PERADILAN AGAMA DI INDONESIA DARI MASA KE MASA
Oleh: Lina
Kushidayati[1]
Abstract
Religious Court has existed in Indonesia since
the first era of Islam. During the era of Islamic Kingdom, the court was held
and led by the King and the ulama. The role of the King and ulama in religious
court then was reduced by the Colonial government during the occupation of
Indonesia by Dutch and Japan. Both the Ducth and the Nippon gradually also
reduced the competency of Islamic religious court. Previously, during the
Islamic Kingdom, religious court covered both private and public matters while
after colonialism, religious court merely dealt with private matters. After the
Independence, religious court experienced changes in its competency but still
in the frame of private law.
Keywords: religious court, Indonesia, history
Pendahuluan
Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam
datang dan bermukim di nusantara ini. Menurut pendapat yang disimpulkan oleh
Seminar Masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di
Medan 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama
hijriah atau pada abad VII / VIII M. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam baru
sampai ke nusantara pada abad XIII M. Daerah pertama yang didatangi adalah
pesisir utara pulau Sumatra dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di
Samudera Pasai, Aceh Utara (Ali, 1993:209).
Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilaksanakan oleh
para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, peranan hukum Islam adalah
besar. Ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa kalau seorang saudagar muslim
hendak menikah dengan seorang wanita pribumi, misalnya, wanita itu diislamkan
lebih dahulu dan pernikahannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan hukum
Islam. Keluarga yang tumbuh dari perkawinan ini mengatur hubungan antar
anggota-anggotanya dengan kaidah-kaidah hukum Islam / kaidah-kaidah lama yang
disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Kalau salah seorang anggota keluarga itu
meninggal dunia, harta peninggalannya dibagi menurut hukum kewarisan Islam (M.Daud, 1993:210).
Adanya interaksi dan asimilasi antara para saudagar (sebagai
pembawa ajaran Islam) dengan penduduk menjadi titik awal pemasyarakatan hukum
Islam. Kontak perdagangan dan perkawinan antara pedagang muslim dengan penduduk
di beberapa daerah nusantara menjadi salah satu media peresapan hukum Islam (Abdul, 2000: 35). Posisi sentral saudagar dalam penyebaran Islam kemudian secara
formal beralih kepada peran ulama. Misalnya Nuruddin ar Raniri yang menulis
buku hukum Islam dengan judul Sirathal Mustaqim pada tahun 1962. Menurut Hamka
sebagaimana dikutip Abdul Halim, kitab yang ditulis oleh Nuruddin ar Raniri
adalah kitab hukum Islam yang pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia.
Kitab tersebut oleh Muhammad Arsyad al Banjari kemudian diperluas dan diperpanjang
uraiannya dengan judul Sabilal Muhtadin. Buku tersebut kemudian dijadikan
pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerah kesultanan
Banjar. Disamping itu di kesultanan Palembang dan Banten, terbit pula beberapa
kitab hukum Islam yang ditulis oleh Syeikh Abdul Samad dan Syeikh Nawawi al
Bantani. Kitab tersebut juga dijadikan pegangan umat Islam dalam menyelesaikan
masalah. Di beberapa kerajaan seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampil,
dan Mataram, pemeluk agama Islam menggunakan kitab karangan pujangga pada masa
itu, diantaranya kitab Sajinatul Hukum (Abdul, 2000:35).
Dari data diatas jelas bahwa sebelum pemerintah Hindia Belanda
mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri
sendiri sudah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat berdampingan dengan
kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat.
Sebelum Agama Islam masuk ke Indonesia, di jaman kerajaan Hindu
sudah terdapat lembaga peradilan. Lembaga peradilan itu terbagi menjadi dua
yaitu peradilan Perdata dan Padu. Yang termasuk perkara perdata pada umumnya
perkara-perkara yang dapat membahayakan mahkota, keamanan dan ketertiban
negara, seperti membuat kerusuhan, pencurian, pembunuhan, perampokan dan lain sebagainya.
Perkara ini diadili di peradilan perdata yang dilakukan sendiri oleh Raja.
Sementara itu perkara-perkara yang mengenai perseorangan diadili oleh pejabat
negara yang disebut jaksa. Peradilan ini dilaksanakan di pengadilan Padu (Mr. Tresna, 1957:16).
Menjelang abad XIII M masyarakat muslim sudah ada di Perlak,
Samudera Pasai dan Palembang. Dari masyarakat muslim ini lahir
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Perkembangan kerajaan Islam di Indonesia
sangat berpengaruh bagi perkembangan hukum Islam. Pada awal periode masuknya
Islam, bentuk peradilan yang dilaksanakan masih sangat sederhana. Yaitu dalam
bentuk tahkim kepada pemuka agama. Para pihak yang terlibat dalam suatu
perkara perselisihan dengan sukarela menyerahkan perkara mereka kepada orang
yang dianggap bisa menjadi penengah dan orang yang berperkara akan tunduk
dengan keputusannya. Tradisi ini merupakan cikal bakal peradilan agama di
Indonesia (Abdul,
2000:35-36).
Peradilan atau qadla hukumnya fardlu kifayah dan
dapat dilaksanakan dalam keadaan apapun juga. Dalam keadaan tidak ada qadli
atau penguasa yang bisa melaksanakan, peradilan dapat dilaksanakan dengan cara tahkim
pada seorang muhakkam yakni menyerahkan hukum kepada seseorang yang
dianggap menguasai hukum, seperti tahkim seorang wanita kepada seseorang untuk
bertindak sebagai wali ataupun penyerahan dua belah pihak yang berselisih
kepada pihak ketiga untuk memutuskan perkaranya.
Dalam suatu kelompok masyarakat yang sudah teratur, jabatan hakim
atau qadli dapat dilakukan secara pemilihan dan bai’at oleh ahlul
halli wal ‘aqdi yakni pengangkatan atas seseorang yang dipercaya oleh
majelis atau kumpulan orang-orang terkemuka dalam masyarakat. Sedang dalam
suatu negara yang berpemerintahan, susunan jabatan tersebut dapat dilaksanakan
dengan pemberian tauliyah yakni pemberian kekuasaan dari penguasa (A. Zaini dan Adnan, 1983: 29-30).
A.
Peradilan Agama Masa Kerajaan Islam
Meskipun Perlak merupakan kota Islam pertama, akan tetapi Sultan
Malikus Shaleh dari Samudera Pasai merupakan raja Islam pertama yang memberikan
bentuk tauliyah kepada hakim atau qadli dalam pelaksanaan hukum
Islam (Abdul, 2000:36). Seiring perkembangan Islam maka hakim yang melaksanakan
peradilan diangkat oleh Sultan atau Imam atau Raja. Berikut akan diuraikan
peradilan agama pada masa kerajaan Islam di Indonesia.
1.
Kerajaan Mataram
Mataram merupakan satu dari beberapa kerajaan Islam di Jawa selain
Demak, Pajang, Banten dan Cirebon. Raja pertamanya adalah Sutowijoyo
yang telah berhasil meruntuhkan Pajang, dan bergelar Panembahan Senopati
Sayidin Panotogomo (Tim
Penyusun, 1984:141).
Perkembangan peradilan agama pada masa kerajaan Mataram dicapai
pada masa Sultan Agung. Pada awalnya Sultan Agung masih mempertahankan sistem
peradilan yang dilaksanakaan pada masa kerajaan Hindu. Sultan Agung mengambil
kebijakan dengan mengisi lembaga yang telah ada dan berkembang di masyarakat
dengan prinsip-prinsip keislaman (Abdul, 2000:39-40).
Setelah kondisi masyarakat dirasa siap maka Peradilan Pradata
dirubah menjadi pengadilan Surambi yang dipimpin oleh ulama. Wewenang Pengadilan
Surambi masih tetap seperti Pengadilan Pradata. Hanya saja ketua pengadilan
pelaksanaanya di tangan penghulu dan didampingi beberapa ulama dari lingkungan
pesantren sebagai anggota majelas, meskipun pada prinsipnya masih di tangan
Sultan. Keputusan Pengadilan Surambi berfungsi sebagai nasehat bagi Sultan
dalam mengambil keputusan. Setelah Sultan Agung wafat, dan digantikan Amangkurat I, tahun
1645, Pengadilan Pradata dihidupkan kembali, untuk mengurangi pengaruh ulama
dalam pengadilan, dengan raja sebagai pimpinannya. Akan tetapi kebijakan ini
tidak menjadikan Pengadilan Surambi tersingkir, bahkan pengadilan ini masih
bertahan meski kekuasaannya dibatasi (Abdul, 2000: 39-41).
2.
Kerajaan Aceh
Di Aceh, sistem peradilan yang berdasarkan hukum Islam menyatu dengan peradilan
negeri. Peradilan itu mempunyai tingkatan-tingkatan, tingkat pertama
dilaksanakan di tingkat Kampung yang di pimpin oleh Keucik. Peradilan ini hanya
menangani perkara-perkara ringan, sedangkan perkara-perkara berat diselesaikan
oleh Balai Hukum mukim. Peradilan tingkat kedua yang merupakan peradilan
banding adalah Oeloebalang. Jika keputusan Oeloebalang tidak memuaskan dapat dimintakan banding di peradilan ketiga yaitu
Panglima Sagi. Keputusan Panglima Sagi bisa dimintakan banding kepada Sultan
sebagai pengadilan tertinggi. Pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung yang
terdiri dari Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara
dan Fakih (Ulama) (Abdul, 2000:42).
Dari sistem peradilan tersebut terlihat bahwa pada zaman kerajaan
Aceh sudah terbentuk sebuah sistem peradilan yang memiliki dua kompetensi yaitu
absolut dan relatif. Kompetensi absolut berupa masalah yang berdasarkan hukum
Islam, sedang kompetensi relatif meliputi Kampung di tingkat pertama,
Oeloebalang yang membawahi beberapa Kampung, di tingkat kedua, Panglima Sagi di
tingkat ketiga dan terakhir Mahkamah Agung yang membawahi seluruh wilayah yang
tunduk dibawah pemerintahan (Abdul, 2000:42-43).
3.
Kesultanan Priangan
Menurut laporan Joan Frederik yang menjadi Residen di Cirebon tahun
1714-1717, Pengadilan Priangan diatur menurut pengadilan Mataram. Di tiap-tiap
kabupaten terdapat seorang jaksa yang menjalankan peradilan terhadap perkara
Padu, sedangkan perkara Pradata dikirim ke Mataram. Pada
masa itu terdapat 3 bentuk peradilan yang berjalan, yaitu: peradilan
agama, peradilan drigama dan peradilan cilaga. Masing-masing peradilan itu
memiliki wewenang yang berbeda-beda (Mr. Tresna, 1957:21-35).
Peradilan Agama mempunyai wewenang terhadap perkara-perkara yang
dapat dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati. Pada awalnya perkara ini
merupakan perkara yang harus dikirim ke Mataram. Tetapi karena kekuasaan
Mataram sudah merosot maka perkara-perkara tersebut tidak lagi dikirim ke
Mataram. Perkara-perkara perkawinan dan waris juga termasuk wewenang peradilan
agama. Peradilan drigama mengadili perkara selain perkara yang dapat
dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati serta perkawinan dan waris, yang
merupakan kewenangan peradilan Agama. Peradilan drigama bekerja dengan pedoman
hukum Jawa kuno dan diselesaikan menurut hukum adat setempat. Sementara
peradilan cilaga adalah peradilan khusus masalah niaga. Peradilan cilaga
terkenal juga dengan istilah peradilan wasit. Istilah agama dan drigama terdapat
dalam Papakem Cirebon yang digunakan untuk mengadakan pemisahan menurut sifat
diantara perkara-perkara yang harus diadili (Abdul, 2000:42-43).
4.
Kesultanan Banten
Peradilan Banten disusun menurut pengertian hukum Islam. Pada masa
Sultan Hasanuddin tidak ada bekas untuk pengadilan yang berdasarkan pada hukum
Hindu. Pada abad XVII M, di Banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh
Kadhi. Satu-satunya peraturan yang masih mengingatkan pada pengaruh Hindu
adalah, hukuman mati yang dijatuhkan oleh Kadhi memerlukan pengesahan dari raja (Mr. Tresna, 1957:35).
5.
Kerajaan Sulawesi
Kerajaan Tallo di Sulawesi Selatan merupakan merupakan kerajaan di
Sulawesi yang pertama kali menerima ajaran Islam. Kemudian disusul kerajaan
Gowa yang akhirnya menjadi kerajaan terkuat. Setelah menjadi kerajaan Islam,
raja Gowa menempatkan Parewa Syara’ (Pejabat Syari’at) yang berkedudukan sama
dengan Parewa Adek (Pejabat Adek) yang
sudah ada sebelum datangnya Islam. Parewa Syara’ dipimpin oleh Kali (Kadli),
yaitu pejabat tinggi dalam Syari’at Islam yang berkedudukan di pusat kerajaan.
Di masing-masing Paleli diangkat pejabat bawahan yang disebut Imam serta
dibantu oleh seorang Khatib dan seorang Bilal. Para Kadi dan pejabat urusan ini
diberikan gaji yang diambilkan dari zakat fitrah, zakat harta, sedekah idul
Fitri dan idul Adha, kenduri kerajaan, penyelenggaraan mayat dan
penyelenggaraan pernikahan. Hal ini terjadi pada saat pemerintah raja Gowa XV
(1637-1653) ketika Malikus Said berkuasa. Sebelumnya raja Gowa sendiri yang
menjadi
hakim agama Islam (Abdul,
2000:45).
6.
Kerajaan lain di Kalimantan dan Sumatra
Di wilayah Kalimantan Selatan dan Timur serta tempat-tempat lain,
para hakim diangkat oleh penguasa setempat. Di Sumatera
Utara tidak ada kedudukan tersendiri bagi penyelenggara peradilan Islam. Para
pejabat Agama langsung melaksanakan tugas-tugas peradilan, sebagaimana
ditemukan di Palembang. Pengadilan Agama yang dipimpin
Pangeran penghulu merupakan bagian dari struktur pemerintahan, disamping
Pengadilan Syahbandar dan Pengadilan Patih. Di Pengadilan Syahbandar perkara
diputus dengan berpedoman kepada hukum Islam dan ajaran Al-Qur’an, sedangkan di
Pengadilan Patih perkara diputus dengan berpedoman hukum Adat (Abdul, 2000:45).
B.
Peradilan Agama Masa Kolonial Belanda Sampai Pra Kemerdekaan
1.
Periode Sebelum 1882
Tahun 1602 Belanda mendirikan perserikatan dagang untuk Timur Jauh
yang dinamakan “ De Vereeneging de Oost-Indische Compagnie” (VOC). Dalam akad pendirian yang ditetapkan Staten Generaal
(Badan Pemerintahan Tertinggi), VOC diberi hak dan kekuasaan untuk memperkuat
dan menyelamatkan perniagaan. Selain itu VOC juga diberi hak untuk mempunyai
atau memiliki tanah untuk bertempat tinggal, mendirikan benteng-benteng
pertahanan, mengadakan perjanjian-perjanjian dengan raja-raja yang berkuasa,
mempunyai angkatan perang dan armada, serta mengangkat hakim-hakim untuk
menjaga keamanan, ketertiban dan keadilan dalam wilayah kekuasaannya (Mr.
Tresna, 1957:26).
Sebagai badan perniagaan, VOC tidak terlalu memperdulikan kehidupan orang
Indonesia. VOC hanya mengutamakan perdagangan untuk memperoleh keuntungan yang
sebanyak-banyaknya. VOC tidak mau memperhatikan sistem hukum yang hidup dalam
masyarakat Indonesia dan hanya campur tangan terhadap rakyat Indonesia jika itu
menyangkut kepentingannya dan kepentingan pegawainya. Pada
awalnya hukum yang diterapkan di daerah kekuasaan VOC adalah hukum Belanda,
baik hukum tata negara, hukum perdata maupun hukum pidana. Tidak ada perbedaan
antara orang Indonesia dan Belanda, semuanya termasuk ke dalam badan-badan
peradilan Belanda, yaitu Raad van Justitie dan Schepenbank.
Dengan demikian maka pengadilan asli yang dilakukan oleh kepala-kepala rakyat
menjadi tidak ada (Otje,
1993:9).
Raad van Justitie merupakan
badan pengadilan yang mengadili pegawai-pegawai VOC dan serdadu-serdadunya.
Pada mulanya lembaga ini disebut “Ordinaris Luyden van de Gerechte in the
Casteel”, kemudian berubah nama menjadi “Ordinaris Raad van Justitie
binnen het Casteel Batavia” dan disingkat Raad van Justitie. Raan
van Justitie memiliki dua fungsi, yaitu : pertama
sebagai badan pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk pegawai dan serdadu
VOC, kedua sebagai pengadilan apel pagi penduduk kota yang minta
bandingan keputusan-keputusan dari Schepenbank. Sementara Schepenbank merupakan badan pengadilan bagi
semua penduduk yang merdeka (bukan budak) dari semua bangsa kecuali pegawai dan
serdadu VOC. Schepenbank yang berwenang mengadiri perkara sipil dan
kriminal (Mr. Tresna,
1957:27).
Dalam kenyataanya peradilan VOC hanya efektif di daerah-daerah yang
menjadi pusat pemerintahan, sementara untuk daerah lainnya sukar untuk
dilaksanakan. Akhirnya VOC membiarkan hukum-hukum setempat berjalan sebagaimana
sebelumnya. Bahkan dalam Statuten van Batavia (statuta batavia) 1642 yang
merupakan kodifikasi peraturan perdata dan pidana dinyatakan :
Bagaimanapun
juga bahwa yang akan diperhatikan dan diturutkan yaitu berlakunya hukum Barat- dalam
hal perkara pewarisan orang Kristen, orang Tionghoa dan orang yang beragama
kuno serta orang Islam (jadi kebanyakan orang Indonesia) tinggal tetap pada
mereka kebiasaan serta adat tentang hak itu, yang terpakai pada mereka (Otje,
1993:10).
Untuk menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama
dan bersifat kecil, maka diadakan “Gecommitteerde tot en Over de Zaken van
den Inlander”. Melalui resolusi 7 November 1754 GG Mossel memberikan perintah
terhadap opsir-opsir dan kepala-kepala adat supaya mereka
menuliskan hukum sipil serta adat yang berlaku untuk mereka dan menyerahkannya
pada Gecommitteerde Freijer kemudian menyusun buku hukum yang terkenal
dengan sebutan Compendium Freijer, yang berisi hukum perkawinan dan
waris Islam, dan disahkan tahun 1760 (Otje, 1993:10).
Compendium Freijer diberlakukan
di pengadilan-pengadilan untuk menyelesaikan sengketa dikalangan umat Islam.
Selain Compendium Freijer terbit pula Kitab Muharrar untuk pengadilan
negeri Semarang yang memuat hukum-hukum Jawa yang mencerminkan
hukum Islam (Ahmad,
1999:8). Terbit pula kitab Papakem Cirebon yang
berisi kumpulan hukum-hukum Jawa yang tua seperti Kitab Hukum
Raja Niscaya, Undang-undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa, dan
Adidullah. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri, kedalam Papakem Cirebon telah
nampak hukum Islam (Mr.
Tresna, 1957:32).
Papakem Cirebon juga berisi mengenai pengadilan 7 jaksa yang diberi
nama Pengadilan Karta dan Pengadilan Penghulu. Pengadilan Penghulu memiliki
kompetensi sebagai berikut : (Mr. Tresna, 1957:34-35)
a)
Kejahatan yang disebut dalam kitab hukum Raja Niscaya, yang
merupakan kejahatan yang diancam dengan hukuman mati seperti membakar dan
meracun orang. Hukum acara dilaksanakan menurut peraturan-peraturan Jawa kuno,
tetapi sumpah dilakukan secara Islami.
b)
Perbuatan terlarang yang dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi
hukuman siksaan badan.
c)
Perkara-perkara yang dilakukan orang-orang dari golongan tertentu:
1)
Yang dalam keadaan apapun harus selalu diadili oleh Pengadilan
Penghulu, yaitu yang memiliki derajat Sayid, Sarif, alim ulama dan
pemuka-pemuka Islam.
2)
Yang hanya menggunakan forum
privilegiatum (hak istimewa) jika mereka melaksanakan perbuatan salah tidak
bersama-sama dengan orang yang segolongan.
Dengan
menekankan pada susunannya maka Pengadilan Penghulu dapat disebut sebagai
Pengadilan Agama.
Sejak tahun 1800, para ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda
mengakui bahwa dikalangan masyarakat Indonesia, Islam merupakan agama yang
sangat dijunjung tinggi pemeluknya. Penyelesaian masalah kemasyarakatan
senantiasa merujuk pada ajaran agama Islam. Belanda berkeyakinan bahwa
ditengah-tengah komunitas itu berlaku hukum Islam, termasuk dalam mengurus
peradilan pun diberlakukan undang-undang agama Islam (Abdul, 2000:48).
Setelah masa VOC berakhir dan Pemerintah Kolonial Belanda
benar-benar menguasai nusantara, hukum Islam mengalami
pergeseran. Secara berangsur-angsur kedudukan hukum Islam diperlemah. Pada masa
Deandels (1808-1811) hingga Thomas Raffles (1811-1816), masih mengukuhkan hukum
Islam sebagai hukum rakyat di Jawa. Tetapi berdasarkan konvensi London
tahun 1814, Inggris menyerahkan kembali kekuasaan pemerintah kepada Belanda.
Kemudian oleh Kolonial Belanda dikeluarkan peraturan perundang-undangan tentang
kebijaksanaan pemerintahan, susunan pengadilan, pertanian dan perdagangan di
wilayah jajahannya di Asia. Akibat dari perubahan ini hukum Islam digeser oleh
hukum Belanda (Ahmad,
1999:8).
Tahun 1882 dengan Staatsblad No. 22 pasal 13 menyebutkan kompetensi
peradilan agama yaitu tentang perselisihan mengenai pembagian harta waris di
kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada alim ulama Islam. Dari pasal ini
ditarik kesimpulan bahwa soal waris sudah menjadi lembaga yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat, tidak hanya pada orang Islam (M.Idris, 1985:110-111).
Perubahan tata hukum dilakukan seiring gerakan Kristenisasi yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Dibentuklah komisi yang diketuai Mr. Scholten van
Oud Haarlem yang bertugas untuk menyesuaikan
hukum Belanda dengan situasi Hindia Belanda. Akan tetapi Komosi Scholten
melihat rakyat yang beragama Islam sangat kuat kesadaran hukumnya (M.Idris, 1985:9). Karena Scholten menulis nota kepada pemerintah Belanda yang
berisi : Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan – mungkin
juga perlawanan - jika diadakan pelanggaran terhadap orang bumi putera dan
agama Islam maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu tinggal
tetap dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat mereka (Abdul,
2000:50).
Pendapat Scholten ini rupanya menjadi penyebab lahirnya pasal 75
R.R. (Regeering Reglement) yang menginstruksikan kepada pengadilan untuk
menggunakan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan sejauh
tidak bertentangan dengan asas kepatuhan dan keadilan yang diakui umum.
Akhirnya tahun 1882 dibentuklah Pengadilan Agama di tempat terdapatnya
Pengadilan Negeri (Landraad). Wewenang Pengadilan Agama meliputi
hukum-hukum perkawinan dan kewarisan berdasarkan hukum Islam (Ahmad, 1999:8).
Keberadaan Pengadilan Agama dicantumkan dalam pasal 78 ayat (2)
R.R. tahun 1882, bahwa dalam hal terjadinya perkara perdata antara sesama orang
bumi putera dengan mereka yang disamakan dengan mereka maka mereka tunduk pada
putusan hakim agama atau kepala masyarakat yang menyelesaikan perkara itu
menurut undang-undang
agama (Godsdientige wetten) atau ketentuan-ketentuan lain mereka (Abdul, 2000:50).
2.
Periode 1882 sampai 1937
Tanggal 1 Agustus 1882, keputusan Raja Belanda (Konninkklijk
Besluit) No. 24 Raja Willem III dinyatakan mulai berlaku. Keputusan yang dimuat
dalam Staatsblad 1882 No. 152 itu memuat pembentukan badan peradilan yang
disebut Bepaling Betreffende de Priesterraden op Jawa en Madura (sering disingkat Priesterraden saja). Selanjutnya disebut dengan
Raad Agama atau Rapat Agama dan terakhir disebut Pengadilan Agama. Keputusan
Raja Belanda ini lebih bersifat administratif dan prosedural. Walaupun dalam
pelaksanaanya mengalami berbagai kendala finansial dan administratif. Akan
tetapi kebijakan ini masih menguntungkan bagi penetapan hukum Islam (Abdul, 2000:51).
Dalam naskah aslinya Staatslad 1882 No. 152 tidak merumuskan
kewenangan Pengadilan Agama dan tidak pula membuat garis pemisah yang tegas
antara wewenang Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, karena wewenang
Pengadilan Agama sudah ada dalam Staatsblad 1835 No. 58. Kebijakan
politik untuk tidak mencampuri urusan agama sebenarnya hanya bersifat
sementara, dengan pertimbangan Belanda belum menguasai hukum Islam sehingga
dikhawatirkan akan timbul perlawanan. Sebagai antisipasi, Belanda mengangkat C.
Snouck Hurgronje[2]
pada tahun 1889 sebagai penasehat yang menyangkut politik menghadapi orang
Islam (Abdul, 2000:55).
Keinginan pemerintah Belanda untuk memberlakukan hukum Belanda bagi
semua golongan yang terkenal dengan unifikasi hukum mendapat tentangan dari
Snouck Hurgronje dan kawan-kawan. Kebijakan ini dianggap tidak strategis.
Solusinya menurut Snouck adalah membentuk opini dan mempengaruhi serta
mengacaukan image masyarakat dengan melahirkan teori receptie. Tujuan
utama agar terjadi benturan antara hukum adat, hukum Islam dan hukum Belanda.
Usaha ini berhasil dan sampai sekarang pun posisi hukum Islam masih sangat terjepit
diantara hukum adat dan hukum Belanda (Abdul, 2000:56).
Melalui usaha yang gigih dan sistematis akhirnya Belanda dapat
merubah teori receptio in complexu dalam pasal 78 ayat (2) dan 109 R.R
(Staatsblad No. 2) menjadi pasal 134 ayat (20) IS, dengan teori receptie.
Dengan perubahan nama UUD Hindia Belanda dari R.R menjadi Indische
Staatsregeling (IS) tahun 1919, maka pasal 134 ayat (2) menjadi : dalam hal terjadi perkara-perkara antara
sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila
keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat mereka sejauh tidak ditentukan
lain oleh ordonantie (R. Soepomo,
1972:67).
Pada tahun 1922 dibentuk sebuah komisi untuk
meninjau kembali wewenang Priesterrad (Raad Agama) yang diberi nama
Priesterraden Commissie. Panitia ini terdiri atas beberapa tokoh yang mewakili
golongan Pangreh Praja, kalangan Penghulu dan ahli hukum, yaitu Prof. R. A.
Hoesein Djajadiningrat, Ajunct Adviseur voor Inlandsche Zaken sebagai ketua
merangkap anggota, R.A.A. Soewondo (Bupati Pati), RAA Tjakraningrat (Bupati
Bangkalan ), R. Haji Moehammad Isa (Hoofd Penghulu Serang), H. Aboe Ngamar
(Penghulu Purbolinggo) H. Ahmad Dahlan (Ketua Muhammadiyah Yogyakarta), Mr. B.
Ter Haar (Voorzitter Landraad Purwokerto/ Purbolinggo). Kemudian
ditambah Mas Haji Ikhsan (Penghulu Landraad Temanggung) dan Haji
Hadikusumo, anggota Muhammadiyah Yogyakarta, semua sebagai anggota (A.Zaini dan
Adnan, 1983:35).
Pada tahun 1931 berdasar atas usul dan saran Priesterraden
Commisssie, maka ordonantie tanggal 31 Januari 1931 yang tersebut dalam Staatblad
1931 No. 53 ditetapkan peraturan tentang 3 pokok ketentuan, pada bagian I
tentang Peradilan Agama berisikan (A.Zaini dan Adnan, 1983:35-36) :
a.
Bentuk Pengadilan Agama sebagai Priesterrad atau disebut pula Raad
Agama, dirubah menjadi Penghoeloe Gerecht yang terdiri atas seorang penghulu
sebagai hakim, didampingi dua orang penasehat dan seorang griffer
(panitera).
b.
Kekuasaan Pengadilan Agama dibatasi hanya memeriksa perkara-perkara
yang bersangkutan dengan nikah, talak dan ruju’. Hadlanah, wakaf dan lain-lain
sebagainya dicabut dan diserahkan kepada Landraad.
c.
Diadakan beberapa tambahan tentang acara pada Pengadilan Agama.
d.
Diadakan Mahkamah Islam Tinggi sebagai badan peradilan banding atas
keputusan Pengadilan Agama.
Staatsblad tahun 1931 tersebut tidak dilaksanakan sampai tahun
1937, disebabkan Gubernemen tidak mempunyai anggaran belanja yang cukup dalam
tahun-tahun malaise serta adanya reaksi dari kalangan Islam (Daniel, 1980:36-37).
Tanggal 19 Februari 1937 dengan keputusan gubernur jenderal yang
termuat dalam Staatsblad 1937 No. 116, dikeluarkan suatu peraturan yang merubah
kekuasaan Pengadilan Agama. Peraturan itu menambah beberapa pasal dalam
Staatsblad 1882 No. 152, antara lain yang terpenting adalah pasal 2 ayat (10)
yang berbunyi (A.Zaini dan
Adnan, 1983:37) :
1)
Pengadilan
Agama hanya semata-mata berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perselisihan
hukum antara suami istri yang beragam Islam, begitu pula perkara-perkara lain
tentang nikah, talak dan ruju’ serta soal-soal perceraian dan menetapkan bahwa
syarat-syarat taklik sudah berlaku dengan pengertian bahwa dalam
perkara-perkara tersebut hal-hal mengenai tuntutan pembayaran uang atau
penyerahan harta benda adalah menjadi wewenang hakim biasa kecuali dalam
perkara mahar (mas kawin) dan pembayaran nafkah wajib bagi suami kepada istri
yang sepenuhnya menjadi wewenang pengadilan Agama.
Selanjutnya mulai tanggal 1 Januari 1938 berdasarkan Staatsblad
1937 No. 610 diadakan sebuah Mahkamah Islam Tinggi atau disebut “Hoof voor
Islamietische Zaken” sedang aturan-aturan pelaksanaannya berupa penambahan
atas pasal 7 Staatsblad 1882 No. 152 yaitu dari pasal 7b sampai pasal 7m.
Mahkamah Islam Tinggi terdiri atas seorang ketua dan dua orang anggota, dengan
dibantu seorang griffier (panitera), disamping itu diadakan anggota-anggota
pengganti yang jumlahnya tidak ditentukan dan seorang panitera pengganti.
Mereka semua berkedudukan sebagai pegawai negeri dengan gaji tetap, kecuali
para anggota pengganti yang mendapat uang
sidang (A.Zaini dan Adnan, 1983:38).
Kekuasaan Mahkamah Islam Tinggi pada pokoknya adalah sebagai Hakim
Tertinggi dalam dua bidang, yaitu :
a.
Memutuskan perselisihan tentang kekuasaan antara Pengadilan Agama
yang dimintakan banding oleh orang yang bersangkutan
b.
Mahkamah Islam Tinggi berkewajiban untuk memberikan saran-saran
pertimbangan masalah agama Islam apabila diminta oleh Gubernur Jenderal atau
pembesar lain atas perintahnya.
Pada tahun yang sama dikeluarkan ketetapan pemerintah yang
berkaitan dengan peradilan agama di luar Jawa dan Madura. Melalui
Staatsblad 1937 No. 638 dan No. 639 didirikan Kerapatan Qodli dan Kerapatan Qodli
Besar di Kalimantan Selatan dengan wewenang persis seperti Pengadilan Agama di
Jawa dan Madura (Abdul,
2000: 58).
Akibat dari politik kolonial Belanda yang berusaha menempatkan
hukum Islam di posisi yang lemah dan menggantikannya dengan hukum adat pada
pertengahan abad XIX M itu membuat hukum Islam di Indonesia sulit
berkembang sampai sekarang.
C.
Peradilan Agama Masa Penjajahan Jepang
Jepang menaklukkan Indonesia kurang dari dua bulan, dan Jawa
jatuh dalam waktu satu minggu, tepatnya tanggal 8 Maret 1942. Dalam arti
sebenarnya, pemerintah Belanda dengan semua bentuk kehebatan solidaritasnya,
secara praktis dan efisien hancur dalam sekejap mata (Abdul, 2000: 567) .
Dimasa penjajahan Jepang tidak ada perubahan yang berarti
menyangkut peradilan agama. Keadaan yang sudah ada dilanjutkan sampai Jepang
kalah dalam Perang Dunia II (M.Daud, 1997:203). Dengan
Undang-undang No. 14 Tahun 1942, pemerintah Jepang menetapkan Peraturan
Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai-Nippon. Pengadilan itu pada dasarnya
adalah lanjutan dari pengadilan-pengadilan yang sudah ada (Mr. Tresna, 1957:78-79). Karena situasi yang tidak mendukung, Jepang tidak melaksanakan
perubahan besar secara praktis. Sebagaimana ditulis oleh Nur Ahmad Fadhil Lubis
dalam desertasinya :
Most of the
legal formulation in this period, however, were relatively empty words in law books, and were never really put into
practice because the military government under wartime conditions mostly
neglected the law and the legal
institutions. What was more significant was that abolition of the priviledges
that had been granted to the European race and their special treatment under
the law (Nur, 1994:87).
Akan tetapi nama yang digunakan untuk lembaga peradilan itu diganti
dengan bahasa Jepang, seperti Pengadilan Distrik diganti dengan Gun Hooin,
Pengadilan Kabupaten diganti dengan Keen Hooin, Raad van Justitie (Pengadilan
Negeri) diganti dengan Tihoo Hooin dan Pengadilan Agama diganti dengan Sooryo
Hooin (Abdul,
2000:68).
Tanggal 26 September 1943 lahir UU No. 34 Tahun 1942 yang isinya
mencabut No. 14 Tahun 1942. Isinya antara lain mengatur kembali susunan pengadilan.
Selain peradilan yang sudah ada dalam UU No. 14 Tahun 1942 juga ditambah dengan
dua peradilan yaitu: Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi) lanjutan dari Raad
van Justitie dan Saiko Hooin
(Mahkamah Agung) lanjutan dari Hooggerechtsho (Mr. Tresna, 1957:79). Kootoo
Hooin adalah pengadilan biasa untuk perkara perdata dan pidana bagi
golongan Eropa termasuk Tionghoa. Sedangkan Saikoo Hooin adalah
Pengadilan Tertinggi yang mengadili perkara pidana bagi pejabat tinggi yang
juga merupakan pengadilan banding baik untuk perkara perdata maupun pidana (Abdul, 2000:68).
Pada masa kedudukan Jepang, kedudukan peradilan agama sempat
terancam ketika akhir Januari 1945, pemerintah Jepang mengajukan pertanyaan kepada Dewan
Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) tentang cara mengurus
kas masjid dan susunan penghulu dalam hubungan negara Indonesia merdeka.
Jawaban dari Dewan diberikan tanggal 14 April 1945 sebagai
berikut :
Dalam negara
baru yang memisahkan urusan negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan Pengadilan
Agama sebagai pengadilan istimewa, untuk mengadakan seseorang yang bersangkut
paut dengan agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa
yang dapat minta pertimbangan seorang ahli agama (Abdul, 2000:68).
Di pihak lain, pimpinan nasional sekuler Sartono menghendaki agar
peradilan agama dihapus saja. Dalam surat yang dikirim kepada pemerintah
Jepang. Ia menulis :”cukuplah segala perkara diserahkan ke pengadilan biasa
yang dapat meminta pertimbangan seorang ahli agama”. Sementara Soepomo yang
menjadi penasehat hukum pemerintah Jepang juga menentang pemulihan kembali
wewenang Pengadilan Agama (Ali, 1997:
203-204).
Akan tetapi pemerintah Jepang memilih tidak ikut campur dalam masalah
keagamaan demi keamanan dan ketertiban, serta menghindari protes yang mungkin
datang dari umat Islam, jika saran dari Dewan Pertimbangan Agung serta Sartono
dan Soepomo dilaksanakan. Sampai Jepang kalah perang dan Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya tidak ada perubahan yang berarti
bagi Peradilan Agama.
D.
Peradilan Agama Masa Orde Lama
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, sebuah departemen yang
menangani masalah keagamaan dibentuk, tepatnya tanggal 3 Januari 1946. Semua
urusan serta pengawasan peradilan agama dipindahkan dari Menteri Urusan Agama. Pemindahan
ini tidak hanya mempertegas identitas peradilan agama tapi juga memperluas
jurang antara peradilan umum dan peradilan agama (Nur, 1994:99).
Di lain pihak, pemerintah merasa perlu untuk mempunyai ketentuan
pencatatan nikah, talak dan ruju’. Karena itu dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1946.
Untuk sementara UU itu hanya berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura (Azizy, 2002;142). Sementara itu sejak 1 Agustus 1946, diluar Jawa dan Madura
berdiri peradilan agama dengan nama Mahkamah Syari’ah yang berwenang menangani
masalah kewarisan dan wakaf (Muhammad, 1999:30).
Dengan Penetapan Pemerintah No. 5 tanggal 25 Maret 1946, urusan
Mahkamah Islam Tinggi diserahkan kepada Departemen Agama yang semula berada
pada Departemen Kehakiman, sebagai kelanjutan dari Bagian Kehakiman (Shihobu) dari Gunseikanbu.
Kemudian dengan Maklumat Menteri Agama II tanggal 23 April 1946 ditentukan
hal-hal sebagai berikut (A.Zaini
dan Adnan, 1983:52).
1.
Shumuka yang pada zaman Jepang termasuk kekuasaan Residen, menjadi Jawatan
Agama Daerah yang menjadi urusan Departemen Agama.
2.
Hak untuk mengangkat Penghulu Landraat, Penghulu dan anggota
peradilan yang dulu berada di tangan residen diserahkan pula pada Departemen
Agama.
3.
Hak untuk mengangkat Penghulu masjid dan pegawai-pegawainya yang
dulu menjadi wewenang Bupati diserahkan pada Depertemen Agama.
Peraturan sementara yang mengatur peradilan agama tercantum dalam
verodening 8 Nopember 1946 dari Chief Commanding Officer Alied Millitery Administration
Civil Affairs Branch. Isinya antara lain penetapan pengadilan Penghulu
(Penghoeloe Gerecht) yang terdiri dari seorang ahli hukum Islam sebagai ketua
yang dibantu oleh dua orang anggota dan seorang panitera, sedangkan wewenangnya
sama dengan Priesterraad. Tahun 1947 keluar penetapan Menteri Agama No. 6 yang
berisi penetapan formasi Pengadilan Agama terpisah dari Penghulu Kabupaten.
Dengan kata lain pemisahan tugas antara penghulu Kabupaten sebagai Kepala
Pegawai Pencatat Nikah dan urusan kepenghuluan lainnya dengan penghulu Hakim
sebagai Ketua Penagdilan Agama, juga sebagai Qodli hukum syar’i (Abdul, 2000:70-71).
Pada saat Agresi Militer Belanda Juni 1948, disusun UU No. 19 Tahun
1948. Yang penting dari UU ini adalah hanya mengenal 3 lingkungan peradilan,
yaitu
peradilan umum, tata usaha negara dan militer. Dan secara umum ada 3 tingkat
peradilan, yaitu Peradilan Negeri, Peradilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Akan
tetapi UU ini tidak pernah dinyatakan berlaku (Lukito, 2001:83).
Sebelumnya, tanggal 27 Februari 1947 pemerintah mengeluarkan UU No.
7 Tahun 1947 yang berisi tentang susunan organisasi dan wewenang Mahkamah Agung
dan Kejaksaan Agung. UU ini tidak menyebut tentang keberadaan peradilan agama.
Tetapi dalam pasal 35 ayat (2) dinyatakan bahwa perkara perdata antara orang
Islam yang menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut hukum
agamanya, harus diperiksa oleh Pengadilan Negeri, yang terdiri dari seorang
hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan dua orang hakim ahli agama Islam
sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan
persetujuan Menteri Kehakiman. Pasal 53 dan 75 menentukan bahwa
dalam Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, ada satu bagian
yang memeriksa dan memutus perkara-perkara yang sebelumnya diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan Negeri dalam peradilan tingkat pertama, Pengadilan
tinggi dalam tingkat banding, dan Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi (Abdul, 2000:72).
Sementara itu di daerah-daerah yang masih dikuasai oleh tentara
Sekutu dan Belanda, Priesterraad diubah menjadi Penghulu Gerecht. Ketentuan ini tercantum
dalam Rokomba Jawa Barat No. Rec. Wj. 229/72 tanggal 2 April 1948 dan dalam
Javaasche Courant 1946 No. 32 dan 39, tahun 1948 No. 25 dan tahun 1949 No. 29
dan 65. Berdasarkan peraturan Darurat Markas Besar Komando Jawa No. 46/MBKD/49
tentang pengadilan militer, atas kebijaksanaan Komando Sub Teritorial dibentuk
Majelis
Ulama yang bertindak sebagai Pengadilan Bandingan mengimbangi Mahkamah Islam
Tinggi yang ketika itu sudah pindah di Surakarta. Itulah sebabnya di Jawa dan
Madura terdapat 80 peradilan agama dan satu cabang Bawean yang tergabung dengan
Mahkamah Islam Tinggi, sebelum Agresi Milliter I tahun 1947. Setelah Perjanjian
Renville jumlah Pengadilan Agama sebanyak 41 buah (Abdul, 2000:73).
Keadaan peradilan agama diluar Jawa dan Madura juga
mengalami beberapa perubahan. Sampai saat dikeluarkannya PP No. 45 Tahun 1957
(LN No. 95 Tahun 1957) adalah sebagai berikut (Sudikno, 1983):
a)
Di beberapa daerah di Sumatera sejak tanggal 1 Agustus 1946,
sebagai hasil revolusi kemerdekaan, telah terbentuk Mahakamah syar’iyah antara
lain di Aceh, Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang dan Lampung. Oleh
wakil Pemerintah Pusat Darurat di Pematang Siantar telah diakui sah dengan
surat kawat tanggal 13 Januari 1947.
b)
Di daerah bekas Negara Sumatera Timur dahulu, peradilan agama berdasarkan
ketetapan Wali Negara Sumatera Timur tertanggal 1 Agustus 1950 No. 350/1950
(Warta Resmi N.S.T. Tahun 1950 No. 78) yang dengan persetujuan Gubernur
Sumatera Timur telah diaktivitir Dengan Peraturan
Menteri Agama No. 2 Tahun 1953.
c)
Pengadilan Agama di kota Palembang tetap menjalankan tugasnya
berdasarkan
peraturan-peraturan yang lama seperti dijumpai dalam Adat Recht seri I No. 63
kemudian kedudukannya diatur dengan Penetapan Menteri Agama No. 15 Tahun 1952.
Akan tetapi kekuasaan dari pengadilan ini hanya meliputi Palembang, sehingga
bagi daerah diluarnya perlu dijelaskan batas-batas kekuasaan atas penyelesaian
perkara perselisihan suami istri yang beragama Islam yang dahulu dilaksanakan
oleh Rapat Marga dan Rapat Kecil.
d)
Pemerintah daerah Riau berkali-kali telah mengusulkan agar bagi
daerah tersebut diadakan Pengadilan Agama, sesuai dengan pernyataan Ketua
Pengadilan Negeri di Tanjung Pinang tanggal 9 Nopember 1951 berhubung adanya
kekosongan peradilan agama di daerah itu disebabkan terhapusnya peradilan asli
yang dahulu dilakukan oleh Mahkamah Besar dan Mahkamah Kecil. Keadaan serupa
juga dirasakan bagi daerah Kampar, Inderagiri, dan Bengkalis dimana dahulu di
daerah Swapraja ada hakim yang mengurusi hal-hal yang bersangkutan dengan
agama.
e)
Pemerintah daerah Bengkulu telah mendesak pula agar dalam waktu
yang singkat peradilan agama di daerah tersebut dapat segera terselenggara,
malahan Residen Bengkulu pernah mengadakan tindakan sementara untuk menyerahkan
urusan peradilan agama itu kepada Kepala Kantor Urusan Agama setempat dengan
ketetapannya tanggal 22 April 1954.
f)
Bagi daerah Kalimantan, Mahkamah Balai Agung di Pontianak dan
Sambas semenjak tahun 1952 oleh pemerintah Swapraja ditempat masing-masing
telah diserahlkan kepada Kementerian Agama, walaupun secara resmi urusan
administrasi dan kepegawaian belum dicampuri, sampai kedua Mahkamah itu sudah
berjalan dengan pengawasan Kementerian Agama.
g)
Pemerintah Swapraja di Matan telah menyerahkan urusan Majlis agama
Islam yang ada padanya kepada Kementerian Agama dengan surat tanggal 18 Januari
1956 No. 22/44 dan penampungan pegawai dari Majlis itu dilakukan melalui
Koordinator Agama Daerah Kalimantan Barat.
h)
Di daerah Kalimantan Timur, pemerintah Swapraja Kutai, Barau dan
Bulangon semenjak tahun 1951 telah menyerahkan urusan peradilan agama yang
dijalankan oleh Mahkamah Islam kepada Kementerian Agama.
i)
Sejak penghapusan Pengadilan Swapraja dan Adat di Sulawesi, dengan
keputusan Menteri Kehakiman tanggal 21 Agustus 1952 No. J. B4/3/17, maka
jalannya peradilan agama sangat kacau. Beberapa pemerintah Swapraja secara
serempak menyatakan utuk menyerahkan urusan peradilan agama kepada Kementerian
Agama. Sedang yang lain, hakim syara’ ada yang tetap menjalankan tugasnya
seperti yang dilaksanakan dahulu pada masa Hindia Belanda. Usaha untuk mengatur
pembentukan Pengadilan Agama dengan sandaran pasal 12 dari
Staatsbland 1932 No. 80 ternyata gagal. Oleh kerena pasal itu hanya mengandung ketentuan, bahwa Hoofd van Gewestelijk
Bestuur, yakni kepala derah setempat (Gubernur) hanya mempunyai kekuasaan
menunjuk “Godsdienstige Rechters”. Ketentuan ini tidak memberi dasar
bahwa Gubernur Sulawesi mempunyai hak untuk membentuk pengadilan agama, baik di
daerah yang dahulu dinamakan “Rechts Treeks Berkeurd Gebied” yakni
wilayah yang diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda maupun dalam
wilayah Swapraja.
j)
Pemerintah Swapraja di Sumbawa, Bima dan Dompu di Provinsi Nusa
Tenggara, dengan persetujuan Gubernur Kepala Daerah Provinsi setempat telah
mengadakan hubungan surat-menyurat dengan Kementerian Agama untuk menyerahkan
urusan Badan Hukum Syara’ yang menjadi Pengadilan Agama sehari-hari di daerah
masing-masing. Hal mana juga yang dilakukan bagi Muhammadaansche Goodsdienst
Beamte di daerah Lombok.
k)
Bagi daerah Maluku untuk mengatasi kesukaran tentang penyelesaian
perkara perselisihan suami istri yang beragama Islam serta perkara lain yang
dahulu menjadi kekuasaan dari hakim syara’, pernah Kepala KUA Provinsi setempat
mengadakan tindakan-tindakan sementara dengan menunjuk Hakim Syara’ di
tiap-tiap negeri. Sudah tentu tindakan ini tidak mempunyai sandaran hukum yang
kuat, dalam pada itu pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Tahun 1954
tentang pencatatan nikah, talak dan ruju’ menyebabkan banyak pejabat badan
peradilan agama di luar Jawa dan Madura ditampung di dalam formasi KUA
setempat. Hal ini mengingat pejabat-pejabat itu sejak dahulu juga menjalankan
urusan nikah, talak dan ruju’, sehingga seolah-olah badan peradilan agama itu
terhapus.
Dengan demikian perkara perselisihan suami istri yang beragama
Islam dalam urusan nikah, talak, ruju’, fasakh, nafaqah, hadanah, serta urusan
penetapan bagian pusaka untuk ahli waris, soal wakaf, hibah, shadaqah dan
baitul mal yang harus diputus menurut hukum syari’at Islam tidak mendapat
pelayanan semestinya. Hal ini sangat dirasakan berat oleh masyarakat setempat,
terutama oleh umat Islam, terbukti dengan banyaknya desakan dan tuntutan yang
diajukan kepada pemerintah, baik melalui organisasi sosial maupun politik.
Tahun 1951 dikeluarkan UU Darurat No. 1 yang pasal 1 ayat (2)
menghapuskan semua peradilan adat dan swapraja kecuali peradilan agama jika
merupakan bagian tersendiri dari peradilan swapraja. Atas dasar itu peradilan
agama terus berjalan walaupun dengan nama dan kekuasaan yang berbeda-beda (Zainal, 1999:75).
Peradilan agama sebagai pelaksanaan UU Darurat adalah badan-badan
peradilan agama yang ada dalam lingkungan peradilan swapraja dan peradilan
adat. Jika peradilan agama itu menurut hukum yang hidup tersendiri dari kedua
peradilan tersebut, maka tidak turut dihapus, melainkan oleh pemerintah daerah
diserahkan pengurusnya kepada Departemen Agama dan diatur berdasarkan peraturan
pemerintah.
Tanggal 6 Juni 1957 berdasarkan usul dari Aceh keluarlah PP No. 29
tahun 1957 untuk daerah Aceh. Selanjutnya dalam sidang kabinet tanggal 26
Agustus 1957 dikeluarkan PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama/
Mahkamah Syari’ah untuk daerah di luar Jawa dan Madura selain Kalimantan
Selatan. PP ini dimuat dalam L.N No. 99 Tahun 1957 (Abdul 2000:75).
Menurut PP yang terdiri dari 13 pasal itu, Pengadilan Agama tingkat
pertama disebut dengan nama Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah, sedangkan
tingkat banding disebut Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah Provinsi. Wewenang
Pengadilan Agama termuat dalam pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut (Azizy, 2002:143-144):
1)
Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah memeriksa dan memutuskan
perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan segala perkara yang
menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan denga
nikah, talak, ruju’, fasakh, nafaqah, mas kawin (mahar), tempat kediaman
(maskan), mut’ah dan sebagainya, hadhanah, perkara waris, wal waris, wakaf,
hibah, sadaqah, baitul mal dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian
juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat ta’lik sudah
berlaku.
2)
Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah tidak berhak memeriksa
perkara-perkara yang tersebut dalam ayat (1), kalau untuk perkara itu berlaku
hukum lain daripada hukum agama Islam.
Dengan diberlakukannya PP No. 45 Tahun 1957, maka di Indonesia ada
3 peraturan tentang susunan dan kekuasaan peradilan agama, yaitu :
1.
Staatsbland 1882 No. 152 jo. Staatsbland 1937 No. 116 dan 610 untuk
Jawa dan Madura
2.
Staatsbland 1937 No. 638 dan 639 untuk daerah Kalimantan Selatan
3.
PP. No 45 Tahun 1957 (LN tahun 1957 No. 99) untuk daerah-daerah
selain Jawa dan Madura dan Kalimantan Selatan
Perkembangan selanjutnya setelah PP No. 45 Tahun 1957 dapat dilihat
dari beberapa kebijakan yang muncul kemudian, sebagai peraturan yang memberikan
yurisdiksi yang lebih besar kepada pengadilan di Luar Jawa dan Madura, yaitu (Abdul,
2000:75-76) :
1.
Penetapan Menteri Agama No. 58 Tahun 1957 tentang pembentukan
Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah di Sumatera yaitu :
a.
Di daerah Aceh, dengan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi
di Kota Raja (Banda Aceh)
b.
Di daerah Sumatera Utara, dengan Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyah Provinsi di Medan
c.
Di daerah Sumatera Barat, Jambi dan Riau dengan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Pelembang.
2.
Penetapan Menteri Agama No. 4 Tahun 1958 tentang pembentukan
Pengadilan Agama/ Mahakamah Syar’iyah di Daerah Kalimantan (minus daerah
Kerapatan Qadli), dengan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar;iyah Provinsi di
Banjarmasin
3.
Penetapan Menteri Agama No. 5 Tahun 1958 tentang Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyah di daerah Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya
dengan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Ujung Pandang (Makasar).
Sampai akhir kepemimpinan Presiden Soekarno relatif tidak ada
perubahan yang berarti terhadap peradilan agama sejak PP No. 45 Tahun 1957
tersebut. Perubahan selanjutnya terjadi pada masa sesudah Presiden Soekarno
yaitu masa Orde Baru.
E.
Peradilan Agama Masa Sesudah Orde Lama
Tahun 1966 terjadi gejolak politik serta penggantian pimpinan
negara di Indonesia. Peristiwa yang bermula dari penghianatan PKI dengan
Gerakan 30 September 1965 tersebut berlanjut dengan terbitnya Surat Perintah 11
Maret 1966 yang menandai penyerahan kekuasaan oleh Presiden Soekarno. Sejak
saat itu berakhirlah masa Orde Lama dan Indonesia memasuki masa Orde Baru di
bawah pimpinan Presiden Soeharto.
Pemerintah Orde Baru terlihat memberi perhatian terhadap peradilan
agama
sejak tahun 1970 dengan lahirnya UU. No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Dengan adanya UU ini
kedudukan peradilan agama menjadi sama dan sejajar dengan peradilan lainnya.
Dalam pasal 12 UU No. 14 Tahun 1970 disebutkan bahwa susunan,
kekuasaan serta acara dari badan-badan peradilan seperti tersebut dalam pasal
10 ayat (1) diatur dalam UU tersendiri. Akan tetapi pembentukan UU tersebut
tidak bisa langsung di laksanakan. Terbukti pembentukan UU untuk tiap-tiap
lembaga peradilan baru dilaksanakan sesudah tahun 80-an. Peradilan umum
mempunyai UU Tahun 1986 dengan UU No. 31 Tahun 1997, terakhir PA dengan UU No.
7 Tahun 1989. Sementara Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tertinggi dengan UU
No.14 Tahun 1985.
Lahirnya UU No. 14 Tahun 1970 juga menjadi bukti eksistensi hukum
Islam di Indonesia. Hukum Islam berlaku dengan kekuatan hukum Islam sendiri
berdasarkan pada pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan beragama, bukanya pasal
134 ayat (2)IS (M.Idris,
1995:51).
Peradilan agama sendiri sebelum lahir UU No. 7 Tahun 1989 sudah
ditegaskan keberadaanya dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam
pasal 63 termuat bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini adalah
Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi yang
lain.
Akan tetapi pasal 63 ayat (2), ditegaskan bahwa setiap
keputusan Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Ayat (2)
ini jelas sangat merugikan posisi Pengadilan Agama. Pasal 63 ayat (2)
ditegaskan oleh PP No. 9 Tahun 1975 pasal 36 dengan tata
cara : panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 hari setelah putusan
berkekuatan hukum yang tetap, menyampaikan putusan tersebut kepada Pengadilan
Negeri untuk dikukuhkan. Pengukuhan dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri
dengan membubuhkan kata-kata “dikukuhkan”. Kemudian Hakim Pengadilan Negeri
yang bersangkutan menandatangani dan membubuhi cap dinas pada putusan yang
dikukuhkan (M. Harahap,
1997:34).
Keberadaan lembaga pengukuhan ini pada dasarnya merupakan warisan
dan peraturan kolonial yang tetap diakui yang menetapkan bahwa semua keputusan
peradilan agama harus disahkan oleh peradilan umum sebelum dilaksanakan, bahkan
jika itu adalah keputusan pengadilan banding. Pada masa kolonial, pengesahan
ini hanya dilaksanakan jika pihak yang bersengketa tidak secara suka rela
melaksanakan keputusan hakim. Dalam UU No. 1 tahun 1974, lembaga
pegukuhan ini dikuatkan dengan adanya ketentuan bahwa semua keputusan peradilan
agama harus disahkan oleh peradilan umum. Perubahan dari pemberian pengesahan
untuk keputusan tertentu menjadi untuk semua keputusan menunjukkan bahwa
peradialan agama berada dibawah (merupakan sub ordinat) peradilan umum (Lukito, 2001:95).
Tanggal 28 Desember 1989, pemerintah mengeluarkan UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. UU ini merupakan landasan kedudukan dan kekuasaan
peradilan agama sekaligus memperkuat posisi peradilan agama. Menurut Yahya
Harahap, UU No. 7 Tahun 1989 bertujuan untuk (M. Yahya, 1997:25-36) :
1.
Mempertegas kedudukan dan kekuasaan peradilan agama sebagai
kekuasaan kehakiman.
2.
Menciptakan kesatuan hukum Peradilan Agama
3.
Memurnikan fungsi Peradilan Agama.
Dengan adanya UU Peradilan Agama ini, semua peraturan terdahulu
yang mengatur tentang peradilan agama dihapuskan (dinyatakan tidak berlaku
lagi) termasuk lembaga pengukuhan. Alasan adanya lembaga pengukuhan bahwa
peradilan agama belum memiliki juru sita tidak bisa diterima lagi. Berdasarkan
pasal 38 sampai pasal 42, di setiap peradilan agama ditetapkan adanya juru sita
dan juru sita pengganti.
UU Peradilan Agama merupakan
era baru bagi lembaga peradilan agama. Semua badan peradilan agama mulai
saat itu mempunyai kedudukan dan kewenangan yang sama. Berbeda dengan sistem
peradilan yang di tetapkan oleh pemerintah sebelumnya, UU ini memberi nama semua
peradilan agama di Indonesia dengan nama yang sama, yaitu Pengadilan Agama
untuk tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat banding. Lebih
jauh lagi bahwa kewenangan peradilan agama diperluas menjadi semua hal yang
berkaitan dengan hukum keluarga Islam. Lahirnya
UU Peradilan Agama sekaligus menghapus peraturan-peraturan sebelumnya yang
berkaitan dengan peradilan agama.
Dengan disahkannya UU Peradilan Agama, perubahan penting dan
mendasar telah terjadi dalam lingkungan Peradilan Agama, diantaranya (Ali, 1997:277-278) :
1.
Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya
benar-benar telah sejajar dan sederajat
dengan Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
2.
Nama, susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum acara peradilan agama
telah sama dan seragam di seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi hukum acara
peradilan agama akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang
berintikan keadilan dalam lingkungan peradilan agama.
3.
Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan dengan jalan lain
memberikan hak yang sama kepada istri dalam berproses dan membela
kepentingannya di muka Pengadilan Agama.
4.
Lebih memantapkan upaya menggali berbagai asas dan kaidah hukum
Islaam melalui jurisprudensi sebagai salah satu bahan baku dalam menyusun dan
pembinaan hukum nasional.
5.
Terlaksananya ketentuan-ketentuan dalam UU Pokok-pokok Kekuasaan
kehakiman, terutama yang disebut pada pasal 10 ayat (1) mengenai kedudukan
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan pasal 12 tentang susunan,
kekuasaan dan (hukum) acaranya.
6.
Terselenggaranya pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara
sekaligus berwawasan Bhinneka Tunggal Ika dalam bentuk UU Peradilan Agama.
Perkembangan terakhir dari peradilan agama dengan lahirnya UU No.
35 Tahun 1999 tentang perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman. Perubahan itu antara meliputi 3 hal : pertama :
badan-badan peradilan termasuk peradilan agama secara organisatoris,
administratif dan finansial berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kedua
: pengalihan organisatoris, administratif dan finansial serta ketentuan
pengalihan itu diatur dengan UU sesuai dengan kekhususan masing-masing lembaga
peradilan dan dilaksanakan secara bertahap sekurang-kurangnya lima tahun,
sementara untuk peradilan agama waktu tidak ditentukan. Ketiga :
ketentuan tentang tata cara pengalihan bertahap ditetapkan dengan keputusan
Presiden.
Adanya perubahan atau UU No. 14 Tahun 1970 itu diharapkan akan
menciptakan peradilan agama yang lebih independen dan bebas dari campur tangan
pihak manapun, sehingga peradilan agama benar-benar menjadi peradilan yang
mandiri dan sejajar denga peradilan lain di Indonesia. Lepasnya
lembaga peradilan dari cengkraman kekuasaan eksekutif lewat organisasi,
administrasi dan finansial di maksudkan untuk menjadikan hakim benar-benar
mandiri tidak terpengaruh oleh kekuasaan eksekutif (Yusdani, 2003;145).
Selain memiliki keunggulan, konsep satu atap juga mempunyai sisi
negatif. Menurut Busthanul Arifin sebagaimana dikutip Iskandar Ritonga, konsep
satu atap memiliki dua dampak negatif, pertama akan muncul bahaya tirani
hukum (penegakan hukum akan terabaikan) karena tidak ada lagi yang mengawasi
para hakim selain korpsnya sendiri. Kedua, lewat konsep ini juga,
keberadaan peradilan agama (institusi kenegaraan yang dalam citra umat Islam
dan dalam sejarah pendiriannya adalah institusi Islam, sebagai bagian kekuasaan
pemerintah untuk memelihara kepentingan umat Islam yang memang merupakan bagian
yang mayoritas dari penduduk Indonesia) akan dilepaskan dari Departemen Agama.
Peradilan Agma akan terlepas hubungan dengan para ulama sebagai legitimator
dari segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam dan hukum Islam (Ritonga, 1999:51).
Perubahan signifikan menyangkut kewenangan peradilan agama, secara konstitusional
diperoleh melalui Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-undang
tersebut bersifat diagnostik atau dalam istilah lain UU organik
akibat adanya UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal
2 UU No. 3 tahun 2006 menegaskan, “Peradilan Agama adalah salah
satu pelaku kekuasaaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.” Selain itu kalimat yang ada dalam
penjelasan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang menyatakan: “Para Pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian
warisan”, dinyatakan dihapus.
Kompetensi Peradilan Agama juga diperluas dengan
adanya UU No. 3 Tahun 2006. Sebelumnya kewenangan Peradilan Agama hanya
meliputi perkara perdata perkawinan, warisan, hibah, wakaf dan shadaqoh yang
berdasarkan hukum Islam bagi orang yang beragama Islam. Dengan adanya Undang-undang
tersebut, kompetensi absolut Peradilan Agama ditambah menjadi menangani perkara
bagi orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqoh dan ekonomi syari’ah. Dengan kata lain, Peradilan
Agama juga berwenang untuk mengadili sengketa-sengketa yang berkaitan dengan
perbankan syariah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Zaini Ahmad Noeh dan
Adnan, H. Abdul Basit, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam
di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1983.
Abdul Halim, Peradilan
Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, RajaGrafindo Persada, jakarta, 2000.
Ahmad Azhar Basyir,
“Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke
Masa” Dalam Dadan Muttaqien, et.al. (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia dalam Tata hukum Indonesia, UII Press, Yogyakarta,
1999.
Lathiful Khuluq,
Startegi Belanda Melumpuhkan Islam Biografi Snouch Hurgronje, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002.
Lev, Daniel S, Pengadilan Agama Islam di Indonesia, Suatu
Studi tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, (terj. H. Zaini Ahmad
Noeh), Intermasa, Jakarta, 1980.
Lukito,Ratno, Islamic
Law and Adat Encounter The Experience of Indonesia, Logos, Jakarta, 2001.
M. Daud Ali,
”Hukum Islam dan Peradilan Agama”, Cet. I, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1997.
------------------,
Hukum Islam, Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
Cet. III, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.
M. Idris Ramulyo, SH, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama dan Hukum Islam, Indo Hill Co, Jakarta, 1985.
---------------------,
Asas-asas Hukum Islam, Sejarah Timbul dan Berkembangnya kedudukan Hukum
Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Cet.I, Sinar Garfika, Jakarta, 1995.
M. Yahya Harahap,
Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Cet. III, Pustaka
Kartini, Jakarta, 1997.
Mr.Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, W. Versluys
N.V., Jakarta, 1957.
Muhammad Fajrul Falakh,
“Pengadilan Agama dan Perubahan Tata Hukum Indonesia” dalam Badan Muttaqien, et
al, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
UII Press, Yogyakarta, 1999.
Nur Ahmad
Fadhil Lubis, Islamic Justise in Transition, A Sicio Legal Study of the
Agama Court Judges in Indinesia,
Univercity of California, Los Angeles, 1994.
Otje Salman,
Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Cet I, Alumni, Jakarta,
1993.
R. Soepomo, Sistem
Hukum di Indonesia Sebelum Perang ke II, Pradnja Paramita, Jakarta, 1972.
Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan
Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfatannya Bagi
Kita Bangsa Indonesia, Cet. II, Liberty, Yogyakarta,
1983.
Team Penyusun, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, Ujung Pandang, 1984.
Yusdani,”Transfigurasi
Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional”, Unisia, No. 48/XXVI/II/2003.
Zainal Abidin
Abu Bakar,”Kompensasi dan Struktur Organisasi Peradilan Agama” Dalam
Dadan
Muttaqien, et.al. (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia dalam Tata hukum Indonesia, UII Press, yogyakarta, 1999.
[2] Christian
Snouck Hurgronje adalah seorang orientalis yang tidak segan-segan pindah agama
Islam dan berbaur berbaur dengan Komunitas Muslim Indonesia di Mekkah, demi
memperoleh hasil penelitian yang maksimal. Wawasan keislamannya yang luas
menjadikannya sebagai “Bapak Islamologi Modern” dengan karir politik yang tidak
dapat ditandingi oleh penasehat Belanda manapun. Untuk lebih jelas tentang C.
Snouck Hurgronje, baca Lathiful Khuluq, Startegi Belanda Melumpuhkan Islam
Biografi Snouch Hurgronje, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar