Minggu, 19 Maret 2017

Makalah Hukum Perikatan Adat Dan Pengangkatan Anak



HUKUM PERKAWINAN ADAT DAN PENGANGKATAN ANAK

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hukum Adat
Dosen pengampu: Hasanain Haikal Hadining, S.H., M.H.




 











Disusun Oleh:

1.      Maulina Ulfa               (1520110005)
2.      Kholifatul Sa’adah      (1520110007)
3.      Rendi Permana            (1520110009)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI AHWAL-SYAKHSIYYAH
TAHUN 2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Hukum perkawinan adat bisa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung kepada tata-susunan masyarakat yang bersangkutan.
Dalam suatu perkawinan pasti suatu keluarga bertujuan untuk memiliki keturunan. Pada masyarakat adat suami, istri, beserta anaknya dinamakan Somah atau serumah yang diartikan sebagai kesatuan keluarga kecil. Tapi, bagaimana dengan suami istri yang tidak memiliki keturunan di era sekarang. Banyak sekali cara untuk memperoleh keturunansalah satunya dengan pengangkatan anak.
Salah satu pengaturan tentang pengangkatan anak adalah Undang-undang Nomor 23Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Pasal 1 ayat 9 undang-undang ini mendefinisikan anak angkat yakni anak yang haknya dialihkan dari lingkungankekuasaan orang tua, wali yang sahatau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak itukedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnyaberdasarkankeputusan atau penetapan pengadilan.
Perbedaan pengaturan pengangkatan anak dalam hukum adat ini disebabkan oleh adanya sistem kekeluargaan patrilinial, matrilineal, dan parental/bilateral. Ditambah lagi dengan adanya perbedaan bentuk perkawinan dan sistem pewarisanya disetiap daerah. Jadi kedudukan anakangkat disetiap masadaerah terhadap harta warisan orang tua kandung dan orang tua angkatnyapastilah berdeda pula.

B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana pengertian hukum perkawinan adat?
2.         Bagaimana asas-asas perkawinan adat menurut UU No.7 Tahun 1974?
3.         Bagaimana bentuk-bentuk perkawinan adat?
4.      Bagaimana pengertian pengangkatan anak dalam hukum adat?
5.    Bagaimana UU perlindungan hak asasi anak dalam pengangkatan anak?
6.    Bagaimana sistem pengangkatan anak menurut hukum adat?
7.    Apa akibat dari hukum adopsi?
8.    Bagaimana hubungan pengangkatan anak dengan warisan?




                                                





























BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Hukum Perkawinan Adat
Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat yang mana kebiasaan tersebut muncul secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama.
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing.
Hukum perkawinan adat adalah kebiasaan atau tingkah laku masyarakat adat dalam melakukan upacara perkawian yang kemudian kebiasaan tersebut dijadikan hukum positif yang tidak tertulis dan hanya berlaku dalam masyarakat tertentu dan mempunyai sanksi didalamnya.[1]
Menurut hukum adat, perkawinan bisa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung pada tata susunan masyarakat yang bersangkutan. Bagi kelompok-kelompok wangsa yang mengatakan diri sebagai kesatuan-kesatuan, sebagai persekutuan-persekutuan hukum, (bagian clan, kaum, kerabat), perkawinan para warganya (pria, wanita, atau kedua-duanya) adalah sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib dan teratur. Sarana yang dapat melahirkan generasi baru yang melanjutkan garis hidup kelompoknya.
Didalam persekutuan-persekutuan hukum yang merupakan kesatuan-kesatuan susunan rakyat, yaitu persekutuan desa dan wilayah, maka perkawinan para warganya merupakan unsur penting di dalam peralihannya kepada inti sosial dari masyarakat, sepanjang ada kemungkinan untuk masuk yang sepenuhnya menikmati hak dan memikul kewajiban serta bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan masyarakat, baik idiil maupun materiil. 
Perkawinan yang dipilih dengan tepat dapat pula mempertahankan gengsi/martabat kelas-kelas di dalam dan di luar persekutuan, dalam hal ini adalah urusan kelas. Berbagai fungi perkawinan itu bermanifestasi di dalam campur tangan kepala-kepala kerabat (clan). Orang tua (ayah-ibu), kepala-kepala desa dengan pilihan kawin, bentuk perkawinan, upacara perkawinan. Perkawinan sebagai peristiwa hukum harus mendapatkan tempatnya di dalam tata-hukum, perbuatannya harus “terang”, para kepala persekutuan yang bersangkutan dalam hal ini juga menerima imbalan jasa atas legasisasinya.[2]

B.            Asas-asas Perkawinan Adat menurut UU No.1 Tahun 1974
Dalam undang-undang ini ditentukan prisip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut:
a.    Tujuan perkawinan
Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
b.    Sahnya perkawinan
Suatu perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
c.    Asas monogami
Undang- undang ini menganut asas monogami hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengiikannya.
d.      Prinsip perkawinan
Bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan,agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian.
e.       Mempersukar terjadinya perceraian
Menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian.
f.        Hak dan kedudukan istri
Seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.[3]

C.      Bentuk-bentuk Perkawinan Adat
1.    Perkawinan patrilineal dengan perkawinan matrilineal
Yang merupakan pembedaan terpenting diantara berbagai bentuk perkawinan ialah antara bentuk perkawinan untuk mempertahankan sistem kewangsaan patrilineal dan sistem kewangsaan matrilineal secara konsekuen.
Didalam tertib patrilineal, si wanita dilepaskan dari kelompok kewangsaannya dan berpindah ke dalam kelomok kewangsaan suaminya sebagai anggota kerabat semenda, sehingga anak-anaknya termasuk di dalam gens ayahnya. Ini misalnya merupakan bentuk perkawinan asasi di kalangan orang Batak-Toba.
Sebaliknya di dalam tertib matrilineal, si wanita dan si pria masing-masing tetap tinggal di dalam kelompok kewangsaannya sendiri-sendiri, sedangkan anak-anaknya termasuk dalam clan ibunya, ini merupakan bentuk perkawinan asasi di Minangkabau.
2.    Perkawinan jujur dengan perkawinan ambil anak
Suatu kebalikan dengan konsekuensi tidak seberapa jauh terdapat di dalam lingkungan tertib patrilineal sendiri antara perkawinan jujur dengan perkawinan ambil anak (adoptive marriage) : suatu perkawinan tanpa “jujur” yang (kadang-kadang) bermaksud mengadopsi si menantu laki-laki, sehingga anak-anak si wanita itu kemudian lahir sebagai penyambung garis gens patrilineal dari ibu dan kakeknya (bukan genss asal dari si menantu pria).
3.      Perkawinan jujur dengan perkawinan mengabdi
Jujur tunai di satu pihak dengan di pihak lain.
4.      Perkawinan mengabdi
Suatu perkawinan dengan pembayaran yang ditunda, seiring dengan pengabdian si suami kepada kerabat istrinya.
a.       Perkawinan tukar menukar
Perkawinan di dalam tata-susunan masyarakat yang membenarkan hubungan perkawinan timbal balik.
b.      Perkawinan mengganti (levirat)
Perkawinan jujur di dalam sistem patrilineal, yang di situ janda kawin dengan saudara dengan saudara laki-laki almarhum suaminya.
c.       Perkawinan meneruskan
Perkawinan semenda di dalam sistem patrilineal, tempat kawindengan saudara perempuan mendiang istrinya.
5.      Jumlah jujur
Jumlah jujur itu hampir dimana-mana berbeda-beda menurut status sosial si wanita. Kebanyakan jumlah jujur itu bergantung kepada jumlah yang dahulu dibayarkan kepada si ibu gadis. Jujur bagi seorang perawan selalu lebih tinggi dari pada untuk seorang wanita bercerai atau seorang janda.
6.      Lembaga pembayaran pemberian hadiah perkawinan
Didalam tertib parental yang berlaku sekarang, pembayaran itu telah memperoleh suatu arti dan fungsi tersendiri, serasi dengan suasana lingkungannya. Pembayaran-pembayaran itu tidak disebut dengan istilah jujur.    Jika diperuntukan si wanita pribadi, maka itu disebut pemberian perkawinan. Serupa dengan mas kawin dari hukum Islam yang sudah diresepsi oleh kaum muslimin di mana-mana.
7.      Kawin mengabdi
Kawin mengabdi merupakan variant dari perkawinan jujur. Cara tersebut dibenarkan bedasarkan alasan praktis dalam hal jujur tidak dapat dilunasi dengan segera. Ia dikenal dengan nama “mandinding” di Batak, “ering beli” di kalangan orang peminggir di Lampung, “nunggonin” di Bali.
8.      Kawin bertukar
kawin bertukar ini lazim di wilayah dengan hubungan-hubungan perkawinan timbal balik.
9.      Kawin meneruskan
Perkawinan sorotan (continuation marriage), perkawinan ipar perempuan, tungkat (pasemah), ngarang wulu (jawa pusat) ialah suatu perkawinan dari seorang balu dengan saudara perempuan mendiang istrinya.
10.  Kawin mengganti
Perkawinan ini termasuk khas didalam sistem patrilineal selaku sarana perlengkapan perkawinan jujur.
11.  Perkawinan matrileneal
Perkawinan yang mempertahankan tertib matrilineal tidak disertai pembayaran-pmbayaran seperti jujur ataupun pemberian perkawinan.
12.  Kawin ambil anak
Karena perkawinan ini hubungan kewangsaan biologis antara anak dengan ibunya memperoleh nilai sosial yang pada umumya secara struktural melekat pada hubungan kewangsaan dengan ayahnya.[4]

D.      Pengertian Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat
Dari segi etimologi yaitu asal usul kata, Adopsi berasal dari bahasa Belanda Adoptie atau Adoption (Bahasa Inggris) yang berati pengangkatan anak. Dari segi terminologi dalam kamus Umum Bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri.
Menurut Hilman Hadi Kusuma, dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat menyebutkan, anak angkat adalah anak oramg lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
J.A. Nota seorang ahli hukum Belanda yang khusus mempelajari adopsi memberi rumusan bahwa adopsi adalah suatu lembaga hukum yang dapat  memindahkan seseorang ke dalam kaitan keluarga lain (baru) sedemikian rupa sehingga menimbulkan secara keseluruhan atau sebagian hubungan hukum yang sama seperti antara seorang anak yang dilahirkan sah dengan orang tuannya.[5]
E.       UU Perlindungan Hak Asasi Anak dalam Pengangkatan Anak
Pengangkatan Anak
Pasal 39
1.      Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undang yang berlaku.
2.      Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orangtua kandungnya.
3.      Calon orangtua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
4.      Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
5.      Dalam hal asal-usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.

Pasal 40
1.      Orangtua angkat wajib memberitaukan kepada anak angkatnya
2.      Pemberitauan asal-usul dan orangtua kandung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.


Pasal 41
1.      Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan teradap pelaksanaan pengangkatan anak.
2.      Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.[6]

F.       Sistem Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat
Dalam pengangkatan anak terdapat banyak sistem  yang tergantung kepada adat setempat dimana tiap bangsa mempunyai hukum adatnya sendiri-sendiri. Oleh karenanya di dunia ini terdapat bermacam-macam cara mengangkat anak/adopsi. Hal ini nampak pada cara-cara pengangkatan anak diberbagai negara dan juga di Indonesia sendiri sebagai berikut:
1.    Cara Pengangkatan Anak di Berbagai Negara
Dalam hal ini Muderis Zaini, SH mengemukakan :
a.    Dalam Encylopedia of Religion and Ethies dapat diketahui  bahwa masyarakat Leogea dan New Guinea, kadang- kadang pemimpin suku mereka dapat menyelamatkan jiwa tawanannya dengan jalan adopsi, bedasarkan jenis kelamin dan umur, mungkin di anggap sebagai ayah, ibu, saudara atau anak.
b.    Pada penduduk Osange dan Kansas di Amerika Utara, mereka mengambil anak laki-laki atau wanita sebagai anak angkat disebabkan oleh hilangnya salah satu orang anggota keluarga, apakah karena kematian atau perang.
c.    Crantz menggambarkan kebiasaan orang Eskimo, Greenland, sebagaimana alasan mereka mengangkat anak ialah apabila suatu keluarga yang tidak atau hanya sedikit anaknya.
d.    Suku Indian dengan cara meletekan anak tersebut di dalam pangkuannya.
e.    Di antara suku bangsa Afrika Utara, cara pengangkatan anak dengan jalan menyusulkan, seperti dalam cerita Berber dan Kebyle.
f.     Orang Circasia mengangkat anak juga dengan upacara ritual, yaitu pengisapan susu ibu.
g.    Kemudian sebagai gambaran terakhir, yaitu tentang bangsa Smith, dimana adopsi dijelaskan dalam kitab undang-undang yang tertua, yakni Kitab Undang-Undang Besar Babylonia yang sudah sejak 2000 tahun SM yang dikenal sebagai Hukum Hammurabi.
2.     Cara Pengangkatan Anak di Indonesia
a.    Barangkali caraa pengangkatan anak yang berlaku pada sistem hukum Adat di Indonesia tiak mempunyai banyak perbedaan dengan pengangkatan anak di berbagai suku bangsa lain.
b.    Secara umum sisstem hukum Adat di Indonesia berlainan dengan hukum Barat yang individualistis liberalistis. Menurut Prof. Dr. R Soepomo, hukum Adat Indonesia mempunyai corak sebagai berikut:
a)        Mempunyai sifat kebersaman atau komunal yang kuat
b)        Mempunyai corak religius-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia
c)      Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkret
d)      Hukum adat mempunyai sifat yang visual
c.    Dengan demikian, khususnya masalah pengangkatan anak atau adopsi mempunyai sifat-sifat yang sama antara berbagai daerah hukum, meskipun karakteristik masing-masing daerah tertentu mewarnai kebhinekaan kultural suku bangsa Indonesia.
1)      Tidak ada ketentuan tentang siapa saja yang boleh melakukan adopsi dan batas usianya, kecuali minimal berbeda 15 tahun.
2)      Siapa yang boleh diadopsi pada umumnya di dalam masyarakat Adat Indonesia tidak membedakan apakah anak laki-laki atau perempuan.
3)      Sehubungan dengan usia yang dijadikan anak angkat adalah berbeda-beda.
4)             Pengangkatan anak dalam kaitannya dengan keluarga dekat, luar keluarga atau orang asing, maka pada anak masyarakat  Indonesia juga terdapat kebhinekaan atau variasi.
5)             Adopsi harus terang artinya wajib dilakukan dengan upacara Adat serta dengan bantuan Kepala Adat.[7]

G.      Akibat Hukum dari Adopsi
Berkenaan dengan akibat hukum pengangkatan anak juga terdapat variasi-variasi dalam lingkaran hukum Adat Indonesia di dalam keluarga Jawa atau Sunda menurut Prof. Dr. R. Soepomo, SH adalah:
Kedudukan anak angkat adalah berbeda dari pada kedudukan anak di daerah-daerah, dimana sistem keluarga berdasarkan keturunan dari pihak lelaki, seperti di Bali misalnya, dimana perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya dengan orang tuanya sendiri dengan memasukan anak itu ke dalam keluarga pihak bapak angkat. Sedangkan di Jawa pengangkatan anak yang diangkat dan orang tuanya sendiri tidak memutuskan pertalian keluarga. Anak angkat masuk kehidupan rumah tangganya orang tua yang mengambil anak itu, sebagai anggota rumah tangganya orang tua yang mengambil anak itu, sebagai anggota rumah tangganya, akan tetapi ia berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya.

H.      Hubungan Pengangkatan Anak dengan Warisan
Dalam hubungannya dengan masalah warisan, maka terdapat juga variasi ketentuan hukumnya seperti misalnya daerah Lampung Utara dengan tegas menyatakan bahwa anak angkat tidak mendapatkan bagian warisan dari orang tua kandungnya. Dengan demikian jelas dia adalah ahli waris dari oangtua angkatnya.
Ketentuan tersebut sesuai dengan beberapa daerah di Kecamatan Duduk Kabupaten Gresik yang juga menyatakan bahwa anak mewarisi dari orangtua angkatnya, bahkan disamping itu ia juga mewarisi oangtuanya sendiri.
Namun sebetulnya banyak daerah di Indonesia yang hukum adatnya menyatakan bahwa anak angkat bukanlah sebagai ahli waris seperti di Kabupaten Lahat (Palembang) pada umumnya disini anak angkat hanya mendapat warisan, apabila pada waktu pengangkatannya secara khusus dinyatakan bahwa ia kelak mewarisi dari orangtua angkatnya, kalau tidak disebutkan maka tidaklah ia sebagai ahli waris. Untuk daerah Pasemah harus tetap tinggal di dusun orangtua angkatnya. Selain itu lazimnya di daerah Pasemah ini apabila di samping anak angkatnya ada anak kandung, mereka mendapat warisan, tetapi warisanya tidak sama. Kemudian untuk beberapa daerah di Kabupaten Batanghari dengan jelas menyatakan hukum adatnya, bahwa anak angkat disini tidak penah mewaris orangtua angkatnya. Begitu pula di Kecamatan Bontomaranu Kabupaten Goa daerah kepulauan Tidore (Ambon), daerah Takengon Kabupaten Aceh Tengah Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut, Kecamatan Sambas Kalimantan Barat dan beberapa daerah lain menyatakan bahwa anak angkat bukanlah ahli waris dari oangtua angkatnya, dia adalah ahli waris orang tuanya sendiri. Selanjutnya kalau memperhatikan versi pengadilan,terutama pengadilan Negeri Martapura, Kalimantan Selatan yang mengatakan bahwa adopsi bisa dibatalkan bilamana syarat-syarat normalnya itu salah atau data diajukan oleh pemohon tidak benar, yang biasanya dalam hal ini orang tua angkatnya, maka batal karena hukum.[8]








BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.    Hukum perkawinan adat adalah kebiasaan atau tingkah laku masyarakat adat dalam melakukan upacara perkawian yang kemudian kebiasaan tersebut dijadikan hukum positif yang tidak tertulis dan hanya berlaku dalam masyarakat tertentu dan mempunyai sanksi didalamnya.
2.    Asas-asas perkawinan adat menurut UU No. 1 tahun 1974, yang meliputi:
·           Tujuan perkawinan
·           Sahnya perkawinan
·           Asas monogami
·           Prinsip perkawinan
·           Mempersukar terjadinya perceraian
·           Hak dan kedudukan istri
3.    Bentuk-bentuk perkawinan adat
a.         Perkawinan patrilineal dengan perkawinan matrilinial
b.        Perkawinan jujur dengan perkawinan ambil anak
c.         Perkawinan jujur dengan perkawinan mengabdi
4.    Dari segi etimologi yaitu asal usul kata, Adopsi berasal dari bahasa Belanda Adoptie atau Adoption (Bahasa Inggris) yang berati pengangkatan anak. Dari segi terminologi dalam kamus Umum Bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri.
Menurut Hilman Hadi Kusuma, dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat menyebutkan, anak angkat adalah anak oramg lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
5.    Undang-undang Perlindungan Hak Asasi Anak dalam Pengangkatan Anak terdapat dalam Pasal 39, 40, 41.
6.    Dalam pengangkatan anak terdapat banyak sistem  yang tergantung kepada adat setempat dimana tiap bangsa mempunyai hukum adatnya sendiri-sendiri. Oleh karenanya di dunia ini terdapat bermacam-macam cara mengangkat anak/adopsi.
7.    Berkenaan dengan akibat hukum pengangkatan anak juga terdapat variasi-variasi dalam lingkaran hukum Adat Indonesia di dalam keluarga Jawa atau Sunda menurut Prof. Dr. R. Soepomo, SH adalah bahwa Kedudukan anak angkat adalah berbeda dari pada kedudukan anak di daerah-daerah, dimana sistem keluarga berdasarkan keturunan dari pihak lelaki.
8.      Dalam hubungannya dengan masalah warisan, maka terdapat juga variasi ketentuan hukumnya seperti misalnya daerah Lampung Utara dengan tegas menyatakan bahwa anak angkat tidak mendapatkan bagian warisan dari orang tua kandungnya. Dengan demikian jelas dia adalah ahli waris dari oangtua angkatnya.












DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman , Pengangtar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju: Bandung, 2003.
Kansil,Christin, Hukum Perdata (termasuk asas-asas hukum perdata), Pradnya Paramita: Jakarta, 2000.
Seri Perundangan, Kumpulan Perundangan Perlindungan Hak Asasi Anak, Pustaka Yustisia: Yogyakarta, 2006.
Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika: Jakarta, 1999.
Sudiyat, Iman, Hukum Adat, Liberty Yogyakarta: Yogyakarta,1981.






















NOTULENSI

1.      M. Aly Sofyan ( 1520110030 )
Perbedaan adat dengan perdata mengenai perkawinan ?

2.      Heni Handayani ( 15201110021 )
Jelaskan bentuk-bentuk perkawinan menurut pemahaman makalah secara singkat ?

3.      Rahma Pangestuti ( 1520110018 )
Anak angkat lalu orang tua yang mengangkat anaknya cerai , apakah masih ada tanggungan terhadap anak angkat tersebut ?
















[1] Hilman  Hadikusuma, Pengangtar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju: Bandung, 2003, hlm. 182.
[2] Iman Sudiyat,Hukum Adat, Liberty Yogyakarta: Yogyakarta,1981, hlm. 107-108.
[3] Christine Kansil, Hukum Perdata (termasuk asas-asas hukum perdata), Pradnya Paramita: Jakarta, 2000, hlm. 114-116.
[4] Imam Sudiyat, Op. Cit., hlm. 115-126
[5] Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika: Jakarta, 1999,  hlm. 174.
[6] Seri Perundangan, Kumpulan Perundangan Perlindungan Hak Asasi Anak, Pustaka Yustisia: Yogyakarta, 2006, hlm. 88-89.
[7] Soeroso, Op. Cit., hlm. 183-193.
[8] Log, Cit., hlm. 194-195.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

New Post

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Dose...