KEDUDUKAN HAK ULAYAT DALAM UNDANG-UNDANG POKOK
AGRARIA
MAKALAH
Disusun guna
memenuhi tugas
Mata kuliah : Hukum Adat
Dosen Pengampu: Hasanain
Haikal,SH,MH.

Disusun oleh:
1.
Akhidatus Sholihah (1520110001)
2.
Fitriyani (1520110002)
3.
Ike Meliyanti Saputri (1520110003)
4.
Lina Kurniawati (1520110004)
![]() |
|||
![]() |
PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KUDUS
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Msalah
Pada tanggal
24 September 1960, Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Hukum Agraria di undangkan. Dengan
diundangkannya UUPA, maka politik hukum agraria yang berlaku selama masa
penjajahan dinyatakan tidak berlaku lagi dan digantikan dengan politik hukum
agraria nasional. Adapun politik hukum agraria nasional itu sendiri adalah
kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan soal-soal agrarian sebagaimana
terdapat di dalam UUPA. Salah satu dari politik agraria nasional, sebagaimana
diatur dalam dalam Pasal 3 dan Pasal 18 UUPA, yang pada intinya mengutamakan
kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa daripada
kepentingan perseorangan dan/atau golongan.
Di dalam Hukum Adat, tanah ini merupakan
masalah yang sangat penting. Bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani
dan melanjutkan kehidupannya. Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum
adat yang telah dikuasai sejak dulu. Kita juga bahwa telah memegang peran vital
dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan,
lebih – lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di negara yang rakyatnya
berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah
untuk sebesar – besar kemakmuran rakyat.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan hak ulayat
?
2.
Bagaimana kedudukan hak ulayat
dalam UUPA ?
3.
Bagaimana pembatasan UUPA terhadap
pelaksanaan hak ulayat ?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian hak
ulayat
2.
Untuk mengetahui kedudukan hak
ulayat dalam UUPA
3.
Untuk mengetahui pembatasan UUPA
terhadap pelaksanaan hak ulayat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hak Ulayat
Hak ulayat menurut hukum adat adalah hak-hak
yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan
masih ada, menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) masih terus
dapat dilaksanakan, tetapi dengan syarat “harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang
lebih tinggi.[1]
Berdasarkan
hak menguasai dari negara, maka negara dalam hal ini adalah pemerintah dapat
memberikan hak-hak atas tanah kepada seseorang, beberapa orang secara
bersama-sama atau suatu badan hukum. Pemberian hak itu berarti pemberian
wewenang untuk mempergunakan tanah dalam batas-batas yang diatur oleh peraturan
perundangan. Sebagaimana telah dijelaskan dibagian terdahulu, bahwa “tanah”
adalah “permukaan bumi”, maka ha katas tanah itu adalah hak untuk mempergunakan
tanahnya saaja, sedangkan benda-benda lain didalam tanah umpamanya bahan-bahan
mineral, minyak, dan lain-lain tidak termasuk. Hal yang terakhir ini diatur
khusus dalam beberapa peraturan perundangan lain, yaitu undang-undang tentang
ketentuan pokok pertambangan.
Dalam
membicarakan hak atas tanah, kita tinjau lebih dahulu beberapa hak atas tanah
yang penting harus kita ketahui, yaitu hak atas tanah menurut hukum adat .
sedangkan hak ulayat ialah ha katas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota
masyarakat hukum adat secara bersama-sama (komunal). Dengan hak ulayat ini,
masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara
menyeluruh. Adapun hak warga masyarakat atas tanah yang terwujud dalam hak
ulayat pada dasarnya berupa :
1)
Hak untuk meramu atau mengumpulkan
hasil hutan yang ada diwilayah/wewenang hukum masyarakat mereka yang
bersangkutan.
2)
Hak untuk berburu dalam batas
wilayah/wewenang hukum masyarakat mereka.
Akan tetapi, dalam konsepsi hak ulayat yang
bersifat komunal ini pada hakikatnya terdapat juga hak anggota masyarakat yang
bersangkutan untuk secara perorangan menguasai sebagian dari objek penguasaan
hak ulayat tersebut secara tertentu (dengan menggunakan tanda-tanda tertentu)
agar diketahui para anggota lainnya semasyarakat dalam waktu yang tertentu
pula.
Misalkan
: seorang anggota masyarakat secara pribadi berminat untuk mengambil hasil beberapa rumpun pohon gambir,
yang terletak didalam hutan yang menjadi wilayah/wewenang hukum berlakunya hak
ulayat masyarakat yang bersangkutan, untuk kepentingannya sendiri. Hal seperti
ini boleh dilakukan meskipun hutan itu berikut segala isinya sebenarnya menjadi
hak bersama-sama anggota masyarakat lainnya. Untuk sementara waktu (jadi tidak
untuk selamanya) ia bahkan berhak pula untuk memagari rumpun pohon gambir yang
hendak dikuasainya itu, sehingga dalam jangka waktu tersebut tidak ada orang
lain yang boleh memetik hasil pohon gambir tersebut selain dirinya. Tetapi hal
ini bukan berarti bahwa hak ulayat atas pohon-pohon gambir yang telah dikuasai
oleh seseorang itu menjadi terhapus karenanya, melainkan hak ulayat itu tetap
ada mengalasi hak pribadi/perorangan tertentu yang dipangkunya. Hak ulayat
secara komunal itu baru pulih kuat kembali (atas pohon gambir tersebut) bila
orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaan dan telah pula mencabut
pagar yang menandakan penguasaannya atas rumpun pohon gambir tersebut.[2]
B. Kedudukan Hak Ulayat dalam UUPA
Hak
ulayat diatur dalam pasal 3 UUPA yang berbunyi : Dengan mengingat
ketantuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi.
a.
Sebutan dan isinya
Hak ulayat
adalah nama yang diberikan oleh para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan
hukum konkrit antara masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah dalam
wilayahnya, yang disebut hak ulayat. Dalam perpustakaan hukum adat yang
berbahasa belanda, mengikuti penamaannya oleh van vollenhoven, lembaganya
disebut beschikkingsrecht. Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan
kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan derngan tanah yang
terletak dalam wilayahnya. Hak ulayat mengandung dua unsur, yaitu unsur kepunyaan yang termasuk bidang hukum perdata dan
unsur tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin tugas kewenangan
yang termasuk kewenangan hukum publik. Unsur tugas kewenangan yang termasuk
bidang hukum publik tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala adat
sendiri atau bersama-sama dengan para tertua Adat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan.
b.
Pemegang haknya
Pemegang hak
ulayat adalah masyarakat hukum adat yang territorial, karena para warganya
bertempat tinggal diwilayah yang sama, seperti nagari di Minangkabau. Adapula yang
geneologis, yang para warganya terikat oleh pertalian darah seperti suku dan
kaum.
c.
Tanah yang Dihaki
Objek hak
ulayat adalah semua tanah dalam wilayah masyarakat adat territorial yang
bersangkutan. Tidak selalu mudah untuk mengetahui secara pasti batas-batas
tanah ulayat suatu masy arakat hukum adat. Dalam masyarakat geneologis,
diketahui tanah yang mana termasuk tanah yang dipunyai bersama. Karena hak
ulayat meliputi semua tanah, maka dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang
bersangkutan tidak ada “res nulius”.
d.
Terciptanya hak ulayat
Hak ulayat
sebagai hubungan hukum konkrit, pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang
atau suatu kekuatan ghaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan tanah yang bersangkutan kepada orang-orang
yang merupakan kelompok tertentu. Hak
ulayat sebagai lembaga hukum sudah ada sebelumnya, karena masyarakat
hukum adat yang bersangkutan bukan satu-satunya yang mempunyai hak ulayat. Bagi
sesuatu masyarakat hukumadat tertentu, hak ulayat tercipta karena pemisahan
dari masyarakat hukum adat induknya, menjadi masyarakat hukum adat baru yang
mandiri, dengan sebagian wilayah induknyasebagai tanah ulayatnya.[3]
Kedudukan Tanah Ulayat Berdasarkan
UUPA Nomor 5 Tahun 1960 Undang-undang
terakhir saat ini yang mengatur pertahanan adalah Undang-Undang Pokok Agraria
yang dikenal dengan UU Nomor 5 Tahun 1960. Hal-hal yang mengatur mengenai tanah
ulayat adalah pasal 3, pasal 2 dari UUPA tersebut, seperti telah diuraikan
dimuka.
Menurut pasal-pasal tersebut diakui
eksitensi tanah ulayat dan hak ulayat, namun untuk dapat direalisasikan dan
diakui secara formal haruslah dipenuhi persyaratan tertentu untuk itu, yaitu
“sepanjang masyarakat hukum adat itu masih ada”. Di dalam perkembangannya hak
ulayat itu, walaupun diakui oleh undang-undang, namun eksitensi masyarakat
hukum adat itu semakin kabur, dalam arti kenyataannya masyarakat semakin
menjauhi hukum adat itu, khususnya hal-hal tertentu antara lain mengenai
pertahanan menurut adat istiadat (hukum adat).
Di dalam konsiderans UUPA,
disebutkan bahwa sebelum dikeluarkannya UUPA tersebut. Terdapat sifat dualisme
mengenai pertahanan, disebabkan berlakunya dua jenis hukum mengenai pertahanan
yaitu Hukum Adat dan Hukum Agraria yang didasarkan atas Hukum Barat. Oleh
karena itulah dirasakan perlunya Hukum Agraria yang seragam dan bersifat
nasional dalam hal ini UUPA. Selanjutnya Pasal 3 itu menyebutkan bahwa hak-hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat tetap diakui ,
namun sepanjang masyarakatnya masih ada serta harus sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara. Selain itu Pasal 3 tersebut juga menekankan bahwa hak
ulayat itu harus berdasarkan persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi. Perlu diketahui,
Pasal 4 menyebutkan bahwa hak menguasai ada pada negara, sehingga kedudukan
tanah ulayat itupun haruslah diajukan kepada negara. Oleh karena banyaknya
ketentuan/peraturan yang mengatur pertanahan, sedangkan tanah ulayat tidak
diatur secara khusus, maka permasalahan tanah ulayat terus berlanjut begitu
saja tanpa ada solusi melalui peraturan yang mengakomodasikan kepentingan
masyarakat hukum adat secara jelas.
Tentang pelaksanaan hak ulayat itu
dijelaskan dalam pasal 5 UUPA sebagai berikut : “Hukum Agraria yang berlaku
atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan hukum agama”.
Ini berarti berdasarkan hak ulayat
yang bersumber hukum adat ini, masyarakat hukum yang bersangkutan tidak boleh
menghalangi pemberian hak guna usaha yang hendak dilakukan oleh pemerintah.
Jika misalnya pemerintah hendak
melaksanakan pembukaan hutang secara besar-besaran dan teratur dalam rangka
proyek-proyek besar untuk penambahan bahan makanan dan transmigrasi, maka hak
ulayat dari suatu masyarakat Hukum Adat tidak boleh dijadikan penghalang. Jika
hak ulayat dari masyarakat hukum itu dapat menghambat dan menghalangi sesuatu,
maka kepentingan umum akan dikalahkan oleh kepentingan masyarakat-masyarakat
hukum yang bersangkutan. Ini tidak dapat dibenarkan, dengan kata lain
kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk kepada kepentingan nasional dan
negara.
Didalam memori penjelasan
ditegaskan: “Tidaklah dapat dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa ini
suatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya
secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari hubungan dengan masyarakat hukum
dan daerah-daerah lainnya didalam lingkungan negara sebagai kesatuan.
Jika dipertahankan sikap demikian,
maka ini terang bertentangan dengan asas pokok yang tercantum dalam pasal 2
UUPA yang berbunyi : “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 / 3 UUD dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara,
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat “(ayat 1)
Tetapi penguasaan ini memang harus
“digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti
kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum
Islam yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur “(pasal 2/3 UUPA).
Perbedaan Hak Warga Asli dan Pendatang
Pendatang yang ingin ikut
mempergunakan tanah dalam lingkungan hak pertuanan, harus membayar uang
pemasukan (aceh), mesi (jawa) sebagai bukti bahwa ia disitu sebagai orang asing
ia dianggap sebagai penumpang, sehingga hak yang diperolehnya tidak sama dengan
hak warga asing. Walaupun pendatang yang sudah lama menjadi penduduk wilayah
yang bersangkutan mendapat hak-hak lebih kuat yang menyerupai hak orang asli
diwilayah tersebut, namun bila ia meninggalkan tempat kediamannya, maka
kembalilah sikap persekutuan itu terhadapnya seperti sikapnya semula yaitu
orang tersebut kembali pula menjadi orang asing.
Di jawa orang masih biasa membedkan antara
keturunan penduduk asli dengan orang berasal dari penduduk lain. Orang batak
membedakan anggota marga yang berkuasa dalam suatu wilayah dari anggota marga
penumpang (marga tanah – marga paripe ). [4]
C. Pembatasan UUPA terhadap Hak Ulayat
Seperti yang
telah dijelaskan dalam konsepsi UUPA, menurut konsepsi UUPA maka tanah,
sebagaimana halnya juga dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya yang ada di wilayah Republik Indonesia, adalah
karunia Tuhan Yang Maha Esa pada Bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan
nasional. Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah
suatu hubungan yang bersifat abadi.
Dalam Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa : Hukum
Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dengan peraturan
perundangan-undangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama.
Adanya
ketentuan yang demikian ini menimbulkan dua akibat terhadap hukum adat tentang
tanah yang berlaku dalam masyarakat Indonesia, dimana di satu pihak ketentuan
tersebut memperluas berlakunya hukum adat tidak hanya terhadap golongan Eropa
dan Timur Asing. Hukum Adat di sini tidak hanya berlaku untuk tanah-tanah
Indonesia saja akan tetapi juga berlaku untuk tanah-tanah yang dahulunya
termasuk dalam golongan tanah Barat. Setelah berlakunya ketentuan tersebut di
atas, maka kewenangan berupa penguasaan tanah-tanah oleh persekutuan hukum mendapat
pembatasan sedemikian rupa dari kewenangan pada masa-masa sebelumnya karena
sejak saat itu segala kewenangan mengenai persoalan tanah terpusat pada
kekuasaan negara, kalau demikian bagaimana kewenangan masyarakat hukum adat
atas tanah yang disebut hak ulayat tersebut, apakah juga masih diakui
berlakunya atau mengalami perubahan sebagaimana halnya dengan
ketentuan-ketentuan hukum adat tentang tanah.
Adapun mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dari UUPA, antara lain :
Adapun mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dari UUPA, antara lain :
- Pasal 2 ayat (4), yang berbunyi: Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swantanra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut Peraturan Pemerintah.
- Pasal 3, yang berbunyi: Dengan mengugat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.
- Pasal 22 ayat (1), yang berbunyi: Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan Pemerintah.
Seperti yang telah disebutkan di
atas, bahwa setelah berlakunya UUPA ini, tanah adat di Indonesia mengalami
perubahan. Maksudnya segala yang bersangkutan dengan tanah adat, misalnya hak
ulayat, tentang jual beli tanah dan sebagainya mengalami perubahan. Jika dulu
sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masih milik persekutuan hukum adat setempat
yang sudah dikuasai sejak lama dari nenek moyang mereka dahulu. Namun setelah
berlakunya UUPA, hak ulayat masih diakui, karena hal ini dapat dilihat dari
pasal 3 UUPA, hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat
masih diakui sepanjang dalam kenyataan di masyarakat masih ada.[5]
Hukum adat yang bertentangan dengan
jiwa persatuan bangsa, kepentingan nasional dan negara yang harus tidak berlaku
lagi (adat yang tidak di adatkan) dan diatur kembali oleh pemerintah. Perubahan
dalam hukum adat, seperti telah diuraikan dimuka bukanlah suatu hal luar biasa,
hukum adat itu tumbuh berkembang sesuai dengan perkembangan zaman “Het
Adatrecht groet stil als de padi”, kata van vollenhoven (hukum adat tumbuh
diam-diam seperti tumbuhnya padi).
Hukum Adat yang tidak bertentangan
dengan prinsip persatuan bangsa, kepentingan nasional dan negara semacam itulah
yang tetap berlaku, karena dalam hukum agraria atau pertanahan yang berlaku
adalah hukum adat seperti disebut dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 (UUPA). Perlu ditegaskan bahwa hubungan dengan prinsip persatuan bangsa
dalam negara kesatuan Indonesia, maka hukum adat yang dulu hanya mementingkan
suku dan masyarakat mempunyai hukum sendiri, harus diteliti dan dibedakan
antara:
a)
Hukum adat yang tidak bertentangan
dengan prinsip persatuan.
b)
Hukum adat yang hanya mementingkan
suku dan masyarakat mempunyai hukum sendiri, yang bertentangan dengan
kepentingan nasional dan kesatuan bangsa serta dapat menghamnbat pembangunan
negara.
Hukum adat yang tidak bertentangan terebut
pada hurug (a) tetap berlaku dan merupakan hukum pertanahan nasional yang
berasal dari hukum adat kecuali hak-hak atas tanah menurut hukum adat yang
sudah di konversikan. Hukum adat yang bertentangan pada huruf (b) tidak di
berlakukan lagi hal ini sesuai dengan sumpah pemuda 28 Oktober 1928 dan
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kepentingan negra harus diatas
kepentingan suku bangsa dan kepentingan masyarakat umum.
Selain itu suku-suku bangsa dan
masyarakat-masyarakat hukum adat tidak bisa mandiri lagi, tetapi sudah
merupakan bagian dari suatu bangsa Indonesia di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, maka wewenang berdasarkan hak ulayat yang brhubungan dengan
hak-hak atas tanah, yang dahulu mutlak ada ditangan kepala suku atau masyarakat
hukum adat atau desa sebagai penguasa ertinggi dalam wilayah yaitu untuk :
·
menerima pemberitahuan anggota
masyarakat hukum yang ingin membuka tanah.
·
Melindungi hak-hak anggota suku
atas tanah dan mendamaikan apabila ada perselisihan mengenai tanah.
·
Menjadi saksi apabila ada perbuatan
hukum mengenai tanah yang menurut hukum adat memerlukan saksi, mewakili suku
atau masyarakat hukum .[6]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Hak ulayat menurut hukum adat
adalah hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataan masih ada, menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
(UUPA) masih terus dapat dilaksanakan, tetapi dengan syarat “harus sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan lain yang lebih tinggi. Dalam membicarakan hak atas tanah, kita
tinjau lebih dahulu beberapa hak atas tanah yang penting harus kita ketahui,
yaitu hak atas tanah menurut hukum adat . sedangkan hak ulayat ialah ha katas
tanah yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat secara
bersama-sama (komunal).
2.
Hak ulayat diatur dalam
pasal 3 UUPA yang berbunyi : Dengan mengingat ketantuan-ketentuan dalam
Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara,
yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Kedudukan Tanah
Ulayat Berdasarkan UUPA Nomor 5 Tahun
1960 Undang-undang terakhir saat ini yang mengatur pertahanan adalah
Undang-Undang Pokok Agraria yang dikenal dengan UU Nomor 5 Tahun 1960. Hal-hal
yang mengatur mengenai tanah ulayat adalah pasal 3, pasal 2 dari UUPA tersebut,
seperti telah diuraikan dimuka.
3.
Seperti yang telah dijelaskan dalam
konsepsi UUPA, menurut konsepsi UUPA maka tanah, sebagaimana halnya juga dengan
bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
yang ada di wilayah Republik Indonesia, adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa pada
Bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara Bangsa
Indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi.
Adanya ketentuan yang demikian ini menimbulkan dua akibat terhadap hukum adat
tentang tanah yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Hatta, Mohammad. Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara
Kesatuan, Yogyakarta: Media Abadi. 2005
Mustofa, Suratman. Penggunaan Hak Atas Tanah untuk Industri,
Jakarta: Sinar Grafika. 2013
Sudiyat, Iman. Hukum Adat, Yogyakarta: Liberty Yogyakart.
1981
Supriadi. Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika.2015
https://draganhard1971.wordpress.com/2013/10/28/kedudukan-hak-ulayat-dalam-uupa. Diakses pada
tanggal 28 September Pukul 15.15 WIB
[1]
Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional dalam
Perspektif Negara Kesatuan, Yogyakarta: Media Abadi, 2005, hlm., 32-33.
[2]
Mustofa, Suratman, Penggunaan Hak Atas
Tanah untuk Industri, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm., 54-56.
[3] Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta:
Sinar Grafika, 2015, hlm., 61-62.
[4] Iman sudiyat, Hukum Adat, Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta, 1981, hlm., 5 -7.
[5]
https://draganhard1971.wordpress.com/2013/10/28/kedudukan-hak-ulayat-dalam-uupa. Di akses pada tanggal 28 September Pukul
15.15 wib.
[6]
Mohammad Hatta, Loc.Cit., hlm.,36-37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar