Hukum
Harta Perkawinan dan Kewarisan Adat
Makalah
Disusun guna Memenuhi tugas
Mata
Kuliah : Hukum Adat
Dosen
Pengampu : Hasanain Haikal, S.H., M.H.

Disusun
Oleh :
Ahmad
Zaidul Anam (1520110015)
Deni
Puji Rahayu (152010016)
Budi
Setiawan (1520110017)
Rahma
Pangestuti (1520110018)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
AHWAL
AS-SYAKHSIYYAH
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada saat seseorang memutuskan untuk
membangun rumah tangga, mereka mempunyai tujuan yaitu untuk mendapatkan
keturunan, sehingga keturunannya dapat
melanjutkan tongkat estafet keluarga. Agar tujuan tersebut tercapai, diperlukan
harta kekayaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Harta kekayaan
tersebut dinamakan harta perkawinan. Indonesia memiliki banyak suku dan budaya
begitu pula adat istiadat, dan masing-masing daerah mempunya adat-istiadat
tersendiri untuk mengatur harta perkawinan. Hingga saat ini konsep Matrilineal,
Patrilineal, dan Bilateral masih mempengaruhi konsep harta perkawinan. Dalam harta perkawinan, setiap orang tua
memberikan harta warisan kepada keturunannya.
Dalam
pembagian harta warisan dikenal Hukum Waris Adat, Hukum Waris Adat merupakan
kumpulan norma-norma atau aturan-aturan tentang harta warisan, pewaris, dan
yang menerima warisan. Di dalam hukum waris adat juga dijelaskan mengenai
proses pemindahan dari pewaris kepada yang menerima warisan.
Hukum
harta perkawinan dan hukum kewarisan saling mempengaruhi. Orang tua pada satnya
akan memberikan harta warisan kepada keturunannya. Harta warisan tidak akan ada
tanpa adanya perkawinan, karena seseorang membangun rumah tangga untuk
mendapatkan keturunan agar dapat melanjutkan tongkat estafet keluarga.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian
hukum harta perkawinan ?
2.
Bagaimanakah
bentuk-bentuk harta perkawinan ?
3.
Apa pengertian
hukum waris adat ?
4.
Bagaimanakah corak
dari hukum waris adat ?
5.
Bagaimana sistem
kewarisan hukum adat di Indonesia ?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
hukum harta perkawinan
Di dalam UU No.1 Tahun 1974 Bab VII
tentang harta benda dalam perkawinan pasal 35 yang dikutip dari buku tulisan
Eni Setiati, dinyatakan bahwa (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama. (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah
dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Selanjutnya di dalam pasal 37 dijelaskan bahwa “Bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, yaitu hukum
agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya.[1]
Jadi menurut hukum perkawinan
Nasional di dalam ikatan perkawinan terdapat dua macam harta, yaitu harta yang
dikuasai suami isteri bersama-sama dan harta yang dikuasai suami dan isteri masing-masing.
Berdasarkan hukum adat yang dimaksud
dengan harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami isteri selama
mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai,
maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta
penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri dan
barang-barang hadiah. Hukum perkawinan dipengaruhi oleh susunan masyarakat
adatnya, bentuk perkawinan yang berlaku dan jenis hartanya. [2]
Pada masyarakat
adat yang susunannya patrilinial dan perkawinan yang terjadi dalam bentuk
perkawinan dengan pembayaran jujur dimana isteri kedudukannya tunduk pada hukum
kekerabatan suami maka pada umumnya semua harta perkawinan dikuasai oleh suami
sebagai kepala rumah tangga dan dibantu oleh isteri sebagai ibu rumah tangga,
dengan demikian masyarakat patrilinial tidak ada pemisahan kekuasaan terhadap
harta bersama dan harta bawaan dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu di
dalam masyarakat patrilinial dengan sistem perkwinan jujur, setelah perkawinan
isteri mengikuti tempat kediaman suami dan tidak akan kembali lagi kepada orang
tua dan kerabatnya.
Pada
masyarakat adat yang susunannya matrilineal, dan bentuk perkawinan yang berlaku
adalah perkawinan samanda (tanpa membayar jujur) maka terdapat pemisahaan
kekuasaan terhadap harta perkawinan. Kekuasaan terhadap harta milik bersama
kerabat dipegang oleh Mamak Kepala Waris, isteri dan suami hanya mempunyai hak
“ganggam bauntuk” (hak mengusahakan dan menikmati hasil panen terhadap bidang
tanah ; hak mendiami terhadap rumah gadang). Tetapi terhadap harta pencarian
mereka, suami isteri secara bersama menguasainya., sedangkan terhadap harta
bawaan masing-masing dikuasai oleh masing-masing.
Pada masyarakat
adat yang susunannya parental tentang harta perkawinan, dimana kedudukan suami
isteri sejajar, maka harta bersama dikuasai bersama untuk kepentingan bersama,
harta bawaan dikuasai oleh suami isteri masing-masing. Tetapi dalam hal
perkawinan kedudukan suami isteri tidak sejajar.[3]
Sesungguhnya harta perkawinan merupakan modal kekayaan yang dapat digunakan
pasangan suami isteri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari suami istri
dan anak-anaknya ataupun semua yang tinggal di rumah.[4]
2.
Bentuk-Bentuk
Harta Perkawinan
A.
Harta
Bawaan (Harta yang dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan)
Harta Bawaan dapat
dibedakan antara harta bawaan suami dan harta bawaan istri, yang masing-masing
dapat dibedakan antara harta peninggalan, harta warisan, harta hibah/wasiat dan
harta pemberian hadiah.
a.
Harta Peninggalan
Harta peninggalan adalah harta atau
barang-barang yang dibawa soleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang berasal
dari peninggalan orang tua untuk diteruskan penguasaan dan pengaturan
pemanfaatannya guna kepentingan ahli waris bersama, dikarenakan harta
peninggalan tidak terbagi-bagi kepada setiap ahli waris, para ahli waris hanya
mempunya hak untuk memakai.
Di daerah Lampung beradat pepadun
didalam perkawinan anak tertua lelaki akan selalu diikutsertakan dengan harta
peninggalan orang tua untuk mengurus dan membiayai kehidupan adik-adiknya. [5]
b.
Harta Warisan
Harta Warisan merupakan harta yang
dibawa oleh suami ataupun istri. Harta tersebut merupakan pemberian dari orang
tua suami ataupun istri. Harta Warisan tersebut tetap menjadi milik suami
ataupun istri meskipun suami atau istri yang menjadi pewaris sudah meninggal.
Meskipun pasangan suami istri bercerai, harta tersebut tetap menjadi hak
pewaris. Apabila pewaris meninggal harta tersebut akan berpindah kepada
keluarganya seperti Istri ataupun anak-anaknya.
Sistem
pembagian Harta Warisan di beberapa daerah:
a)
Jawa
Di Jawa, harta warisan diberikan
kepada anak kandungnya. Harta Warisan tidak diberikan kepada anak angkatnya,
masyarakat Jawa beralasan Harta Warisan tidak diberikan kepada anak angkatnya,
agar harta tersebut tidak hilang atau berpindah ke tangan orang lain.
b)
Pasemah
Di daerah Pasemah harta asal warisan
yang diikutsertakan orang tua pada mempelai wanita ke dalam perkawinan tetap
menjadi hak penguasaan dan pemilikan isteri untuk diwariskan pada anak-anaknya.
Jika Isteri meninggal sebelum mempunyai keturunan maka barang bawaan dapat
diwariskan pada suami, tetapi jika bercerai maka barang-barang dibawa kembali
ke tempat asalnya.
c)
Lampung dan Batak
Di daerah Lampung dan Batak yang
melarang terjadinya perceraian dari suatu perkawinan jujur, isteri tidak berhak
membawa kembali barang-barang pemberian orang tua dan kerabatnya yang telah
masuk dalam perkawinan. Apabila kerabat isteri meminta kembali barang-barang
tersebut, maka menghendaki pecahnya hubungan kekerabatan antar besan, dan uang
jujur harus dikembalikan.[6]
c. Harta
Hibah atau Wasiat
Harta Hibah adalah harta
atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang
berasal dari hibah /wasiat anggota kerabat, contohnya hibah/wasiat dari
saudara-saudara ayah yang keturunannya putus. Harta Wasiat dikuasai oleh suami
atau isteri yang menerimanya untuk dimanfaatkan bagi kehidupan keluarga rumah
tangga dan lainnya sesuai dengan amanah. Harta Wasiat kemudian dapat diteruskan
pada ahli waris yang diteruskan pada ahli waris yang ditentukan menurut hukum
adat.
d. Harta
Pemberian/Hadiah
Harta
Pemberian/Hadiah adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau
isteri kedalam perkawinan yang berasal dari pemberian/hadiah para kerabat atau
orang lain karena hubungan baik.[7]
Di Madura terdapat
kebiasaan bahwa pada saat berlangsungnya pernikahan dihadiahkan benda-benda
(barang pembawaan) yang pembagiannya berbeda degan harta yang diperoleh selama
masa perkawinan (“ghuna-ghana”). Mengenai barang pembawaan, bagian suami-isteri
sama, sedangkan mengenai “ghuna-ghana”,bagian mereka dua berbanding satu.
B. Harta Penghasilan
Adakalanya
suami atau isteri sebelum melangsungkan perkawinan telah mengusai dan memiliki
harta kekayaan sendiri, baik berupa barang tetap maupun barang bergerak yang
didapat dari hasil usaha dan fikiran sendiri. Setelah terjadinya perkawinan
harta kekayaan pribadi isteri akan bertambah dengan adanya pemberian-pemberian
barang-barang dari suami sebagai pemberian perkawinan yang pada umumnya berlaku
dikalangan masyarakat beragama Islam. [8]
Harta
Pribadi yang diperoleh sebelum perkawinan, tetap menjadi milik suami ataupun
isteri yang mendapatkannya, seperti halnya dengan utang piutang pribadi sebelum
kawin yang tetap merupakan utang pribadi. Harta yang diperoleh selama
perkawinan masuk ke dalam harta bersama suami isteri meskipun terdapat
keadaan-keadaan yang menyebabkan benda tersebut menjadi milik pribadi suami
atau isteri sendiri.[9]
Di
daerah Kudus bagian timur dalam perkawinan antara suami pedagang dan isteri
pedagang terdapat pemisahan harta penghasilan, penghasilan suami sebelum
perkawinan dan sesudah perkawinan adalah milik suami, begitu pula dengan
penghasilan isteri adalah milik isteri.
C. Harta Pencaharian
Dengan dasar modal kekayaan yang
diperoleh suami isteri dari harta bawaan masing-masing dan harta penghasilan
masing-masing sebelum perkawinan maka setelah perkawinan untuk membentuk dan
membangun keluarga yang bahaga dan kekal suami dan isteri beruasaha mencari rezeki
bersama.
Tanpa mempedulikan suami yang bekerja
aktif dan isteri yang mengurus rumah dan anak-anak. Harta yang suami dan isteri
dapatkan disebut “harta kekayaan bersama suami-isteri” . Apabila salag satu
pihak meninggal dunia, semua harta milik bersama berada dibawah kekuasaan pihak
yang masih hidup. Pihak yang masih hidup berhak untuk menggunakan barang-barang
milik bersama untuk keperluan hidupnya.
3.
Hukum Waris Adat
Harta warisan
istilah harta warisan digunakan untuk harta kekayaan pewaris yang akan
dibagi-bagikan kepada para waris sedangkan harta peninggalan digunakan untuk
harta kekayaan pewaris yang penerimanya tidak terbagi-bagi. Harta warisan atau
harta peninggalan dapat berupa harta benda yang berwujud dan tidak tidak
berwujud. Harta warisan yang berwujud benda misalnya berupa sebidang tanah
bangunan rumah, perhiasan, alat transportasi dll. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal
dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris. Harta
peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta
benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari
harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian
untuk kerabat.
Hukum waris adat ialah aturan-aturan dan keputusan hukum
yang bertalian dengan proses penerusan atau pengoperan dan peralihan atau
perpindahan harta kekayaan materil dan non materil dari generasi ke generasi.
Jadi hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang
sistem dan asas-asas hukum waris tentang harta warisan, pewaris, dan waris serta
cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasa dan pemiliknya dari pewaris
kepada waris. Soerojo Wignjodipoero, menjelaskan bahwa hukum adat waris
meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materil
maupun immateril yang diserahkan seseorang kepada keturunanya jadi hukum waris
adat merupakan aturan hukum yang mengatur tentang cara penerusan dan peralihan
harta kekayaan yang berwujud maupun tidak berwujud dari generasi ke generasai. [10]
4.
Corak Hukum Waris Adat
Secara teoritis hukum waris adat di Indonesia beragam
mengingat banyaknya sistem kekeluargaan di dalam masyarakat. Akan tetapi secara
umum di Indonesia dikenal tiga corak hukum waris adat yaitu :
A.
Patrilineal
Sistem
patrilineal merupakan sistem keturunan yang menarik garis keturunan yang
menarik garis dari ayahnya dimana kedudukan pria lebih diutamakan garis
keturunan patrilineal hanya menghubungkan seseorang pada ayah atas ayahnya atau
keturunan nenek moyang laki-laki di dalam pewarisan.
B.
Matrilinial
Sistem
matrilineal merupakan sistem keturunan yang menarik garis keturunan dari ibunya
dalam corak hukum waris matrilineal semua keluarga adalah keluarga ibu sehingga
anak-anak masuk ke dalam keluarga ibu. Suami atau bapak tidak masuk ke dalam
keluarga istri atau keluarga ibu sehingga dapat disimpulkan corak matrilineal
ini kedudukan wanita lebih utama dari pada kedudukan pria di dalam kewarisan.
C.
Parental
Corak
ini pada dasarnya adalah sistem yang menarik garis keturunan dimana seorang itu
menghubungkan dirinya baik garis seorang ayah maupun garis ibunya, dalam
kekeluargaan. Seamcam ini pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu
dan pihak ayah di dalam pewarisan. [11]
5.
Sistem Pewarisan dalam hukum adat di Indonesia
A. Sistem pewarisan dalam
hukum adat di Indonesia menurut
Soerojo wignjodipoero :
a. Sistem Kewarisan Individual
Sistem
Kewarisan Individual adalah sistem kewarisan dimana para ahli waris mendapatkan
bagian untuk dapat menguasai dan memiliki harta warisan secara perorangan. Sistem
kewarisan individual pada umumnya banyak terdapat pada masyarakat hukum adat
yangbergaris keturunan atau kekeluargaan secara parental, hal tersebut
dikarenakan tiap-tiap keluarga telah hidup berdirisendiri dan bertanggung jawab
pada kelurganya.
Sistem kewarisan individual memiliki ciri, harta peninggalan dapat dibagi-bagi diantara para ahli
waris seperti dalam masyarakat bilateral di Jawa. Dalam penerusan
harta warisan yang bersifat individual, harta warisan dibagi-bagi kepada para
waris, pewarisannya dapat terjadi sebelum pewaris wafat an sesudah wafat
pewaris. Terjadinya penerusan harta warisan dikala pewaris masih hidup di kalangan keluarga-keluarga Jawa disebut
“lintiran. Sistem lintiran ini berlaku dengan cara penunjukkan dalam bentuk
hibah-wasiat tertulis atau tidak tertulis berupa pesan dari orang tua pewaris
kepada para warisnya ketika hidupnya. Penunjukkan itu dilakukan dengan
menunjukkan harta warisan tertentu tehadap waris tertentu.
Di Aceh apabila dilakukan wasiat,
maka harta yang dapat dipesankan bagi waris tertentu tidak boleh melebihi dari
1/3 jumlah seluruh warisan, apabila melebihi 1/3 baian maka di kala diadakan
pembagian arisan setelah pewaris wafat dapat ditarik kembali yang lebih itu.[12]
b. Sistem kewarisan
kolektif
Sistem kewarisan kolektif yaitu
sistem kewarisan dimana para ahli waris dapat mewarisi secara bersama-sama
harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemiliknya kepada masing-masin
ahli waris.
Sistem kewarisan kolektif memiliki
ciri, harta peninggalan itu diwarisi
oleh sekumpulan ahli waris yang sama-sama merupakan semacam bidang hukum dimana
harta tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak boleh di bagi-bagikan
pemiliknya diantara ahli waris dimaksud dan hanya boleh diberikan pemaikainya
kepada mereka itu (hanya mempunyai hak pakai saja) seperti dalam masyarakat
matrilinial di Minangkabau.
Penerusan harta warisan yang bersifat
kolektif terdapat pada masyarakat yang kekerabatannya bersifat patrilineal dan
matrilineal terhadap harta pusaka.
c. Sistem Kewarisan
Mayorat
Sistem
Kewarisan Mayorat adalah sistem dimana para ahli waris dalam
penguasaan harta yang dilimpahkan kepada anak tertua yang
bertugas sebagai pemimpin atau kepala keluarga dan menggantikan kedudukan ayah atau ibu
sebagai kepala keluarga. Dalam sistem ini harta peninggalan secara keseluruhan
tidak dapat dibagi-bagi, tetapi jatuh ke tangan anak yang tertua.
Cirinya
harta peninggalan diwarisi seluruhnya atau sebagian anak saja, seperti halnya
di Bali dimana terdapat hak Mayorat laki-laki yang tertua dan di tanah Semendo
di Sumatra Selatan dimana terdapat hak Mayorat anak perempuan yang tertua.
Penerusan harta warisan yang bersifat
mayorat terdapat pada masyarakat yang kekerabatannya bersifat patrilineal dan
matrilineal terhadap harta pusaka.
Mayorat
dibagi menjadi dua macam :
a.
Mayorat Laki-laki, yaitu laki-laki tertua yang menjadi
ahli waris tunggal dari si waris.
b.
Mayorat Perempuan, yaitu anak perempuan tertua yang
menjadi ahli waris tunggal dari si pewaris.[13]
B. Harta
Warisan
Istilah “Harta Warisan” digunakan
untuk harta kekayaan pewaris yang akan dibagi-bagikan kepada para waris,
sedangkan istilah “Harta Peninggalan” digunakan untuk harta kekayaan pewaris
yang penerusnya tidak terbagi-bagi. Harta warisan ataupun harta peninggalan
dapat benda yang berwujud ataupun tidak berwujud.
Harta warisan yang berwujud benda
contohya sebidang tanah, bangunan rumah, alat perlengkapan pakaian (Adat), bang
perhiasan, harta bersama (pencarian) orang tua suami-isteri. Harta warisan yang
tidak berwujud benda contohnya kedudukan atau jabatan adat, gelar-gelar (adat),
pesan, amanat atau perjanjian.[14]
C.
Pewaris dan Waris
Pewaris adalah orang yang memiliki
harta kekayaan yang (akan) diteruskannya atau (akan) dibagi-bagikan kepada para
waris setelah wafat. Dilihat dari sistem kewarisan, maka ada pewaris kolektif,
pewaris mayorat, dan pewaris individual. Pewaris Kolektif apabila pewaris
meninggalkan harta milik bersama untuk para waris bersama. Pewaris Mayorat
apabila pewaris akan meninggalkan harta bersama untuk diteruskan kepada anak
tertua. Pewaris Individual apabila pewaris akan meninggalkan harta miliknya
yang akandibagi-bagikan kepada para ahli waris atau warisnya.
Waris adalah orang yang mendapat
harta warisan sedangkan ahli waris adalah orang yang berhak mendapat warisan.
Tidak semua waris adalah ahli waris. Misalnya dalam kekerabatan patriineal
semua anak laki-laki adalah ahli waris, sedangkan anak-anak perempuan bukan
ahli waris, tetapi mungkin mendapat warisan sebagai waris. [15]
Ibu sebagai jandabukan ahl waris dari
ayah yang telah wafat, tetapi jika anak-anak masi kecil beum mampu menguasai
harta warisan, maka yang berkuasa atas harta warisan adalah ibu, sampai
anak-anaknya tumbuh dewasa. Jika anak-anak sudah dewasa dan harta warisan akan
dibagikan maka seorang ibu boleh mendapat bagian seperti bagian anak sebagai
waris, atau ia ikut pada anak yang tertua atau yang disenanginya.
Anak kandung yang
sah lebih berhak sebagai ahli waris dari anak kandung yang tidak sah, anak
angkat penerus keturunan adalah ahli waris bapak (orang tua) yang
mengangkatnya, sedangkan anak angkat yang lain hanya sebagai waris. Orang yang
tidak mempunyai ahli waris atau waris sama sekali dan tidak jelas para anggota
kerabatnya jauh dan dekat, maka yang berhak mewarisi harta warisannya adalah
masyarakat adat setempat atau pemerintah.[16]
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
- Pengertian hukum harta perkawinan
Berdasarkan hukum adat yang dimaksud
dengan harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami isteri selama
mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai,
maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta
penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri dan
barang-barang hadiah. Hukum perkawinan dipengaruhi oleh susunan masyarakat
adatnya, bentuk perkawinan yang berlaku dan jenis hartanya.
- Bentuk-Bentuk Harta Perkawinan
A. Harta Bawaan (Harta yang dikuasai suami atau istri
sebelum perkawinan)
Harta Bawaan dapat dibedakan antara
harta bawaan suami dan harta bawaan istri, yang masing-masing dapat dibedakan
antara harta peninggalan, harta warisan, harta hibah/wasiat dan harta pemberian
hadiah. Harta bawaan terdiri dari:
a. Harta
Peninggalan
b. Harta
Warisan
c. Harta
Hibah atau Wasiat
d. Harta
Pemberian/Hadiah
B. Harta Penghasilan
Adakalanya suami atau isteri sebelum
melangsungkan perkawinan telah mengusai dan memiliki harta kekayaan sendiri,
baik berupa barang tetap maupun barang bergerak yang didapat dari hasil usaha
dan fikiran sendiri. Setelah terjadinya perkawinan harta kekayaan pribadi
isteri akan bertambah dengan adanya pemberian-pemberian barang-barang dari
suami sebagai pemberian perkawinan yang pada umumnya berlaku dikalangan
masyarakat beragama Islam.
C.
Harta
Pencaharian
Dengan dasar modal kekayaan yang
diperoleh suami isteri dari harta bawaan masing-masing dan harta penghasilan
masing-masing sebelum perkawinan maka setelah perkawinan untuk membentuk dan
membangun keluarga yang bahaga dan kekal suami dan isteri beruasaha mencari
rezeki bersama.
- Hukum Waris Adat
Harta warisan istilah harta warisan
digunakan untuk harta kekayaan pewaris yang akan dibagi-bagikan kepada para
waris sedangkan harta peninggalan digunakan untuk harta kekayaan pewaris yang
penerimanya tidak terbagi-bagi. Harta warisan atau harta peninggalan dapat
berupa harta benda yang berwujud dan tidak tidak berwujud.
Hukum waris adat ialah aturan-aturan dan keputusan hukum
yang bertalian dengan proses penerusan atau pengoperan dan peralihan atau
perpindahan harta kekayaan materil dan non materil dari generasi ke generasi.
- Corak Hukum Waris Adat
Secara teoritis hukum waris adat di Indonesia beragam
mengingat banyaknya sistem kekeluargaan di dalam masyarakat. Akan tetapi secara
umum di Indonesia dikenal tiga corak hukum waris adat yaitu :
Patrilineal, Matrilieal, dan Parental.
- Sistem Pewarisan dalam hukum adat di Indonesia
A. Sistem Pewarisan di Indonesia
a.
Sistem Kewarisan Individual
Sistem Kewarisan Individual adalah sistem kewarisan
dimana para ahli waris mendapatkan bagian untuk dapat menguasai dan memiliki
harta warisan secara perorangan.
b.
Sistem kewarisan kolektif
Sistem kewarisan kolektif yaitu
sistem kewarisan dimana para ahli waris dapat mewarisi secara bersama-sama
harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemiliknya kepada masing-masin
ahli waris.
c.
Sistem Kewarisan Mayorat
Sistem Kewarisan Mayorat adalah sistem dimana para ahli
waris dalam
penguasaan harta yang dilimpahkan kepada anak tertua yang
bertugas sebagai pemimpin atau kepala keluarga dan menggantikan kedudukan ayah atau ibu
sebagai kepala keluarga.
B.
Harta
Warisan
Istilah “Harta Warisan” digunakan
untuk harta kekayaan pewaris yang akan dibagi-bagikan kepada para waris,
sedangkan istilah “Harta Peninggalan” digunakan untuk harta kekayaan pewaris
yang penerusnya tidak terbagi-bagi. Harta warisan ataupun harta peninggalan
dapat benda yang berwujud ataupun tidak berwujud.
C.
Pewaris
dan Waris
Pewaris adalah orang yang memiliki
harta kekayaan yang (akan) diteruskannya atau (akan) dibagi-bagikan kepada para
waris setelah wafat. Waris adalah orang yang mendapat harta warisan sedangkan
ahli waris adalah orang yang berhak mendapat warisan. Tidak semua waris adalah
ahli waris. Misalnya dalam kekerabatan patriineal semua anak laki-laki adalah
ahli waris, sedangkan anak-anak perempuan bukan ahli waris, tetapi mungkin
mendapat warisan sebagai waris.
DAFTAR PUSTAKA
Damanhuri. Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama. Bandung:
Mandar Maju: 2007.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditya
Bakti. 1990.
Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat. Bandung:
Madar Maju. 1992.
Saragih, Djaren. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali. 1980.
Setiati, Eni. Hitam Putih Poligami. Jakarta: Cinera
Publishing. 2007.
Sudiyat, Iman. Hukum Adat. Yogyakarta: Liberty. 1981.
Sugiarto, Umar Said. Pengantar
Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2015.
[1] Eni Setiati, Hitam Putih
Poligami, Cinera Publishing: Jakarta, 2007, hlm., 114.
[2] Hilman Hadikusuma, Hukum
Perkawinan Adat, Citra Aditya Bakti: Bandung, 1990, hlm., 156.
[3] Hilman Hadikusuma, Pengantar
Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju: Bandung, 1992,
hlm., 198.
[4] Hilman Hadikusuma, Hukum
Perkawinan Adat, Loc.Cit, hlm., 156.
[5] Ibid,
hlm., 159.
[6]
Iman Sudiyat, Hukum Adat, Liberty: Yogyakarta, 1981, hlm., 145.
[7] Damanhuri, Segi-Segi Hukum
Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Mandar Maju: Bandung, 2007, hlm., 121.
[8] Hilman Hadikusuma, Pengantar
Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju: Bandung, 1992,
hlm.,
160.
[11] Djaren Saragih, Hukum Adat
Indonesia, Rajawali: Jakarta, 1980, hlm., 163.
[12] Umar Said Sugiarto, Pengantar
Hukum Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta, 2015, hlm., 126.
[13] Hilman Hadikusuma, Pengantar
Ilmu Hukum Adat, Madar Maju: Bandung, 1992, hlm., 212.
[14] Hilman Hadikusuma, Ibid,
hlm., 213.
[15]
Ibid, hlm., 214.
[16] Loc.Cit, hlm., 214
Tidak ada komentar:
Posting Komentar