kewangsaan matrilineal secara konsekuen.
Didalam tertib patrilineal, si wanita
dilepaskan dari kelompok kewangsaannya dan berpindah ke dalam kelomok
kewangsaan suaminya sebagai anggota kerabat semenda, sehingga anak-anaknya
termasuk di dalam gens ayahnya. Ini misalnya merupakan bentuk perkawinan asasi
di kalangan orang Batak-Toba.
Sebaliknya di dalam tertib matrilineal, si
wanita dan si pria masing-masing tetap tinggal di dalam kelompok kewangsaannya
sendiri-sendiri, sedangkan anak-anaknya termasuk dalam clan ibunya, ini
merupakan bentuk perkawinan asasi di Minangkabau.
2. Perkawinan jujur dengan perkawinan ambil anak
Suatu kebalikan dengan konsekuensi tidak
seberapa jauh terdapat di dalam lingkungan tertib patrilineal sendiri antara
perkawinan jujur dengan perkawinan ambil anak (adoptive marriage) : suatu
perkawinan tanpa “jujur” yang (kadang-kadang) bermaksud mengadopsi si
menantu laki-laki, sehingga anak-anak si wanita itu kemudian lahir sebagai
penyambung garis gens patrilineal dari ibu dan kakeknya (bukan genss asal dari
si menantu pria).
3. Perkawinan jujur dengan perkawinan mengabdi
Jujur tunai di satu pihak dengan di pihak
lain.
4. Perkawinan mengabdi
Suatu perkawinan dengan pembayaran yang ditunda, seiring dengan pengabdian
si suami kepada kerabat istrinya.
a. Perkawinan tukar menukar
Perkawinan di dalam
tata-susunan masyarakat yang membenarkan hubungan perkawinan timbal balik.
b. Perkawinan mengganti (levirat)
Perkawinan jujur di dalam
sistem patrilineal, yang di situ janda kawin dengan saudara dengan saudara
laki-laki almarhum suaminya.
c. Perkawinan meneruskan
Perkawinan semenda di
dalam sistem patrilineal, tempat kawindengan saudara perempuan mendiang
istrinya.
5. Jumlah jujur
Jumlah jujur itu hampir dimana-mana berbeda-beda menurut status sosial si
wanita. Kebanyakan jumlah jujur itu bergantung kepada jumlah yang dahulu
dibayarkan kepada si ibu gadis. Jujur bagi seorang perawan selalu lebih tinggi
dari pada untuk seorang wanita bercerai atau seorang janda.
6. Lembaga pembayaran pemberian hadiah perkawinan
Didalam tertib parental yang berlaku sekarang, pembayaran itu telah
memperoleh suatu arti dan fungsi tersendiri, serasi dengan suasana
lingkungannya. Pembayaran-pembayaran itu tidak disebut dengan istilah
jujur. Jika diperuntukan si wanita
pribadi, maka itu disebut pemberian perkawinan. Serupa dengan mas kawin dari
hukum Islam yang sudah diresepsi oleh kaum muslimin di mana-mana.
7. Kawin mengabdi
Kawin mengabdi merupakan variant dari perkawinan jujur. Cara tersebut
dibenarkan bedasarkan alasan praktis dalam hal jujur tidak dapat dilunasi
dengan segera. Ia dikenal dengan nama “mandinding” di Batak, “ering beli” di
kalangan orang peminggir di Lampung, “nunggonin” di Bali.
8. Kawin bertukar
kawin bertukar ini lazim di wilayah dengan hubungan-hubungan perkawinan
timbal balik.
9. Kawin meneruskan
Perkawinan sorotan (continuation marriage), perkawinan ipar perempuan,
tungkat (pasemah), ngarang wulu (jawa pusat) ialah suatu perkawinan dari
seorang balu dengan saudara perempuan mendiang istrinya.
10. Kawin mengganti
Perkawinan ini termasuk khas didalam sistem patrilineal selaku sarana
perlengkapan perkawinan jujur.
11. Perkawinan matrileneal
Perkawinan yang mempertahankan tertib matrilineal tidak disertai
pembayaran-pmbayaran seperti jujur ataupun pemberian perkawinan.
12. Kawin ambil anak
Karena perkawinan ini hubungan kewangsaan biologis antara anak dengan
ibunya memperoleh nilai sosial yang pada umumya secara struktural melekat pada
hubungan kewangsaan dengan ayahnya.[4]
D. Pengertian Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat
Dari segi etimologi yaitu asal usul kata, Adopsi berasal dari bahasa
Belanda Adoptie atau Adoption (Bahasa Inggris) yang berati pengangkatan anak.
Dari segi terminologi dalam kamus Umum Bahasa Indonesia dijumpai arti anak
angkat yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri.
Menurut Hilman Hadi Kusuma, dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat menyebutkan,
anak angkat adalah anak oramg lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua
angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk
kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
J.A. Nota seorang ahli hukum Belanda yang khusus mempelajari adopsi memberi
rumusan bahwa adopsi adalah suatu lembaga hukum yang dapat memindahkan seseorang ke dalam kaitan
keluarga lain (baru) sedemikian rupa sehingga menimbulkan secara keseluruhan
atau sebagian hubungan hukum yang sama seperti antara seorang anak yang dilahirkan
sah dengan orang tuannya.[5]
E. UU Perlindungan Hak Asasi Anak dalam
Pengangkatan Anak
Pengangkatan Anak
Pasal 39
1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk
kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan
setempat dan ketentuan peraturan perundang-undang yang berlaku.
2. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan
orangtua kandungnya.
3. Calon orangtua angkat harus seagama dengan
agama yang dianut oleh calon anak angkat.
4. Pengangkatan anak oleh warga negara asing
hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
5. Dalam hal asal-usul anak tidak diketahui, maka
agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Pasal 40
1. Orangtua angkat wajib memberitaukan kepada
anak angkatnya
2. Pemberitauan asal-usul dan orangtua kandung
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan
anak yang bersangkutan.
Pasal 41
1. Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan
dan pengawasan teradap pelaksanaan pengangkatan anak.
2. Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.[6]
F. Sistem Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat
Dalam pengangkatan anak terdapat
banyak sistem yang tergantung kepada
adat setempat dimana tiap bangsa mempunyai hukum adatnya sendiri-sendiri. Oleh
karenanya di dunia ini terdapat bermacam-macam cara mengangkat anak/adopsi. Hal
ini nampak pada cara-cara pengangkatan anak diberbagai negara dan juga di Indonesia
sendiri sebagai berikut:
1.
Cara Pengangkatan Anak di Berbagai Negara
Dalam
hal ini Muderis Zaini, SH mengemukakan :
a.
Dalam Encylopedia of Religion and Ethies dapat
diketahui bahwa masyarakat Leogea dan
New Guinea, kadang- kadang pemimpin suku mereka dapat menyelamatkan jiwa
tawanannya dengan jalan adopsi, bedasarkan jenis kelamin dan umur, mungkin di
anggap sebagai ayah, ibu, saudara atau anak.
b.
Pada penduduk Osange dan Kansas di Amerika Utara, mereka
mengambil anak laki-laki atau wanita sebagai anak angkat disebabkan oleh
hilangnya salah satu orang anggota keluarga, apakah karena kematian atau
perang.
c.
Crantz menggambarkan kebiasaan orang Eskimo, Greenland,
sebagaimana alasan mereka mengangkat anak ialah apabila suatu keluarga yang
tidak atau hanya sedikit anaknya.
d.
Suku Indian dengan cara meletekan anak tersebut di dalam
pangkuannya.
e.
Di antara suku bangsa Afrika Utara, cara pengangkatan
anak dengan jalan menyusulkan, seperti dalam cerita Berber dan Kebyle.
f.
Orang Circasia mengangkat anak juga dengan upacara
ritual, yaitu pengisapan susu ibu.
g.
Kemudian sebagai gambaran terakhir, yaitu tentang bangsa
Smith, dimana adopsi dijelaskan dalam kitab undang-undang yang tertua, yakni
Kitab Undang-Undang Besar Babylonia yang sudah sejak 2000 tahun SM yang dikenal
sebagai Hukum Hammurabi.
2.
Cara Pengangkatan
Anak di Indonesia
a.
Barangkali caraa pengangkatan anak yang berlaku pada
sistem hukum Adat di Indonesia tiak mempunyai banyak perbedaan dengan
pengangkatan anak di berbagai suku bangsa lain.
b.
Secara umum sisstem hukum Adat di Indonesia berlainan
dengan hukum Barat yang individualistis liberalistis. Menurut Prof. Dr. R
Soepomo, hukum Adat Indonesia mempunyai corak sebagai berikut:
a)
Mempunyai sifat kebersaman atau komunal yang kuat
b)
Mempunyai corak religius-magis yang berhubungan dengan
pandangan hidup alam Indonesia
c)
Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkret
d)
Hukum adat mempunyai sifat yang visual
c.
Dengan demikian, khususnya masalah pengangkatan anak atau
adopsi mempunyai sifat-sifat yang sama antara berbagai daerah hukum, meskipun
karakteristik masing-masing daerah tertentu mewarnai kebhinekaan kultural suku
bangsa Indonesia.
1)
Tidak ada ketentuan tentang siapa saja yang boleh
melakukan adopsi dan batas usianya, kecuali minimal berbeda 15 tahun.
2)
Siapa yang boleh diadopsi pada umumnya di dalam
masyarakat Adat Indonesia tidak membedakan apakah anak laki-laki atau
perempuan.
3)
Sehubungan dengan usia yang dijadikan anak angkat adalah
berbeda-beda.
4)
Pengangkatan anak dalam kaitannya dengan keluarga dekat,
luar keluarga atau orang asing, maka pada anak masyarakat Indonesia juga terdapat kebhinekaan atau variasi.
5)
Adopsi harus terang artinya wajib dilakukan dengan
upacara Adat serta dengan bantuan Kepala Adat.[7]
G.
Akibat Hukum dari Adopsi
Berkenaan dengan akibat hukum pengangkatan anak juga
terdapat variasi-variasi dalam lingkaran hukum Adat Indonesia di dalam keluarga
Jawa atau Sunda menurut Prof. Dr. R. Soepomo, SH adalah:
Kedudukan anak angkat adalah berbeda dari pada kedudukan
anak di daerah-daerah, dimana sistem keluarga berdasarkan keturunan dari pihak
lelaki, seperti di Bali misalnya, dimana perbuatan mengangkat anak adalah
perbuatan hukum yang melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya dengan
orang tuanya sendiri dengan memasukan anak itu ke dalam keluarga pihak bapak
angkat. Sedangkan di Jawa pengangkatan anak yang diangkat dan orang tuanya
sendiri tidak memutuskan pertalian keluarga. Anak angkat masuk kehidupan rumah
tangganya orang tua yang mengambil anak itu, sebagai anggota rumah tangganya
orang tua yang mengambil anak itu, sebagai anggota rumah tangganya, akan tetapi
ia berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan keturunan
bapak angkatnya.
H.
Hubungan Pengangkatan Anak dengan Warisan
Dalam hubungannya dengan masalah warisan, maka terdapat
juga variasi ketentuan hukumnya seperti misalnya daerah Lampung Utara dengan
tegas menyatakan bahwa anak angkat tidak mendapatkan bagian warisan dari orang tua
kandungnya. Dengan demikian jelas dia adalah ahli waris dari oangtua angkatnya.
Ketentuan tersebut sesuai dengan beberapa daerah di
Kecamatan Duduk Kabupaten Gresik yang juga menyatakan bahwa anak mewarisi dari
orangtua angkatnya, bahkan disamping itu ia juga mewarisi oangtuanya sendiri.
Namun sebetulnya banyak daerah di Indonesia yang hukum
adatnya menyatakan bahwa anak angkat bukanlah sebagai ahli waris seperti di
Kabupaten Lahat (Palembang) pada umumnya disini anak angkat hanya mendapat
warisan, apabila pada waktu pengangkatannya secara khusus dinyatakan bahwa ia
kelak mewarisi dari orangtua angkatnya, kalau tidak disebutkan maka tidaklah ia
sebagai ahli waris. Untuk daerah Pasemah harus tetap tinggal di dusun orangtua
angkatnya. Selain itu lazimnya di daerah Pasemah ini apabila di samping anak
angkatnya ada anak kandung, mereka mendapat warisan, tetapi warisanya tidak
sama. Kemudian untuk beberapa daerah di Kabupaten Batanghari dengan jelas
menyatakan hukum adatnya, bahwa anak angkat disini tidak penah mewaris orangtua
angkatnya. Begitu pula di Kecamatan Bontomaranu Kabupaten Goa daerah kepulauan
Tidore (Ambon), daerah Takengon Kabupaten Aceh Tengah Kecamatan Cikajang Kabupaten
Garut, Kecamatan Sambas Kalimantan Barat dan beberapa daerah lain menyatakan
bahwa anak angkat bukanlah ahli waris dari oangtua angkatnya, dia adalah ahli
waris orang tuanya sendiri. Selanjutnya kalau memperhatikan versi
pengadilan,terutama pengadilan Negeri Martapura, Kalimantan Selatan yang
mengatakan bahwa adopsi bisa dibatalkan bilamana syarat-syarat normalnya itu salah
atau data diajukan oleh pemohon tidak benar, yang biasanya dalam hal ini orang
tua angkatnya, maka batal karena hukum.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukum perkawinan adat adalah kebiasaan atau tingkah laku masyarakat adat
dalam melakukan upacara perkawian yang kemudian kebiasaan tersebut dijadikan
hukum positif yang tidak tertulis dan hanya berlaku dalam masyarakat tertentu
dan mempunyai sanksi didalamnya.
2. Asas-asas perkawinan adat menurut UU No. 1 tahun 1974, yang meliputi:
·
Tujuan perkawinan
·
Sahnya perkawinan
·
Asas monogami
·
Prinsip perkawinan
·
Mempersukar terjadinya perceraian
·
Hak dan kedudukan istri
3. Bentuk-bentuk perkawinan adat
a.
Perkawinan patrilineal dengan perkawinan matrilinial
b.
Perkawinan jujur dengan perkawinan ambil anak
c.
Perkawinan jujur dengan perkawinan mengabdi
4. Dari segi etimologi yaitu asal usul kata,
Adopsi berasal dari bahasa Belanda Adoptie atau Adoption (Bahasa Inggris) yang
berati pengangkatan anak. Dari segi terminologi dalam kamus Umum Bahasa
Indonesia dijumpai arti anak angkat yaitu anak orang lain yang diambil dan
disamakan dengan anaknya sendiri.
Menurut Hilman Hadi
Kusuma, dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat menyebutkan, anak angkat
adalah anak oramg lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan
resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan
keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
5. Undang-undang Perlindungan Hak Asasi Anak
dalam Pengangkatan Anak terdapat dalam Pasal 39, 40, 41.
6. Dalam pengangkatan anak terdapat banyak sistem yang tergantung kepada adat setempat dimana
tiap bangsa mempunyai hukum adatnya sendiri-sendiri. Oleh karenanya di dunia
ini terdapat bermacam-macam cara mengangkat anak/adopsi.
7.
Berkenaan dengan akibat hukum pengangkatan anak juga
terdapat variasi-variasi dalam lingkaran hukum Adat Indonesia di dalam keluarga
Jawa atau Sunda menurut Prof. Dr. R. Soepomo, SH adalah bahwa Kedudukan anak
angkat adalah berbeda dari pada kedudukan anak di daerah-daerah, dimana sistem
keluarga berdasarkan keturunan dari pihak lelaki.
8.
Dalam hubungannya dengan masalah warisan, maka terdapat
juga variasi ketentuan hukumnya seperti misalnya daerah Lampung Utara dengan
tegas menyatakan bahwa anak angkat tidak mendapatkan bagian warisan dari orang
tua kandungnya. Dengan demikian jelas dia adalah ahli waris dari oangtua
angkatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman , Pengangtar
Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju: Bandung, 2003.
Kansil,Christin, Hukum Perdata
(termasuk asas-asas hukum perdata), Pradnya Paramita: Jakarta, 2000.
Seri Perundangan, Kumpulan Perundangan Perlindungan Hak Asasi
Anak, Pustaka Yustisia: Yogyakarta, 2006.
Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata,
Sinar Grafika: Jakarta, 1999.
Sudiyat, Iman, Hukum Adat, Liberty Yogyakarta: Yogyakarta,1981.
NOTULENSI
1. M. Aly Sofyan ( 1520110030 )
Perbedaan adat
dengan perdata mengenai perkawinan ?
2.
Heni Handayani ( 15201110021 )
Jelaskan
bentuk-bentuk perkawinan menurut pemahaman makalah secara singkat ?
3.
Rahma Pangestuti ( 1520110018 )
Anak angkat lalu
orang tua yang mengangkat anaknya cerai , apakah masih ada tanggungan terhadap
anak angkat tersebut ?
[2] Iman Sudiyat,Hukum Adat, Liberty
Yogyakarta: Yogyakarta,1981, hlm. 107-108.
[3]
Christine Kansil, Hukum Perdata (termasuk
asas-asas hukum perdata), Pradnya Paramita: Jakarta, 2000, hlm. 114-116.
[4] Imam Sudiyat, Op. Cit., hlm. 115-126
[6]
Seri Perundangan, Kumpulan Perundangan Perlindungan Hak Asasi
Anak, Pustaka Yustisia: Yogyakarta, 2006,
hlm. 88-89.
[7]
Soeroso, Op. Cit., hlm. 183-193.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar