Minggu, 19 Maret 2017

Keudukan Hak Ulayat Dalam Undang-Undang Pokok Agraria




KEDUDUKAN HAK ULAYAT DALAM UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA
MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Hukum Adat
Dosen Pengampu: Hasanain Haikal,SH,MH.



Disusun oleh:

1.         Akhidatus Sholihah     (1520110001)
2.         Fitriyani                       (1520110002)
3.         Ike Meliyanti Saputri  (1520110003)
4.         Lina Kurniawati          (1520110004)









 
PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KUDUS
        2016


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Msalah
            Pada tanggal 24 September 1960,  Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar  Pokok-pokok  Hukum Agraria di undangkan. Dengan diundangkannya UUPA, maka politik hukum agraria yang berlaku selama masa penjajahan dinyatakan tidak berlaku lagi dan digantikan dengan politik hukum agraria nasional. Adapun politik hukum agraria nasional itu sendiri adalah kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan soal-soal agrarian sebagaimana terdapat di dalam UUPA. Salah satu dari politik agraria nasional, sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 3 dan Pasal 18 UUPA, yang pada intinya mengutamakan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa daripada kepentingan perseorangan dan/atau golongan.
Di dalam Hukum Adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu. Kita juga bahwa telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih – lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar – besar kemakmuran rakyat.
B. Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan hak ulayat ?
2.      Bagaimana kedudukan hak ulayat dalam UUPA ?
3.      Bagaimana pembatasan UUPA terhadap pelaksanaan hak ulayat ?
C. Tujuan
1.         Untuk mengetahui pengertian hak ulayat
2.         Untuk mengetahui kedudukan hak ulayat dalam UUPA
3.         Untuk mengetahui pembatasan UUPA terhadap pelaksanaan hak ulayat.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hak Ulayat
Hak ulayat menurut hukum adat adalah hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) masih terus dapat dilaksanakan, tetapi dengan syarat “harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.[1]
            Berdasarkan hak menguasai dari negara, maka negara dalam hal ini adalah pemerintah dapat memberikan hak-hak atas tanah kepada seseorang, beberapa orang secara bersama-sama atau suatu badan hukum. Pemberian hak itu berarti pemberian wewenang untuk mempergunakan tanah dalam batas-batas yang diatur oleh peraturan perundangan. Sebagaimana telah dijelaskan dibagian terdahulu, bahwa “tanah” adalah “permukaan bumi”, maka ha katas tanah itu adalah hak untuk mempergunakan tanahnya saaja, sedangkan benda-benda lain didalam tanah umpamanya bahan-bahan mineral, minyak, dan lain-lain tidak termasuk. Hal yang terakhir ini diatur khusus dalam beberapa peraturan perundangan lain, yaitu undang-undang tentang ketentuan pokok pertambangan.
            Dalam membicarakan hak atas tanah, kita tinjau lebih dahulu beberapa hak atas tanah yang penting harus kita ketahui, yaitu hak atas tanah menurut hukum adat . sedangkan hak ulayat ialah ha katas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat secara bersama-sama (komunal). Dengan hak ulayat ini, masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara menyeluruh. Adapun hak warga masyarakat atas tanah yang terwujud dalam hak ulayat pada dasarnya berupa :
1)      Hak untuk meramu atau mengumpulkan hasil hutan yang ada diwilayah/wewenang hukum masyarakat mereka yang bersangkutan.
2)      Hak untuk berburu dalam batas wilayah/wewenang hukum masyarakat mereka.
Akan tetapi, dalam konsepsi hak ulayat yang bersifat komunal ini pada hakikatnya terdapat juga hak anggota masyarakat yang bersangkutan untuk secara perorangan menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut secara tertentu (dengan menggunakan tanda-tanda tertentu) agar diketahui para anggota lainnya semasyarakat dalam waktu yang tertentu pula.
            Misalkan : seorang anggota masyarakat secara pribadi berminat untuk  mengambil hasil beberapa rumpun pohon gambir, yang terletak didalam hutan yang menjadi wilayah/wewenang hukum berlakunya hak ulayat masyarakat yang bersangkutan, untuk kepentingannya sendiri. Hal seperti ini boleh dilakukan meskipun hutan itu berikut segala isinya sebenarnya menjadi hak bersama-sama anggota masyarakat lainnya. Untuk sementara waktu (jadi tidak untuk selamanya) ia bahkan berhak pula untuk memagari rumpun pohon gambir yang hendak dikuasainya itu, sehingga dalam jangka waktu tersebut tidak ada orang lain yang boleh memetik hasil pohon gambir tersebut selain dirinya. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa hak ulayat atas pohon-pohon gambir yang telah dikuasai oleh seseorang itu menjadi terhapus karenanya, melainkan hak ulayat itu tetap ada mengalasi hak pribadi/perorangan tertentu yang dipangkunya. Hak ulayat secara komunal itu baru pulih kuat kembali (atas pohon gambir tersebut) bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaan dan telah pula mencabut pagar yang menandakan penguasaannya atas rumpun pohon gambir tersebut.[2]
B. Kedudukan Hak Ulayat dalam UUPA
            Hak ulayat  diatur dalam  pasal 3 UUPA yang berbunyi : Dengan mengingat ketantuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
a.       Sebutan dan isinya
Hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit antara masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya, yang disebut hak ulayat. Dalam perpustakaan hukum adat yang berbahasa belanda, mengikuti penamaannya oleh van vollenhoven, lembaganya disebut beschikkingsrecht. Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan derngan tanah yang terletak dalam wilayahnya. Hak ulayat mengandung dua unsur, yaitu unsur  kepunyaan yang termasuk bidang hukum perdata dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin tugas kewenangan yang termasuk kewenangan hukum publik. Unsur tugas kewenangan yang termasuk bidang hukum publik tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala adat sendiri atau bersama-sama dengan para tertua Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
b.      Pemegang haknya
Pemegang hak ulayat adalah masyarakat hukum adat yang territorial, karena para warganya bertempat tinggal diwilayah yang sama, seperti nagari di Minangkabau. Adapula yang geneologis, yang para warganya terikat oleh pertalian darah seperti suku dan kaum.
c.       Tanah yang Dihaki
Objek hak ulayat adalah semua tanah dalam wilayah masyarakat adat territorial yang bersangkutan. Tidak selalu mudah untuk mengetahui secara pasti batas-batas tanah ulayat suatu masy arakat hukum adat. Dalam masyarakat geneologis, diketahui tanah yang mana termasuk tanah yang dipunyai bersama. Karena hak ulayat meliputi semua tanah, maka dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada “res nulius”.
d.      Terciptanya hak ulayat
Hak ulayat sebagai hubungan hukum konkrit, pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau suatu kekuatan ghaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan  tanah yang bersangkutan kepada orang-orang yang merupakan kelompok tertentu. Hak  ulayat sebagai lembaga hukum sudah ada sebelumnya, karena masyarakat hukum adat yang bersangkutan bukan satu-satunya yang mempunyai hak ulayat. Bagi sesuatu masyarakat hukumadat tertentu, hak ulayat tercipta karena pemisahan dari masyarakat hukum adat induknya, menjadi masyarakat hukum adat baru yang mandiri, dengan sebagian wilayah induknyasebagai tanah ulayatnya.[3]
Kedudukan Tanah Ulayat Berdasarkan UUPA Nomor  5 Tahun 1960 Undang-undang terakhir saat ini yang mengatur pertahanan adalah Undang-Undang Pokok Agraria yang dikenal dengan UU Nomor 5 Tahun 1960. Hal-hal yang mengatur mengenai tanah ulayat adalah pasal 3, pasal 2 dari UUPA tersebut, seperti telah diuraikan dimuka.
Menurut pasal-pasal tersebut diakui eksitensi tanah ulayat dan hak ulayat, namun untuk dapat direalisasikan dan diakui secara formal haruslah dipenuhi persyaratan tertentu untuk itu, yaitu “sepanjang masyarakat hukum adat itu masih ada”. Di dalam perkembangannya hak ulayat itu, walaupun diakui oleh undang-undang, namun eksitensi masyarakat hukum adat itu semakin kabur, dalam arti kenyataannya masyarakat semakin menjauhi hukum adat itu, khususnya hal-hal tertentu antara lain mengenai pertahanan menurut adat istiadat (hukum adat).
Di dalam konsiderans UUPA, disebutkan bahwa sebelum dikeluarkannya UUPA tersebut. Terdapat sifat dualisme mengenai pertahanan, disebabkan berlakunya dua jenis hukum mengenai pertahanan yaitu Hukum Adat dan Hukum Agraria yang didasarkan atas Hukum Barat. Oleh karena itulah dirasakan perlunya Hukum Agraria yang seragam dan bersifat nasional dalam hal ini UUPA. Selanjutnya Pasal 3 itu menyebutkan bahwa hak-hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat tetap diakui , namun sepanjang masyarakatnya masih ada serta harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. Selain itu Pasal 3 tersebut juga menekankan bahwa hak ulayat itu harus berdasarkan persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi. Perlu diketahui, Pasal 4 menyebutkan bahwa hak menguasai ada pada negara, sehingga kedudukan tanah ulayat itupun haruslah diajukan kepada negara. Oleh karena banyaknya ketentuan/peraturan yang mengatur pertanahan, sedangkan tanah ulayat tidak diatur secara khusus, maka permasalahan tanah ulayat terus berlanjut begitu saja tanpa ada solusi melalui peraturan yang mengakomodasikan kepentingan masyarakat hukum adat secara jelas.
Tentang pelaksanaan hak ulayat itu dijelaskan dalam pasal 5 UUPA sebagai berikut : “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan hukum agama”.
Ini berarti berdasarkan hak ulayat yang bersumber hukum adat ini, masyarakat hukum yang bersangkutan tidak boleh menghalangi pemberian hak guna usaha yang hendak dilakukan oleh pemerintah.
Jika misalnya pemerintah hendak melaksanakan pembukaan hutang secara besar-besaran dan teratur dalam rangka proyek-proyek besar untuk penambahan bahan makanan dan transmigrasi, maka hak ulayat dari suatu masyarakat Hukum Adat tidak boleh dijadikan penghalang. Jika hak ulayat dari masyarakat hukum itu dapat menghambat dan menghalangi sesuatu, maka kepentingan umum akan dikalahkan oleh kepentingan masyarakat-masyarakat hukum yang bersangkutan. Ini tidak dapat dibenarkan, dengan kata lain kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk kepada kepentingan nasional dan negara.
Didalam memori penjelasan ditegaskan: “Tidaklah dapat dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa ini suatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari hubungan dengan masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam lingkungan negara sebagai kesatuan.
Jika dipertahankan sikap demikian, maka ini terang bertentangan dengan asas pokok yang tercantum dalam pasal 2 UUPA yang berbunyi : “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 / 3 UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat “(ayat 1)
Tetapi penguasaan ini memang harus “digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Islam yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur “(pasal 2/3 UUPA).
Perbedaan Hak Warga Asli dan Pendatang
Pendatang yang ingin ikut mempergunakan tanah dalam lingkungan hak pertuanan, harus membayar uang pemasukan (aceh), mesi (jawa) sebagai bukti bahwa ia disitu sebagai orang asing ia dianggap sebagai penumpang, sehingga hak yang diperolehnya tidak sama dengan hak warga asing. Walaupun pendatang yang sudah lama menjadi penduduk wilayah yang bersangkutan mendapat hak-hak lebih kuat yang menyerupai hak orang asli diwilayah tersebut, namun bila ia meninggalkan tempat kediamannya, maka kembalilah sikap persekutuan itu terhadapnya seperti sikapnya semula yaitu orang tersebut kembali pula menjadi orang asing.
Di jawa orang masih biasa membedkan antara keturunan penduduk asli dengan orang berasal dari penduduk lain. Orang batak membedakan anggota marga yang berkuasa dalam suatu wilayah dari anggota marga penumpang (marga tanah – marga paripe ). [4]
C. Pembatasan UUPA terhadap Hak Ulayat
            Seperti yang telah dijelaskan dalam konsepsi UUPA, menurut konsepsi UUPA maka tanah, sebagaimana halnya juga dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang ada di wilayah Republik Indonesia, adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa pada Bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi.
 Dalam Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa : Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dengan peraturan perundangan-undangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
            Adanya ketentuan yang demikian ini menimbulkan dua akibat terhadap hukum adat tentang tanah yang berlaku dalam masyarakat Indonesia, dimana di satu pihak ketentuan tersebut memperluas berlakunya hukum adat tidak hanya terhadap golongan Eropa dan Timur Asing. Hukum Adat di sini tidak hanya berlaku untuk tanah-tanah Indonesia saja akan tetapi juga berlaku untuk tanah-tanah yang dahulunya termasuk dalam golongan tanah Barat. Setelah berlakunya ketentuan tersebut di atas, maka kewenangan berupa penguasaan tanah-tanah oleh persekutuan hukum mendapat pembatasan sedemikian rupa dari kewenangan pada masa-masa sebelumnya karena sejak saat itu segala kewenangan mengenai persoalan tanah terpusat pada kekuasaan negara, kalau demikian bagaimana kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah yang disebut hak ulayat tersebut, apakah juga masih diakui berlakunya atau mengalami perubahan sebagaimana halnya dengan ketentuan-ketentuan hukum adat tentang tanah.
Adapun mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dari UUPA, antara lain :
  1. Pasal 2 ayat (4), yang berbunyi: Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swantanra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut Peraturan Pemerintah.
  2. Pasal 3, yang berbunyi: Dengan mengugat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.
  3. Pasal 22 ayat (1), yang berbunyi: Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan Pemerintah.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa setelah berlakunya UUPA ini, tanah adat di Indonesia mengalami perubahan. Maksudnya segala yang bersangkutan dengan tanah adat, misalnya hak ulayat, tentang jual beli tanah dan sebagainya mengalami perubahan. Jika dulu sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masih milik persekutuan hukum adat setempat yang sudah dikuasai sejak lama dari nenek moyang mereka dahulu. Namun setelah berlakunya UUPA, hak ulayat masih diakui, karena hal ini dapat dilihat dari pasal 3 UUPA, hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat masih diakui sepanjang dalam kenyataan di masyarakat masih ada.[5]
Hukum adat yang bertentangan dengan jiwa persatuan bangsa, kepentingan nasional dan negara yang harus tidak berlaku lagi (adat yang tidak di adatkan) dan diatur kembali oleh pemerintah. Perubahan dalam hukum adat, seperti telah diuraikan dimuka bukanlah suatu hal luar biasa, hukum adat itu tumbuh berkembang sesuai dengan perkembangan zaman “Het Adatrecht groet stil als de padi”, kata van vollenhoven (hukum adat tumbuh diam-diam seperti tumbuhnya padi).
Hukum Adat yang tidak bertentangan dengan prinsip persatuan bangsa, kepentingan nasional dan negara semacam itulah yang tetap berlaku, karena dalam hukum agraria atau pertanahan yang berlaku adalah hukum adat seperti disebut dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA). Perlu ditegaskan bahwa hubungan dengan prinsip persatuan bangsa dalam negara kesatuan Indonesia, maka hukum adat yang dulu hanya mementingkan suku dan masyarakat mempunyai hukum sendiri, harus diteliti dan dibedakan antara:
a)      Hukum adat yang tidak bertentangan dengan prinsip persatuan.
b)      Hukum adat yang hanya mementingkan suku dan masyarakat mempunyai hukum sendiri, yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan kesatuan bangsa serta dapat menghamnbat pembangunan negara.
Hukum adat yang tidak bertentangan terebut pada hurug (a) tetap berlaku dan merupakan hukum pertanahan nasional yang berasal dari hukum adat kecuali hak-hak atas tanah menurut hukum adat yang sudah di konversikan. Hukum adat yang bertentangan pada huruf (b) tidak di berlakukan lagi hal ini sesuai dengan sumpah pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kepentingan negra harus diatas kepentingan suku bangsa dan kepentingan masyarakat umum.
Selain itu suku-suku bangsa dan masyarakat-masyarakat hukum adat tidak bisa mandiri lagi, tetapi sudah merupakan bagian dari suatu bangsa Indonesia di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka wewenang berdasarkan hak ulayat yang brhubungan dengan hak-hak atas tanah, yang dahulu mutlak ada ditangan kepala suku atau masyarakat hukum adat atau desa sebagai penguasa ertinggi dalam wilayah yaitu untuk :
·            menerima pemberitahuan anggota masyarakat hukum yang ingin membuka tanah.
·            Melindungi hak-hak anggota suku atas tanah dan mendamaikan apabila ada perselisihan mengenai tanah.
·            Menjadi saksi apabila ada perbuatan hukum mengenai tanah yang menurut hukum adat memerlukan saksi, mewakili suku atau masyarakat hukum .[6]


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.   Hak ulayat menurut hukum adat adalah hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) masih terus dapat dilaksanakan, tetapi dengan syarat “harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi. Dalam membicarakan hak atas tanah, kita tinjau lebih dahulu beberapa hak atas tanah yang penting harus kita ketahui, yaitu hak atas tanah menurut hukum adat . sedangkan hak ulayat ialah ha katas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat secara bersama-sama (komunal).
2.   Hak ulayat  diatur dalam  pasal 3 UUPA yang berbunyi : Dengan mengingat ketantuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Kedudukan Tanah Ulayat Berdasarkan UUPA Nomor  5 Tahun 1960 Undang-undang terakhir saat ini yang mengatur pertahanan adalah Undang-Undang Pokok Agraria yang dikenal dengan UU Nomor 5 Tahun 1960. Hal-hal yang mengatur mengenai tanah ulayat adalah pasal 3, pasal 2 dari UUPA tersebut, seperti telah diuraikan dimuka.
3.   Seperti yang telah dijelaskan dalam konsepsi UUPA, menurut konsepsi UUPA maka tanah, sebagaimana halnya juga dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang ada di wilayah Republik Indonesia, adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa pada Bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi. Adanya ketentuan yang demikian ini menimbulkan dua akibat terhadap hukum adat tentang tanah yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Hatta, Mohammad. Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara Kesatuan, Yogyakarta: Media Abadi. 2005
Mustofa, Suratman. Penggunaan Hak Atas Tanah untuk Industri, Jakarta: Sinar Grafika. 2013
Sudiyat, Iman. Hukum Adat, Yogyakarta: Liberty Yogyakart. 1981
Supriadi. Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika.2015















[1] Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara Kesatuan, Yogyakarta: Media Abadi, 2005, hlm., 32-33.
[2] Mustofa, Suratman, Penggunaan Hak Atas Tanah untuk Industri, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm., 54-56.
[3] Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hlm., 61-62.
[4] Iman sudiyat, Hukum Adat, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1981, hlm., 5 -7.
[5] https://draganhard1971.wordpress.com/2013/10/28/kedudukan-hak-ulayat-dalam-uupa. Di akses pada tanggal 28 September Pukul 15.15 wib.
[6] Mohammad Hatta, Loc.Cit., hlm.,36-37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

New Post

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Dose...