Minggu, 19 Maret 2017

Makalah Hukum Harta Perkawinan Dan Kewarisan Adat



Hukum Harta Perkawinan dan Kewarisan Adat
Makalah
Disusun guna Memenuhi tugas
Mata Kuliah    : Hukum Adat
Dosen Pengampu        :  Hasanain Haikal, S.H., M.H.
Disusun Oleh :
Ahmad Zaidul Anam (1520110015)
Deni Puji Rahayu (152010016)
Budi Setiawan (1520110017)
Rahma Pangestuti (1520110018)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
AHWAL AS-SYAKHSIYYAH
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Pada saat seseorang memutuskan untuk membangun rumah tangga, mereka mempunyai tujuan yaitu untuk mendapatkan keturunan,  sehingga keturunannya dapat melanjutkan tongkat estafet keluarga. Agar tujuan tersebut tercapai, diperlukan harta kekayaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Harta kekayaan tersebut dinamakan harta perkawinan. Indonesia memiliki banyak suku dan budaya begitu pula adat istiadat, dan masing-masing daerah mempunya adat-istiadat tersendiri untuk mengatur harta perkawinan. Hingga saat ini konsep Matrilineal, Patrilineal, dan Bilateral masih mempengaruhi konsep harta perkawinan.  Dalam harta perkawinan, setiap orang tua memberikan harta warisan kepada keturunannya.
            Dalam pembagian harta warisan dikenal Hukum Waris Adat, Hukum Waris Adat merupakan kumpulan norma-norma atau aturan-aturan tentang harta warisan, pewaris, dan yang menerima warisan. Di dalam hukum waris adat juga dijelaskan mengenai proses pemindahan dari pewaris kepada yang menerima warisan.
            Hukum harta perkawinan dan hukum kewarisan saling mempengaruhi. Orang tua pada satnya akan memberikan harta warisan kepada keturunannya. Harta warisan tidak akan ada tanpa adanya perkawinan, karena seseorang membangun rumah tangga untuk mendapatkan keturunan agar dapat melanjutkan tongkat estafet keluarga.




B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hukum harta perkawinan ?
2.      Bagaimanakah bentuk-bentuk harta perkawinan ?
3.      Apa pengertian hukum waris adat ?
4.      Bagaimanakah corak dari hukum waris adat ?
5.      Bagaimana sistem kewarisan hukum adat di Indonesia ?
















BAB II
PEMBAHASAN
1.        Pengertian hukum harta perkawinan
Di dalam UU No.1 Tahun 1974 Bab VII tentang harta benda dalam perkawinan pasal 35 yang dikutip dari buku tulisan Eni Setiati, dinyatakan bahwa (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Selanjutnya di dalam pasal 37 dijelaskan bahwa “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya.[1]
Jadi menurut hukum perkawinan Nasional di dalam ikatan perkawinan terdapat dua macam harta, yaitu harta yang dikuasai suami isteri bersama-sama dan harta yang dikuasai suami dan isteri masing-masing.
Berdasarkan hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah. Hukum perkawinan dipengaruhi oleh susunan masyarakat adatnya, bentuk perkawinan yang berlaku dan jenis hartanya. [2]
Pada masyarakat adat yang susunannya patrilinial dan perkawinan yang terjadi dalam bentuk perkawinan dengan pembayaran jujur dimana isteri kedudukannya tunduk pada hukum kekerabatan suami maka pada umumnya semua harta perkawinan dikuasai oleh suami sebagai kepala rumah tangga dan dibantu oleh isteri sebagai ibu rumah tangga, dengan demikian masyarakat patrilinial tidak ada pemisahan kekuasaan terhadap harta bersama dan harta bawaan dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu di dalam masyarakat patrilinial dengan sistem perkwinan jujur, setelah perkawinan isteri mengikuti tempat kediaman suami dan tidak akan kembali lagi kepada orang tua dan kerabatnya.
Pada masyarakat adat yang susunannya matrilineal, dan bentuk perkawinan yang berlaku adalah perkawinan samanda (tanpa membayar jujur) maka terdapat pemisahaan kekuasaan terhadap harta perkawinan. Kekuasaan terhadap harta milik bersama kerabat dipegang oleh Mamak Kepala Waris, isteri dan suami hanya mempunyai hak “ganggam bauntuk” (hak mengusahakan dan menikmati hasil panen terhadap bidang tanah ; hak mendiami terhadap rumah gadang). Tetapi terhadap harta pencarian mereka, suami isteri secara bersama menguasainya., sedangkan terhadap harta bawaan masing-masing dikuasai oleh masing-masing.
Pada masyarakat adat yang susunannya parental tentang harta perkawinan, dimana kedudukan suami isteri sejajar, maka harta bersama dikuasai bersama untuk kepentingan bersama, harta bawaan dikuasai oleh suami isteri masing-masing. Tetapi dalam hal perkawinan kedudukan suami isteri tidak sejajar.[3] Sesungguhnya harta perkawinan merupakan modal kekayaan yang dapat digunakan pasangan suami isteri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari suami istri dan anak-anaknya ataupun semua yang tinggal di rumah.[4]
2.        Bentuk-Bentuk Harta Perkawinan
A.    Harta Bawaan (Harta yang dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan)
Harta Bawaan dapat dibedakan antara harta bawaan suami dan harta bawaan istri, yang masing-masing dapat dibedakan antara harta peninggalan, harta warisan, harta hibah/wasiat dan harta pemberian hadiah.
a.       Harta Peninggalan
Harta peninggalan adalah harta atau barang-barang yang dibawa soleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang berasal dari peninggalan orang tua untuk diteruskan penguasaan dan pengaturan pemanfaatannya guna kepentingan ahli waris bersama, dikarenakan harta peninggalan tidak terbagi-bagi kepada setiap ahli waris, para ahli waris hanya mempunya hak untuk memakai.
Di daerah Lampung beradat pepadun didalam perkawinan anak tertua lelaki akan selalu diikutsertakan dengan harta peninggalan orang tua untuk mengurus dan membiayai kehidupan adik-adiknya. [5]

b.      Harta Warisan
Harta Warisan merupakan harta yang dibawa oleh suami ataupun istri. Harta tersebut merupakan pemberian dari orang tua suami ataupun istri. Harta Warisan tersebut tetap menjadi milik suami ataupun istri meskipun suami atau istri yang menjadi pewaris sudah meninggal. Meskipun pasangan suami istri bercerai, harta tersebut tetap menjadi hak pewaris. Apabila pewaris meninggal harta tersebut akan berpindah kepada keluarganya seperti Istri ataupun anak-anaknya.
Sistem pembagian Harta Warisan di beberapa daerah:
a)             Jawa
Di Jawa, harta warisan diberikan kepada anak kandungnya. Harta Warisan tidak diberikan kepada anak angkatnya, masyarakat Jawa beralasan Harta Warisan tidak diberikan kepada anak angkatnya, agar harta tersebut tidak hilang atau berpindah ke tangan orang lain.
b)             Pasemah
Di daerah Pasemah harta asal warisan yang diikutsertakan orang tua pada mempelai wanita ke dalam perkawinan tetap menjadi hak penguasaan dan pemilikan isteri untuk diwariskan pada anak-anaknya. Jika Isteri meninggal sebelum mempunyai keturunan maka barang bawaan dapat diwariskan pada suami, tetapi jika bercerai maka barang-barang dibawa kembali ke tempat asalnya.
c)             Lampung dan Batak
Di daerah Lampung dan Batak yang melarang terjadinya perceraian dari suatu perkawinan jujur, isteri tidak berhak membawa kembali barang-barang pemberian orang tua dan kerabatnya yang telah masuk dalam perkawinan. Apabila kerabat isteri meminta kembali barang-barang tersebut, maka menghendaki pecahnya hubungan kekerabatan antar besan, dan uang jujur harus dikembalikan.[6]
c.       Harta Hibah atau Wasiat
Harta Hibah adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang berasal dari hibah /wasiat anggota kerabat, contohnya hibah/wasiat dari saudara-saudara ayah yang keturunannya putus. Harta Wasiat dikuasai oleh suami atau isteri yang menerimanya untuk dimanfaatkan bagi kehidupan keluarga rumah tangga dan lainnya sesuai dengan amanah. Harta Wasiat kemudian dapat diteruskan pada ahli waris yang diteruskan pada ahli waris yang ditentukan menurut hukum adat.
d.      Harta Pemberian/Hadiah
Harta Pemberian/Hadiah adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang berasal dari pemberian/hadiah para kerabat atau orang lain karena hubungan baik.[7]
Di Madura terdapat kebiasaan bahwa pada saat berlangsungnya pernikahan dihadiahkan benda-benda (barang pembawaan) yang pembagiannya berbeda degan harta yang diperoleh selama masa perkawinan (“ghuna-ghana”). Mengenai barang pembawaan, bagian suami-isteri sama, sedangkan mengenai “ghuna-ghana”,bagian mereka dua berbanding satu.
B.     Harta Penghasilan
Adakalanya suami atau isteri sebelum melangsungkan perkawinan telah mengusai dan memiliki harta kekayaan sendiri, baik berupa barang tetap maupun barang bergerak yang didapat dari hasil usaha dan fikiran sendiri. Setelah terjadinya perkawinan harta kekayaan pribadi isteri akan bertambah dengan adanya pemberian-pemberian barang-barang dari suami sebagai pemberian perkawinan yang pada umumnya berlaku dikalangan masyarakat beragama Islam. [8]
Harta Pribadi yang diperoleh sebelum perkawinan, tetap menjadi milik suami ataupun isteri yang mendapatkannya, seperti halnya dengan utang piutang pribadi sebelum kawin yang tetap merupakan utang pribadi. Harta yang diperoleh selama perkawinan masuk ke dalam harta bersama suami isteri meskipun terdapat keadaan-keadaan yang menyebabkan benda tersebut menjadi milik pribadi suami atau isteri sendiri.[9]
Di daerah Kudus bagian timur dalam perkawinan antara suami pedagang dan isteri pedagang terdapat pemisahan harta penghasilan, penghasilan suami sebelum perkawinan dan sesudah perkawinan adalah milik suami, begitu pula dengan penghasilan isteri adalah milik isteri.
C.    Harta Pencaharian
Dengan dasar modal kekayaan yang diperoleh suami isteri dari harta bawaan masing-masing dan harta penghasilan masing-masing sebelum perkawinan maka setelah perkawinan untuk membentuk dan membangun keluarga yang bahaga dan kekal suami dan isteri beruasaha mencari rezeki bersama.
Tanpa mempedulikan suami yang bekerja aktif dan isteri yang mengurus rumah dan anak-anak. Harta yang suami dan isteri dapatkan disebut “harta kekayaan bersama suami-isteri” . Apabila salag satu pihak meninggal dunia, semua harta milik bersama berada dibawah kekuasaan pihak yang masih hidup. Pihak yang masih hidup berhak untuk menggunakan barang-barang milik bersama untuk keperluan hidupnya.
3.        Hukum Waris Adat
Harta warisan istilah harta warisan digunakan untuk harta kekayaan pewaris yang akan dibagi-bagikan kepada para waris sedangkan harta peninggalan digunakan untuk harta kekayaan pewaris yang penerimanya tidak terbagi-bagi. Harta warisan atau harta peninggalan dapat berupa harta benda yang berwujud dan tidak tidak berwujud. Harta warisan yang berwujud benda misalnya berupa sebidang tanah bangunan rumah, perhiasan, alat transportasi dll. Ahli waris adalah orang yang  pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah,  pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Hukum waris adat ialah aturan-aturan dan keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan atau pengoperan dan peralihan atau perpindahan harta kekayaan materil dan non materil dari generasi ke generasi. Jadi hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris tentang harta warisan, pewaris, dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasa dan pemiliknya dari pewaris kepada waris. Soerojo Wignjodipoero, menjelaskan bahwa hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materil maupun immateril yang diserahkan seseorang kepada keturunanya jadi hukum waris adat merupakan aturan hukum yang mengatur tentang cara penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud maupun tidak berwujud dari generasi ke generasai. [10]
4.        Corak Hukum Waris Adat
Secara teoritis hukum waris adat di Indonesia beragam mengingat banyaknya sistem kekeluargaan di dalam masyarakat. Akan tetapi secara umum di Indonesia dikenal tiga corak hukum waris adat yaitu :
A.    Patrilineal
Sistem patrilineal merupakan sistem keturunan yang menarik garis keturunan yang menarik garis dari ayahnya dimana kedudukan pria lebih diutamakan garis keturunan patrilineal hanya menghubungkan seseorang pada ayah atas ayahnya atau keturunan nenek moyang laki-laki di dalam pewarisan.
B.     Matrilinial
Sistem matrilineal merupakan sistem keturunan yang menarik garis keturunan dari ibunya dalam corak hukum waris matrilineal semua keluarga adalah keluarga ibu sehingga anak-anak masuk ke dalam keluarga ibu. Suami atau bapak tidak masuk ke dalam keluarga istri atau keluarga ibu sehingga dapat disimpulkan corak matrilineal ini kedudukan wanita lebih utama dari pada kedudukan pria di dalam kewarisan.
C.     Parental
Corak ini pada dasarnya adalah sistem yang menarik garis keturunan dimana seorang itu menghubungkan dirinya baik garis seorang ayah maupun garis ibunya, dalam kekeluargaan. Seamcam ini pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah di dalam pewarisan. [11]
5.    Sistem Pewarisan dalam hukum adat di Indonesia
A. Sistem pewarisan dalam hukum adat di Indonesia menurut Soerojo wignjodipoero :
a. Sistem Kewarisan Individual
Sistem Kewarisan Individual adalah sistem kewarisan dimana para ahli waris mendapatkan bagian untuk dapat menguasai dan memiliki harta warisan secara perorangan. Sistem kewarisan individual pada umumnya banyak terdapat pada masyarakat hukum adat yangbergaris keturunan atau kekeluargaan secara parental, hal tersebut dikarenakan tiap-tiap keluarga telah hidup berdirisendiri dan bertanggung jawab pada kelurganya.
Sistem kewarisan individual memiliki ciri, harta peninggalan dapat dibagi-bagi diantara para ahli waris seperti dalam masyarakat bilateral di Jawa. Dalam penerusan harta warisan yang bersifat individual, harta warisan dibagi-bagi kepada para waris, pewarisannya dapat terjadi sebelum pewaris wafat an sesudah wafat pewaris. Terjadinya penerusan harta warisan dikala pewaris masih hidup di  kalangan keluarga-keluarga Jawa disebut “lintiran. Sistem lintiran ini berlaku dengan cara penunjukkan dalam bentuk hibah-wasiat tertulis atau tidak tertulis berupa pesan dari orang tua pewaris kepada para warisnya ketika hidupnya. Penunjukkan itu dilakukan dengan menunjukkan harta warisan tertentu tehadap waris tertentu.
Di Aceh apabila dilakukan wasiat, maka harta yang dapat dipesankan bagi waris tertentu tidak boleh melebihi dari 1/3 jumlah seluruh warisan, apabila melebihi 1/3 baian maka di kala diadakan pembagian arisan setelah pewaris wafat dapat ditarik kembali yang lebih itu.[12]
b.      Sistem kewarisan kolektif
Sistem kewarisan kolektif yaitu sistem kewarisan dimana para ahli waris dapat mewarisi secara bersama-sama harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemiliknya kepada masing-masin ahli waris.
Sistem kewarisan kolektif memiliki ciri, harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang sama-sama merupakan semacam bidang hukum dimana harta tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak boleh di bagi-bagikan pemiliknya diantara ahli waris dimaksud dan hanya boleh diberikan pemaikainya kepada mereka itu (hanya mempunyai hak pakai saja) seperti dalam masyarakat matrilinial di Minangkabau.
Penerusan harta warisan yang bersifat kolektif terdapat pada masyarakat yang kekerabatannya bersifat patrilineal dan matrilineal terhadap harta pusaka.
c.       Sistem Kewarisan Mayorat
Sistem Kewarisan Mayorat adalah sistem dimana para ahli waris dalam penguasaan harta yang dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin atau kepala keluarga dan menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga. Dalam sistem ini harta peninggalan secara keseluruhan tidak dapat dibagi-bagi, tetapi jatuh ke tangan anak yang tertua.
Cirinya harta peninggalan diwarisi seluruhnya atau sebagian anak saja, seperti halnya di Bali dimana terdapat hak Mayorat laki-laki yang tertua dan di tanah Semendo di Sumatra Selatan dimana terdapat hak Mayorat anak perempuan yang tertua.
Penerusan harta warisan yang bersifat mayorat terdapat pada masyarakat yang kekerabatannya bersifat patrilineal dan matrilineal terhadap harta pusaka.
Mayorat dibagi menjadi dua macam :
a.       Mayorat Laki-laki, yaitu laki-laki tertua yang menjadi ahli waris tunggal dari si waris.
b.      Mayorat Perempuan, yaitu anak perempuan tertua yang menjadi ahli waris tunggal dari si pewaris.[13]

B.   Harta Warisan
Istilah “Harta Warisan” digunakan untuk harta kekayaan pewaris yang akan dibagi-bagikan kepada para waris, sedangkan istilah “Harta Peninggalan” digunakan untuk harta kekayaan pewaris yang penerusnya tidak terbagi-bagi. Harta warisan ataupun harta peninggalan dapat benda yang berwujud ataupun tidak berwujud.
Harta warisan yang berwujud benda contohya sebidang tanah, bangunan rumah, alat perlengkapan pakaian (Adat), bang perhiasan, harta bersama (pencarian) orang tua suami-isteri. Harta warisan yang tidak berwujud benda contohnya kedudukan atau jabatan adat, gelar-gelar (adat), pesan, amanat atau perjanjian.[14]

C.               Pewaris dan Waris
Pewaris adalah orang yang memiliki harta kekayaan yang (akan) diteruskannya atau (akan) dibagi-bagikan kepada para waris setelah wafat. Dilihat dari sistem kewarisan, maka ada pewaris kolektif, pewaris mayorat, dan pewaris individual. Pewaris Kolektif apabila pewaris meninggalkan harta milik bersama untuk para waris bersama. Pewaris Mayorat apabila pewaris akan meninggalkan harta bersama untuk diteruskan kepada anak tertua. Pewaris Individual apabila pewaris akan meninggalkan harta miliknya yang akandibagi-bagikan kepada para ahli waris atau warisnya.
Waris adalah orang yang mendapat harta warisan sedangkan ahli waris adalah orang yang berhak mendapat warisan. Tidak semua waris adalah ahli waris. Misalnya dalam kekerabatan patriineal semua anak laki-laki adalah ahli waris, sedangkan anak-anak perempuan bukan ahli waris, tetapi mungkin mendapat warisan sebagai waris. [15]
Ibu sebagai jandabukan ahl waris dari ayah yang telah wafat, tetapi jika anak-anak masi kecil beum mampu menguasai harta warisan, maka yang berkuasa atas harta warisan adalah ibu, sampai anak-anaknya tumbuh dewasa. Jika anak-anak sudah dewasa dan harta warisan akan dibagikan maka seorang ibu boleh mendapat bagian seperti bagian anak sebagai waris, atau ia ikut pada anak yang tertua atau yang disenanginya.
Anak kandung yang sah lebih berhak sebagai ahli waris dari anak kandung yang tidak sah, anak angkat penerus keturunan adalah ahli waris bapak (orang tua) yang mengangkatnya, sedangkan anak angkat yang lain hanya sebagai waris. Orang yang tidak mempunyai ahli waris atau waris sama sekali dan tidak jelas para anggota kerabatnya jauh dan dekat, maka yang berhak mewarisi harta warisannya adalah masyarakat adat setempat atau pemerintah.[16]












BAB III
PENUTUP
Simpulan
  1. Pengertian hukum harta perkawinan
Berdasarkan hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah. Hukum perkawinan dipengaruhi oleh susunan masyarakat adatnya, bentuk perkawinan yang berlaku dan jenis hartanya.
  1. Bentuk-Bentuk Harta Perkawinan
A.       Harta Bawaan (Harta yang dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan)
Harta Bawaan dapat dibedakan antara harta bawaan suami dan harta bawaan istri, yang masing-masing dapat dibedakan antara harta peninggalan, harta warisan, harta hibah/wasiat dan harta pemberian hadiah. Harta bawaan terdiri dari:
a.    Harta Peninggalan
b.   Harta Warisan
c.    Harta Hibah atau Wasiat
d.   Harta Pemberian/Hadiah

B.       Harta Penghasilan
Adakalanya suami atau isteri sebelum melangsungkan perkawinan telah mengusai dan memiliki harta kekayaan sendiri, baik berupa barang tetap maupun barang bergerak yang didapat dari hasil usaha dan fikiran sendiri. Setelah terjadinya perkawinan harta kekayaan pribadi isteri akan bertambah dengan adanya pemberian-pemberian barang-barang dari suami sebagai pemberian perkawinan yang pada umumnya berlaku dikalangan masyarakat beragama Islam.
C.       Harta Pencaharian
Dengan dasar modal kekayaan yang diperoleh suami isteri dari harta bawaan masing-masing dan harta penghasilan masing-masing sebelum perkawinan maka setelah perkawinan untuk membentuk dan membangun keluarga yang bahaga dan kekal suami dan isteri beruasaha mencari rezeki bersama.

  1. Hukum Waris Adat
Harta warisan istilah harta warisan digunakan untuk harta kekayaan pewaris yang akan dibagi-bagikan kepada para waris sedangkan harta peninggalan digunakan untuk harta kekayaan pewaris yang penerimanya tidak terbagi-bagi. Harta warisan atau harta peninggalan dapat berupa harta benda yang berwujud dan tidak tidak berwujud.
Hukum waris adat ialah aturan-aturan dan keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan atau pengoperan dan peralihan atau perpindahan harta kekayaan materil dan non materil dari generasi ke generasi.
  1. Corak Hukum Waris Adat
Secara teoritis hukum waris adat di Indonesia beragam mengingat banyaknya sistem kekeluargaan di dalam masyarakat. Akan tetapi secara umum di Indonesia dikenal tiga corak hukum waris adat yaitu : Patrilineal, Matrilieal, dan Parental.
  1. Sistem Pewarisan dalam hukum adat di Indonesia
A.       Sistem Pewarisan di Indonesia
a.                                   Sistem Kewarisan Individual
Sistem Kewarisan Individual adalah sistem kewarisan dimana para ahli waris mendapatkan bagian untuk dapat menguasai dan memiliki harta warisan secara perorangan.
b.                                  Sistem kewarisan kolektif
Sistem kewarisan kolektif yaitu sistem kewarisan dimana para ahli waris dapat mewarisi secara bersama-sama harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemiliknya kepada masing-masin ahli waris.
c.                                   Sistem Kewarisan Mayorat
Sistem Kewarisan Mayorat adalah sistem dimana para ahli waris dalam penguasaan harta yang dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin atau kepala keluarga dan menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.
B.                                                                           Harta Warisan
Istilah “Harta Warisan” digunakan untuk harta kekayaan pewaris yang akan dibagi-bagikan kepada para waris, sedangkan istilah “Harta Peninggalan” digunakan untuk harta kekayaan pewaris yang penerusnya tidak terbagi-bagi. Harta warisan ataupun harta peninggalan dapat benda yang berwujud ataupun tidak berwujud.
C.                                                                          Pewaris dan Waris
Pewaris adalah orang yang memiliki harta kekayaan yang (akan) diteruskannya atau (akan) dibagi-bagikan kepada para waris setelah wafat. Waris adalah orang yang mendapat harta warisan sedangkan ahli waris adalah orang yang berhak mendapat warisan. Tidak semua waris adalah ahli waris. Misalnya dalam kekerabatan patriineal semua anak laki-laki adalah ahli waris, sedangkan anak-anak perempuan bukan ahli waris, tetapi mungkin mendapat warisan sebagai waris.

DAFTAR PUSTAKA

Damanhuri. Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama. Bandung: Mandar Maju: 2007.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1990.
Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat. Bandung: Madar Maju. 1992.
Saragih, Djaren. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali. 1980.
Setiati, Eni. Hitam Putih Poligami. Jakarta: Cinera Publishing. 2007.
Sudiyat, Iman. Hukum Adat. Yogyakarta: Liberty. 1981.
Sugiarto, Umar Said. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2015.





[1] Eni Setiati, Hitam Putih Poligami, Cinera Publishing: Jakarta, 2007, hlm., 114.
[2] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Citra Aditya Bakti: Bandung, 1990, hlm., 156.
[3] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju: Bandung, 1992,
hlm., 198.
[4] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Loc.Cit, hlm., 156.
[5] Ibid, hlm., 159.
[6]  Iman Sudiyat, Hukum Adat, Liberty:  Yogyakarta, 1981, hlm., 145.
[7] Damanhuri, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Mandar Maju: Bandung, 2007, hlm., 121.
[8] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju: Bandung, 1992,
hlm., 160.
[9] Iman sudiyat, Op.Cit, hlm., 145.
[10] Iman sudiyat, Ibid, hlm., 151.
[11] Djaren Saragih, Hukum Adat Indonesia, Rajawali: Jakarta, 1980, hlm., 163.
[12] Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta, 2015, hlm., 126.
[13] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat, Madar Maju: Bandung, 1992, hlm., 212.
[14] Hilman Hadikusuma, Ibid, hlm., 213.
[15]  Ibid, hlm., 214.
[16] Loc.Cit, hlm., 214

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

New Post

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Dose...