Kamis, 05 Mei 2016

PERADILAN AGAMA DI INDONESIA DARI MASA KE MASA

PERADILAN AGAMA DI INDONESIA DARI MASA KE MASA
Oleh: Lina Kushidayati[1]

Abstract
Religious Court has existed in Indonesia since the first era of Islam. During the era of Islamic Kingdom, the court was held and led by the King and the ulama. The role of the King and ulama in religious court then was reduced by the Colonial government during the occupation of Indonesia by Dutch and Japan. Both the Ducth and the Nippon gradually also reduced the competency of Islamic religious court. Previously, during the Islamic Kingdom, religious court covered both private and public matters while after colonialism, religious court merely dealt with private matters. After the Independence, religious court experienced changes in its competency but still in the frame of private law.  
Keywords: religious court, Indonesia, history

Pendahuluan
Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim di nusantara ini. Menurut pendapat yang disimpulkan oleh Seminar Masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriah atau pada abad VII / VIII M. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam baru sampai ke nusantara pada abad XIII M. Daerah pertama yang didatangi adalah pesisir utara pulau Sumatra dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara (Ali, 1993:209).
Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilaksanakan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, peranan hukum Islam adalah besar. Ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa kalau seorang saudagar muslim hendak menikah dengan seorang wanita pribumi, misalnya, wanita itu diislamkan lebih dahulu dan pernikahannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan hukum Islam. Keluarga yang tumbuh dari perkawinan ini mengatur hubungan antar anggota-anggotanya dengan kaidah-kaidah hukum Islam / kaidah-kaidah lama yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Kalau salah seorang anggota keluarga itu meninggal dunia, harta peninggalannya dibagi menurut hukum kewarisan Islam (M.Daud, 1993:210).
Adanya interaksi dan asimilasi antara para saudagar (sebagai pembawa ajaran Islam) dengan penduduk menjadi titik awal pemasyarakatan hukum Islam. Kontak perdagangan dan perkawinan antara pedagang muslim dengan penduduk di beberapa daerah nusantara menjadi salah satu media peresapan hukum Islam (Abdul, 2000: 35). Posisi sentral saudagar dalam penyebaran Islam kemudian secara formal beralih kepada peran ulama. Misalnya Nuruddin ar Raniri yang menulis buku hukum Islam dengan judul Sirathal Mustaqim pada tahun 1962. Menurut Hamka sebagaimana dikutip Abdul Halim, kitab yang ditulis oleh Nuruddin ar Raniri adalah kitab hukum Islam yang pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia. Kitab tersebut oleh Muhammad Arsyad al Banjari kemudian diperluas dan diperpanjang uraiannya dengan judul Sabilal Muhtadin. Buku tersebut kemudian dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerah kesultanan Banjar. Disamping itu di kesultanan Palembang dan Banten, terbit pula beberapa kitab hukum Islam yang ditulis oleh Syeikh Abdul Samad dan Syeikh Nawawi al Bantani. Kitab tersebut juga dijadikan pegangan umat Islam dalam menyelesaikan masalah. Di beberapa kerajaan seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampil, dan Mataram, pemeluk agama Islam menggunakan kitab karangan pujangga pada masa itu, diantaranya kitab Sajinatul Hukum (Abdul, 2000:35).
Dari data diatas jelas bahwa sebelum pemerintah Hindia Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri sudah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat berdampingan dengan kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat.
Sebelum Agama Islam masuk ke Indonesia, di jaman kerajaan Hindu sudah terdapat lembaga peradilan. Lembaga peradilan itu terbagi menjadi dua yaitu peradilan Perdata dan Padu. Yang termasuk perkara perdata pada umumnya perkara-perkara yang dapat membahayakan mahkota, keamanan dan ketertiban negara, seperti membuat kerusuhan, pencurian, pembunuhan, perampokan dan lain sebagainya. Perkara ini diadili di peradilan perdata yang dilakukan sendiri oleh Raja. Sementara itu perkara-perkara yang mengenai perseorangan diadili oleh pejabat negara yang disebut jaksa. Peradilan ini dilaksanakan di pengadilan Padu (Mr. Tresna, 1957:16).
Menjelang abad XIII M masyarakat muslim sudah ada di Perlak, Samudera Pasai dan Palembang. Dari masyarakat muslim ini lahir kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Perkembangan kerajaan Islam di Indonesia sangat berpengaruh bagi perkembangan hukum Islam. Pada awal periode masuknya Islam, bentuk peradilan yang dilaksanakan masih sangat sederhana. Yaitu dalam bentuk tahkim kepada pemuka agama. Para pihak yang terlibat dalam suatu perkara perselisihan dengan sukarela menyerahkan perkara mereka kepada orang yang dianggap bisa menjadi penengah dan orang yang berperkara akan tunduk dengan keputusannya. Tradisi ini merupakan cikal bakal peradilan agama di Indonesia (Abdul, 2000:35-36).
Peradilan atau qadla hukumnya fardlu kifayah dan dapat dilaksanakan dalam keadaan apapun juga. Dalam keadaan tidak ada qadli atau penguasa yang bisa melaksanakan, peradilan dapat dilaksanakan dengan cara tahkim pada seorang muhakkam yakni menyerahkan hukum kepada seseorang yang dianggap menguasai hukum, seperti tahkim seorang wanita kepada seseorang untuk bertindak sebagai wali ataupun penyerahan dua belah pihak yang berselisih kepada pihak ketiga untuk memutuskan perkaranya.
Dalam suatu kelompok masyarakat yang sudah teratur, jabatan hakim atau qadli dapat dilakukan secara pemilihan dan bai’at oleh ahlul halli wal ‘aqdi yakni pengangkatan atas seseorang yang dipercaya oleh majelis atau kumpulan orang-orang terkemuka dalam masyarakat. Sedang dalam suatu negara yang berpemerintahan, susunan jabatan tersebut dapat dilaksanakan dengan pemberian tauliyah yakni pemberian kekuasaan dari penguasa (A. Zaini dan Adnan, 1983: 29-30).
A.  Peradilan Agama Masa Kerajaan Islam
Meskipun Perlak merupakan kota Islam pertama, akan tetapi Sultan Malikus Shaleh dari Samudera Pasai merupakan raja Islam pertama yang memberikan bentuk tauliyah kepada hakim atau qadli dalam pelaksanaan hukum Islam (Abdul, 2000:36). Seiring perkembangan Islam maka hakim yang melaksanakan peradilan diangkat oleh Sultan atau Imam atau Raja. Berikut akan diuraikan peradilan agama pada masa kerajaan Islam di Indonesia.

1.         Kerajaan Mataram
Mataram merupakan satu dari beberapa kerajaan Islam di Jawa selain Demak, Pajang, Banten dan Cirebon. Raja pertamanya adalah Sutowijoyo yang telah berhasil meruntuhkan Pajang, dan bergelar Panembahan Senopati Sayidin Panotogomo (Tim Penyusun, 1984:141).
Perkembangan peradilan agama pada masa kerajaan Mataram dicapai pada masa Sultan Agung. Pada awalnya Sultan Agung masih mempertahankan sistem peradilan yang dilaksanakaan pada masa kerajaan Hindu. Sultan Agung mengambil kebijakan dengan mengisi lembaga yang telah ada dan berkembang di masyarakat dengan prinsip-prinsip keislaman (Abdul, 2000:39-40).
Setelah kondisi masyarakat dirasa siap maka Peradilan Pradata dirubah menjadi pengadilan Surambi yang dipimpin oleh ulama. Wewenang Pengadilan Surambi masih tetap seperti Pengadilan Pradata. Hanya saja ketua pengadilan pelaksanaanya di tangan penghulu dan didampingi beberapa ulama dari lingkungan pesantren sebagai anggota majelas, meskipun pada prinsipnya masih di tangan Sultan. Keputusan Pengadilan Surambi berfungsi sebagai nasehat bagi Sultan dalam mengambil keputusan. Setelah Sultan Agung wafat, dan digantikan Amangkurat I, tahun 1645, Pengadilan Pradata dihidupkan kembali, untuk mengurangi pengaruh ulama dalam pengadilan, dengan raja sebagai pimpinannya. Akan tetapi kebijakan ini tidak menjadikan Pengadilan Surambi tersingkir, bahkan pengadilan ini masih bertahan meski kekuasaannya dibatasi (Abdul, 2000: 39-41).

2.         Kerajaan Aceh
Di Aceh, sistem peradilan yang berdasarkan hukum Islam menyatu dengan peradilan negeri. Peradilan itu mempunyai tingkatan-tingkatan, tingkat pertama dilaksanakan di tingkat Kampung yang di pimpin oleh Keucik. Peradilan ini hanya menangani perkara-perkara ringan, sedangkan perkara-perkara berat diselesaikan oleh Balai Hukum mukim. Peradilan tingkat kedua yang merupakan peradilan banding adalah Oeloebalang. Jika keputusan Oeloebalang tidak memuaskan dapat dimintakan banding di peradilan ketiga yaitu Panglima Sagi. Keputusan Panglima Sagi bisa dimintakan banding kepada Sultan sebagai pengadilan tertinggi. Pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung yang terdiri dari Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara dan Fakih (Ulama) (Abdul, 2000:42).
Dari sistem peradilan tersebut terlihat bahwa pada zaman kerajaan Aceh sudah terbentuk sebuah sistem peradilan yang memiliki dua kompetensi yaitu absolut dan relatif. Kompetensi absolut berupa masalah yang berdasarkan hukum Islam, sedang kompetensi relatif meliputi Kampung di tingkat pertama, Oeloebalang yang membawahi beberapa Kampung, di tingkat kedua, Panglima Sagi di tingkat ketiga dan terakhir Mahkamah Agung yang membawahi seluruh wilayah yang tunduk dibawah pemerintahan (Abdul, 2000:42-43).

3.         Kesultanan Priangan
Menurut laporan Joan Frederik yang menjadi Residen di Cirebon tahun 1714-1717, Pengadilan Priangan diatur menurut pengadilan Mataram. Di tiap-tiap kabupaten terdapat seorang jaksa yang menjalankan peradilan terhadap perkara Padu, sedangkan perkara Pradata dikirim ke Mataram. Pada masa itu terdapat 3 bentuk peradilan yang berjalan, yaitu: peradilan agama, peradilan drigama dan peradilan cilaga. Masing-masing peradilan itu memiliki wewenang yang berbeda-beda (Mr. Tresna, 1957:21-35).
Peradilan Agama mempunyai wewenang terhadap perkara-perkara yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati. Pada awalnya perkara ini merupakan perkara yang harus dikirim ke Mataram. Tetapi karena kekuasaan Mataram sudah merosot maka perkara-perkara tersebut tidak lagi dikirim ke Mataram. Perkara-perkara perkawinan dan waris juga termasuk wewenang peradilan agama. Peradilan drigama mengadili perkara selain perkara yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati serta perkawinan dan waris, yang merupakan kewenangan peradilan Agama. Peradilan drigama bekerja dengan pedoman hukum Jawa kuno dan diselesaikan menurut hukum adat setempat. Sementara peradilan cilaga adalah peradilan khusus masalah niaga. Peradilan cilaga terkenal juga dengan istilah peradilan wasit. Istilah agama dan drigama terdapat dalam Papakem Cirebon yang digunakan untuk mengadakan pemisahan menurut sifat diantara perkara-perkara yang harus diadili (Abdul, 2000:42-43).

4.         Kesultanan Banten
Peradilan Banten disusun menurut pengertian hukum Islam. Pada masa Sultan Hasanuddin tidak ada bekas untuk pengadilan yang berdasarkan pada hukum Hindu. Pada abad XVII M, di Banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh Kadhi. Satu-satunya peraturan yang masih mengingatkan pada pengaruh Hindu adalah, hukuman mati yang dijatuhkan oleh Kadhi memerlukan pengesahan dari raja (Mr. Tresna, 1957:35).

5.         Kerajaan Sulawesi
Kerajaan Tallo di Sulawesi Selatan merupakan merupakan kerajaan di Sulawesi yang pertama kali menerima ajaran Islam. Kemudian disusul kerajaan Gowa yang akhirnya menjadi kerajaan terkuat. Setelah menjadi kerajaan Islam, raja Gowa menempatkan Parewa Syara’ (Pejabat Syari’at) yang berkedudukan sama dengan  Parewa Adek (Pejabat Adek) yang sudah ada sebelum datangnya Islam. Parewa Syara’ dipimpin oleh Kali (Kadli), yaitu pejabat tinggi dalam Syari’at Islam yang berkedudukan di pusat kerajaan. Di masing-masing Paleli diangkat pejabat bawahan yang disebut Imam serta dibantu oleh seorang Khatib dan seorang Bilal. Para Kadi dan pejabat urusan ini diberikan gaji yang diambilkan dari zakat fitrah, zakat harta, sedekah idul Fitri dan idul Adha, kenduri kerajaan, penyelenggaraan mayat dan penyelenggaraan pernikahan. Hal ini terjadi pada saat pemerintah raja Gowa XV (1637-1653) ketika Malikus Said berkuasa. Sebelumnya raja Gowa sendiri yang menjadi hakim agama Islam (Abdul, 2000:45).

6.         Kerajaan lain di Kalimantan dan Sumatra
Di wilayah Kalimantan Selatan dan Timur serta tempat-tempat lain, para hakim diangkat oleh penguasa setempat. Di Sumatera Utara tidak ada kedudukan tersendiri bagi penyelenggara peradilan Islam. Para pejabat Agama langsung melaksanakan tugas-tugas peradilan, sebagaimana ditemukan di Palembang. Pengadilan Agama yang dipimpin Pangeran penghulu merupakan bagian dari struktur pemerintahan, disamping Pengadilan Syahbandar dan Pengadilan Patih. Di Pengadilan Syahbandar perkara diputus dengan berpedoman kepada hukum Islam dan ajaran Al-Qur’an, sedangkan di Pengadilan Patih perkara diputus dengan berpedoman hukum Adat (Abdul, 2000:45).

B.       Peradilan Agama Masa Kolonial Belanda Sampai Pra Kemerdekaan
1.         Periode Sebelum 1882
Tahun 1602 Belanda mendirikan perserikatan dagang untuk Timur Jauh yang dinamakan “ De Vereeneging de Oost-Indische Compagnie” (VOC). Dalam akad pendirian yang ditetapkan Staten Generaal (Badan Pemerintahan Tertinggi), VOC diberi hak dan kekuasaan untuk memperkuat dan menyelamatkan perniagaan. Selain itu VOC juga diberi hak untuk mempunyai atau memiliki tanah untuk bertempat tinggal, mendirikan benteng-benteng pertahanan, mengadakan perjanjian-perjanjian dengan raja-raja yang berkuasa, mempunyai angkatan perang dan armada, serta mengangkat hakim-hakim untuk menjaga keamanan, ketertiban dan keadilan dalam wilayah kekuasaannya (Mr. Tresna, 1957:26).
Sebagai badan perniagaan, VOC tidak terlalu memperdulikan kehidupan orang Indonesia. VOC hanya mengutamakan perdagangan untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. VOC tidak mau memperhatikan sistem hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia dan hanya campur tangan terhadap rakyat Indonesia jika itu menyangkut kepentingannya dan kepentingan pegawainya. Pada awalnya hukum yang diterapkan di daerah kekuasaan VOC adalah hukum Belanda, baik hukum tata negara, hukum perdata maupun hukum pidana. Tidak ada perbedaan antara orang Indonesia dan Belanda, semuanya termasuk ke dalam badan-badan peradilan Belanda, yaitu Raad van Justitie dan Schepenbank. Dengan demikian maka pengadilan asli yang dilakukan oleh kepala-kepala rakyat menjadi tidak ada (Otje, 1993:9).
Raad van Justitie merupakan badan pengadilan yang mengadili pegawai-pegawai VOC dan serdadu-serdadunya. Pada mulanya lembaga ini disebut “Ordinaris Luyden van de Gerechte in the Casteel”, kemudian berubah nama menjadi “Ordinaris Raad van Justitie binnen het Casteel Batavia” dan disingkat Raad van Justitie. Raan van Justitie memiliki dua fungsi, yaitu : pertama sebagai badan pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk pegawai dan serdadu VOC, kedua sebagai pengadilan apel pagi penduduk kota yang minta bandingan keputusan-keputusan dari Schepenbank. Sementara Schepenbank merupakan badan pengadilan bagi semua penduduk yang merdeka (bukan budak) dari semua bangsa kecuali pegawai dan serdadu VOC. Schepenbank yang berwenang mengadiri perkara sipil dan kriminal (Mr. Tresna, 1957:27).
Dalam kenyataanya peradilan VOC hanya efektif di daerah-daerah yang menjadi pusat pemerintahan, sementara untuk daerah lainnya sukar untuk dilaksanakan. Akhirnya VOC membiarkan hukum-hukum setempat berjalan sebagaimana sebelumnya. Bahkan dalam Statuten van Batavia (statuta batavia) 1642 yang merupakan kodifikasi peraturan perdata dan pidana dinyatakan :
Bagaimanapun juga bahwa yang akan diperhatikan dan diturutkan yaitu berlakunya hukum Barat- dalam hal perkara pewarisan orang Kristen, orang Tionghoa dan orang yang beragama kuno serta orang Islam (jadi kebanyakan orang Indonesia) tinggal tetap pada mereka kebiasaan serta adat tentang hak itu, yang terpakai pada mereka (Otje, 1993:10).

Untuk menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama dan bersifat kecil, maka diadakan “Gecommitteerde tot en Over de Zaken van den Inlander”. Melalui resolusi 7 November 1754 GG Mossel memberikan perintah terhadap opsir-opsir dan kepala-kepala adat supaya mereka menuliskan hukum sipil serta adat yang berlaku untuk mereka dan menyerahkannya pada Gecommitteerde Freijer kemudian menyusun buku hukum yang terkenal dengan sebutan Compendium Freijer, yang berisi hukum perkawinan dan waris Islam, dan disahkan tahun 1760 (Otje, 1993:10).
Compendium Freijer diberlakukan di pengadilan-pengadilan untuk menyelesaikan sengketa dikalangan umat Islam. Selain Compendium Freijer terbit pula Kitab Muharrar untuk pengadilan negeri Semarang yang memuat hukum-hukum Jawa yang mencerminkan hukum Islam (Ahmad, 1999:8). Terbit pula kitab Papakem Cirebon yang berisi kumpulan hukum-hukum Jawa yang tua seperti Kitab Hukum Raja Niscaya, Undang-undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa, dan Adidullah. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri, kedalam Papakem Cirebon telah nampak hukum Islam (Mr. Tresna, 1957:32).
Papakem Cirebon juga berisi mengenai pengadilan 7 jaksa yang diberi nama Pengadilan Karta dan Pengadilan Penghulu. Pengadilan Penghulu memiliki kompetensi sebagai berikut : (Mr. Tresna, 1957:34-35)
a)         Kejahatan yang disebut dalam kitab hukum Raja Niscaya, yang merupakan kejahatan yang diancam dengan hukuman mati seperti membakar dan meracun orang. Hukum acara dilaksanakan menurut peraturan-peraturan Jawa kuno, tetapi sumpah dilakukan secara Islami.
b)        Perbuatan terlarang yang dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi hukuman siksaan badan.
c)         Perkara-perkara yang dilakukan orang-orang dari golongan tertentu:
1)      Yang dalam keadaan apapun harus selalu diadili oleh Pengadilan Penghulu, yaitu yang memiliki derajat Sayid, Sarif, alim ulama dan pemuka-pemuka Islam.
2)      Yang hanya menggunakan forum privilegiatum (hak istimewa) jika mereka melaksanakan perbuatan salah tidak bersama-sama dengan orang yang segolongan.
Dengan menekankan pada susunannya maka Pengadilan Penghulu dapat disebut sebagai Pengadilan Agama.
Sejak tahun 1800, para ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda mengakui bahwa dikalangan masyarakat Indonesia, Islam merupakan agama yang sangat dijunjung tinggi pemeluknya. Penyelesaian masalah kemasyarakatan senantiasa merujuk pada ajaran agama Islam. Belanda berkeyakinan bahwa ditengah-tengah komunitas itu berlaku hukum Islam, termasuk dalam mengurus peradilan pun diberlakukan undang-undang agama Islam (Abdul, 2000:48).
Setelah masa VOC berakhir dan Pemerintah Kolonial Belanda benar-benar menguasai nusantara, hukum Islam mengalami pergeseran. Secara berangsur-angsur kedudukan hukum Islam diperlemah. Pada masa Deandels (1808-1811) hingga Thomas Raffles (1811-1816), masih mengukuhkan hukum Islam sebagai hukum rakyat di Jawa. Tetapi berdasarkan konvensi London tahun 1814, Inggris menyerahkan kembali kekuasaan pemerintah kepada Belanda. Kemudian oleh Kolonial Belanda dikeluarkan peraturan perundang-undangan tentang kebijaksanaan pemerintahan, susunan pengadilan, pertanian dan perdagangan di wilayah jajahannya di Asia. Akibat dari perubahan ini hukum Islam digeser oleh hukum Belanda (Ahmad, 1999:8).
Tahun 1882 dengan Staatsblad No. 22 pasal 13 menyebutkan kompetensi peradilan agama yaitu tentang perselisihan mengenai pembagian harta waris di kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada alim ulama Islam. Dari pasal ini ditarik kesimpulan bahwa soal waris sudah menjadi lembaga yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, tidak hanya pada orang Islam (M.Idris, 1985:110-111).
Perubahan tata hukum dilakukan seiring gerakan Kristenisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dibentuklah komisi yang diketuai Mr. Scholten van Oud Haarlem yang bertugas untuk menyesuaikan  hukum Belanda dengan situasi Hindia Belanda. Akan tetapi Komosi Scholten melihat rakyat yang beragama Islam sangat kuat kesadaran hukumnya (M.Idris, 1985:9). Karena Scholten menulis nota kepada pemerintah Belanda yang berisi : Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan – mungkin juga perlawanan - jika diadakan pelanggaran terhadap orang bumi putera dan agama Islam maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu tinggal tetap dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat mereka (Abdul, 2000:50). 
Pendapat Scholten ini rupanya menjadi penyebab lahirnya pasal 75 R.R. (Regeering Reglement) yang menginstruksikan kepada pengadilan untuk menggunakan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan sejauh tidak bertentangan dengan asas kepatuhan dan keadilan yang diakui umum. Akhirnya tahun 1882 dibentuklah Pengadilan Agama di tempat terdapatnya Pengadilan Negeri (Landraad). Wewenang Pengadilan Agama meliputi hukum-hukum perkawinan dan kewarisan berdasarkan hukum Islam (Ahmad, 1999:8).
Keberadaan Pengadilan Agama dicantumkan dalam pasal 78 ayat (2) R.R. tahun 1882, bahwa dalam hal terjadinya perkara perdata antara sesama orang bumi putera dengan mereka yang disamakan dengan mereka maka mereka tunduk pada putusan hakim agama atau kepala masyarakat yang menyelesaikan perkara itu menurut undang-undang agama (Godsdientige wetten) atau ketentuan-ketentuan lain mereka (Abdul, 2000:50).
2.         Periode 1882 sampai 1937
Tanggal 1 Agustus 1882, keputusan Raja Belanda (Konninkklijk Besluit) No. 24 Raja Willem III dinyatakan mulai berlaku. Keputusan yang dimuat dalam Staatsblad 1882 No. 152 itu memuat pembentukan badan peradilan yang disebut Bepaling Betreffende de Priesterraden op Jawa en Madura (sering disingkat Priesterraden saja). Selanjutnya disebut dengan Raad Agama atau Rapat Agama dan terakhir disebut Pengadilan Agama. Keputusan Raja Belanda ini lebih bersifat administratif dan prosedural. Walaupun dalam pelaksanaanya mengalami berbagai kendala finansial dan administratif. Akan tetapi kebijakan ini masih menguntungkan bagi penetapan hukum Islam (Abdul, 2000:51).
Dalam naskah aslinya Staatslad 1882 No. 152 tidak merumuskan kewenangan Pengadilan Agama dan tidak pula membuat garis pemisah yang tegas antara wewenang Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, karena wewenang Pengadilan Agama sudah ada dalam Staatsblad 1835 No. 58. Kebijakan politik untuk tidak mencampuri urusan agama sebenarnya hanya bersifat sementara, dengan pertimbangan Belanda belum menguasai hukum Islam sehingga dikhawatirkan akan timbul perlawanan. Sebagai antisipasi, Belanda mengangkat C. Snouck Hurgronje[2] pada tahun 1889 sebagai penasehat yang menyangkut politik menghadapi orang Islam (Abdul, 2000:55).
Keinginan pemerintah Belanda untuk memberlakukan hukum Belanda bagi semua golongan yang terkenal dengan unifikasi hukum mendapat tentangan dari Snouck Hurgronje dan kawan-kawan. Kebijakan ini dianggap tidak strategis. Solusinya menurut Snouck adalah membentuk opini dan mempengaruhi serta mengacaukan image masyarakat dengan melahirkan teori receptie. Tujuan utama agar terjadi benturan antara hukum adat, hukum Islam dan hukum Belanda. Usaha ini berhasil dan sampai sekarang pun posisi hukum Islam masih sangat terjepit diantara hukum adat dan hukum Belanda (Abdul, 2000:56).
Melalui usaha yang gigih dan sistematis akhirnya Belanda dapat merubah teori receptio in complexu dalam pasal 78 ayat (2) dan 109 R.R (Staatsblad No. 2) menjadi pasal 134 ayat (20) IS, dengan teori receptie. Dengan perubahan nama UUD Hindia Belanda dari R.R menjadi Indische Staatsregeling (IS) tahun 1919, maka pasal 134 ayat (2) menjadi : dalam hal terjadi perkara-perkara antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat mereka sejauh tidak ditentukan lain oleh ordonantie (R. Soepomo, 1972:67).
Pada tahun 1922 dibentuk sebuah komisi untuk meninjau kembali wewenang Priesterrad (Raad Agama) yang diberi nama Priesterraden Commissie. Panitia ini terdiri atas beberapa tokoh yang mewakili golongan Pangreh Praja, kalangan Penghulu dan ahli hukum, yaitu Prof. R. A. Hoesein Djajadiningrat, Ajunct Adviseur voor Inlandsche Zaken sebagai ketua merangkap anggota, R.A.A. Soewondo (Bupati Pati), RAA Tjakraningrat (Bupati Bangkalan ), R. Haji Moehammad Isa (Hoofd Penghulu Serang), H. Aboe Ngamar (Penghulu Purbolinggo) H. Ahmad Dahlan (Ketua Muhammadiyah Yogyakarta), Mr. B. Ter Haar (Voorzitter Landraad Purwokerto/ Purbolinggo). Kemudian ditambah Mas Haji Ikhsan (Penghulu Landraad Temanggung) dan Haji Hadikusumo, anggota Muhammadiyah Yogyakarta, semua sebagai anggota (A.Zaini dan Adnan, 1983:35).
Pada tahun 1931 berdasar atas usul dan saran Priesterraden Commisssie, maka ordonantie tanggal 31 Januari 1931 yang tersebut dalam Staatblad 1931 No. 53 ditetapkan peraturan tentang 3 pokok ketentuan, pada bagian I tentang Peradilan Agama berisikan (A.Zaini dan Adnan, 1983:35-36) :
a.         Bentuk Pengadilan Agama sebagai Priesterrad atau disebut pula Raad Agama, dirubah menjadi Penghoeloe Gerecht yang terdiri atas seorang penghulu sebagai hakim, didampingi dua orang penasehat dan seorang griffer (panitera).
b.         Kekuasaan Pengadilan Agama dibatasi hanya memeriksa perkara-perkara yang bersangkutan dengan nikah, talak dan ruju’. Hadlanah, wakaf dan lain-lain sebagainya dicabut dan diserahkan kepada Landraad.
c.         Diadakan beberapa tambahan tentang acara pada Pengadilan Agama.
d.         Diadakan Mahkamah Islam Tinggi sebagai badan peradilan banding atas keputusan Pengadilan Agama.
Staatsblad tahun 1931 tersebut tidak dilaksanakan sampai tahun 1937, disebabkan Gubernemen tidak mempunyai anggaran belanja yang cukup dalam tahun-tahun malaise serta adanya reaksi dari kalangan Islam (Daniel, 1980:36-37).
Tanggal 19 Februari 1937 dengan keputusan gubernur jenderal yang termuat dalam Staatsblad 1937 No. 116, dikeluarkan suatu peraturan yang merubah kekuasaan Pengadilan Agama. Peraturan itu menambah beberapa pasal dalam Staatsblad 1882 No. 152, antara lain yang terpenting adalah pasal 2 ayat (10) yang berbunyi (A.Zaini dan Adnan, 1983:37) :
1)        Pengadilan Agama hanya semata-mata berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perselisihan hukum antara suami istri yang beragam Islam, begitu pula perkara-perkara lain tentang nikah, talak dan ruju’ serta soal-soal perceraian dan menetapkan bahwa syarat-syarat taklik sudah berlaku dengan pengertian bahwa dalam perkara-perkara tersebut hal-hal mengenai tuntutan pembayaran uang atau penyerahan harta benda adalah menjadi wewenang hakim biasa kecuali dalam perkara mahar (mas kawin) dan pembayaran nafkah wajib bagi suami kepada istri yang sepenuhnya menjadi wewenang pengadilan Agama.

Selanjutnya mulai tanggal 1 Januari 1938 berdasarkan Staatsblad 1937 No. 610 diadakan sebuah Mahkamah Islam Tinggi atau disebut “Hoof voor Islamietische Zaken” sedang aturan-aturan pelaksanaannya berupa penambahan atas pasal 7 Staatsblad 1882 No. 152 yaitu dari pasal 7b sampai pasal 7m. Mahkamah Islam Tinggi terdiri atas seorang ketua dan dua orang anggota, dengan dibantu seorang griffier (panitera), disamping itu diadakan anggota-anggota pengganti yang jumlahnya tidak ditentukan dan seorang panitera pengganti. Mereka semua berkedudukan sebagai pegawai negeri dengan gaji tetap, kecuali para anggota  pengganti yang mendapat uang sidang (A.Zaini dan Adnan, 1983:38).
Kekuasaan Mahkamah Islam Tinggi pada pokoknya adalah sebagai Hakim Tertinggi dalam dua bidang, yaitu :
a.         Memutuskan perselisihan tentang kekuasaan antara Pengadilan Agama yang dimintakan banding oleh orang yang bersangkutan
b.         Mahkamah Islam Tinggi berkewajiban untuk memberikan saran-saran pertimbangan masalah agama Islam apabila diminta oleh Gubernur Jenderal atau pembesar lain atas perintahnya.
Pada tahun yang sama dikeluarkan ketetapan pemerintah yang berkaitan dengan peradilan agama di luar Jawa dan Madura. Melalui Staatsblad 1937 No. 638 dan No. 639 didirikan Kerapatan Qodli dan Kerapatan Qodli Besar di Kalimantan Selatan dengan wewenang persis seperti Pengadilan Agama di Jawa dan Madura (Abdul, 2000: 58).
Akibat dari politik kolonial Belanda yang berusaha menempatkan hukum Islam di posisi yang lemah dan menggantikannya dengan hukum adat pada pertengahan abad XIX M itu membuat hukum Islam di Indonesia sulit berkembang sampai sekarang.

C.    Peradilan Agama Masa Penjajahan Jepang
Jepang menaklukkan Indonesia kurang dari dua bulan, dan Jawa jatuh dalam waktu satu minggu, tepatnya tanggal 8 Maret 1942. Dalam arti sebenarnya, pemerintah Belanda dengan semua bentuk kehebatan solidaritasnya, secara praktis dan efisien hancur dalam sekejap mata (Abdul, 2000: 567) .
Dimasa penjajahan Jepang tidak ada perubahan yang berarti menyangkut peradilan agama. Keadaan yang sudah ada dilanjutkan sampai Jepang kalah dalam Perang Dunia II (M.Daud, 1997:203). Dengan Undang-undang No. 14 Tahun 1942, pemerintah Jepang menetapkan Peraturan Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai-Nippon. Pengadilan itu pada dasarnya adalah lanjutan dari pengadilan-pengadilan yang sudah ada (Mr. Tresna, 1957:78-79). Karena situasi yang tidak mendukung, Jepang tidak melaksanakan perubahan besar secara praktis. Sebagaimana ditulis oleh Nur Ahmad Fadhil Lubis dalam desertasinya :
Most of the legal formulation in this period, however, were relatively empty words in law books, and were never really put into practice because the military government under wartime conditions mostly neglected the law and the legal institutions. What was more significant was that abolition of the priviledges that had been granted to the European race and their special treatment under the law (Nur, 1994:87).
Akan tetapi nama yang digunakan untuk lembaga peradilan itu diganti dengan bahasa Jepang, seperti Pengadilan Distrik diganti dengan Gun Hooin, Pengadilan Kabupaten diganti dengan Keen Hooin, Raad van Justitie (Pengadilan Negeri) diganti dengan Tihoo Hooin dan Pengadilan Agama diganti dengan Sooryo Hooin (Abdul, 2000:68).
Tanggal 26 September 1943 lahir UU No. 34 Tahun 1942 yang isinya mencabut No. 14 Tahun 1942. Isinya antara lain mengatur kembali susunan pengadilan. Selain peradilan yang sudah ada dalam UU No. 14 Tahun 1942 juga ditambah dengan dua peradilan yaitu: Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi) lanjutan dari Raad van Justitie dan Saiko Hooin (Mahkamah Agung) lanjutan dari Hooggerechtsho (Mr. Tresna, 1957:79). Kootoo Hooin adalah pengadilan biasa untuk perkara perdata dan pidana bagi golongan Eropa termasuk Tionghoa. Sedangkan Saikoo Hooin adalah Pengadilan Tertinggi yang mengadili perkara pidana bagi pejabat tinggi yang juga merupakan pengadilan banding baik untuk perkara perdata maupun pidana (Abdul, 2000:68).
Pada masa kedudukan Jepang, kedudukan peradilan agama sempat terancam ketika akhir Januari 1945, pemerintah Jepang mengajukan pertanyaan kepada Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) tentang cara mengurus kas masjid dan susunan penghulu dalam hubungan negara Indonesia merdeka. Jawaban dari Dewan diberikan tanggal 14 April 1945 sebagai berikut :
Dalam negara baru yang memisahkan urusan negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan Pengadilan Agama sebagai pengadilan istimewa, untuk mengadakan seseorang yang bersangkut paut dengan agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat minta pertimbangan seorang ahli agama (Abdul, 2000:68).
Di pihak lain, pimpinan nasional sekuler Sartono menghendaki agar peradilan agama dihapus saja. Dalam surat yang dikirim kepada pemerintah Jepang. Ia menulis :”cukuplah segala perkara diserahkan ke pengadilan biasa yang dapat meminta pertimbangan seorang ahli agama”. Sementara Soepomo yang menjadi penasehat hukum pemerintah Jepang juga menentang pemulihan kembali wewenang Pengadilan Agama (Ali, 1997: 203-204).
Akan tetapi pemerintah Jepang memilih tidak ikut campur dalam masalah keagamaan demi keamanan dan ketertiban, serta menghindari protes yang mungkin datang dari umat Islam, jika saran dari Dewan Pertimbangan Agung serta Sartono dan Soepomo dilaksanakan. Sampai Jepang kalah perang dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tidak ada perubahan yang berarti bagi Peradilan Agama.

D.    Peradilan Agama Masa Orde Lama
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, sebuah departemen yang menangani masalah keagamaan dibentuk, tepatnya tanggal 3 Januari 1946. Semua urusan serta pengawasan peradilan agama dipindahkan dari Menteri Urusan Agama. Pemindahan ini tidak hanya mempertegas identitas peradilan agama tapi juga memperluas jurang antara peradilan umum dan peradilan agama (Nur, 1994:99).
Di lain pihak, pemerintah merasa perlu untuk mempunyai ketentuan pencatatan nikah, talak dan ruju’. Karena itu dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1946. Untuk sementara UU itu hanya berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura (Azizy, 2002;142). Sementara itu sejak 1 Agustus 1946, diluar Jawa dan Madura berdiri peradilan agama dengan nama Mahkamah Syari’ah yang berwenang menangani masalah kewarisan dan wakaf (Muhammad, 1999:30).
Dengan Penetapan Pemerintah No. 5 tanggal 25 Maret 1946, urusan Mahkamah Islam Tinggi diserahkan kepada Departemen Agama yang semula berada pada Departemen Kehakiman, sebagai kelanjutan dari Bagian Kehakiman (Shihobu) dari Gunseikanbu. Kemudian dengan Maklumat Menteri Agama II tanggal 23 April 1946 ditentukan hal-hal sebagai berikut (A.Zaini dan Adnan, 1983:52).
1.         Shumuka yang pada zaman Jepang termasuk kekuasaan Residen, menjadi Jawatan Agama Daerah yang menjadi urusan Departemen Agama.
2.         Hak untuk mengangkat Penghulu Landraat, Penghulu dan anggota peradilan yang dulu berada di tangan residen diserahkan pula pada Departemen Agama.
3.         Hak untuk mengangkat Penghulu masjid dan pegawai-pegawainya yang dulu menjadi wewenang Bupati diserahkan pada Depertemen Agama.
Peraturan sementara yang mengatur peradilan agama tercantum dalam verodening 8 Nopember 1946 dari Chief Commanding Officer Alied Millitery Administration Civil Affairs Branch. Isinya antara lain penetapan pengadilan Penghulu (Penghoeloe Gerecht) yang terdiri dari seorang ahli hukum Islam sebagai ketua yang dibantu oleh dua orang anggota dan seorang panitera, sedangkan wewenangnya sama dengan Priesterraad. Tahun 1947 keluar penetapan Menteri Agama No. 6 yang berisi penetapan formasi Pengadilan Agama terpisah dari Penghulu Kabupaten. Dengan kata lain pemisahan tugas antara penghulu Kabupaten sebagai Kepala Pegawai Pencatat Nikah dan urusan kepenghuluan lainnya dengan penghulu Hakim sebagai Ketua Penagdilan Agama, juga sebagai Qodli hukum syar’i (Abdul, 2000:70-71).
Pada saat Agresi Militer Belanda Juni 1948, disusun UU No. 19 Tahun 1948. Yang penting dari UU ini adalah hanya mengenal 3 lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, tata usaha negara dan militer. Dan secara umum ada 3 tingkat peradilan, yaitu Peradilan Negeri, Peradilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Akan tetapi UU ini tidak pernah dinyatakan berlaku (Lukito, 2001:83).
Sebelumnya, tanggal 27 Februari 1947 pemerintah mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1947 yang berisi tentang susunan organisasi dan wewenang Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung. UU ini tidak menyebut tentang keberadaan peradilan agama. Tetapi dalam pasal 35 ayat (2) dinyatakan bahwa perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya, harus diperiksa oleh Pengadilan Negeri, yang terdiri dari seorang hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan dua orang hakim ahli agama Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman. Pasal 53 dan 75 menentukan bahwa dalam Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, ada satu bagian yang memeriksa dan memutus perkara-perkara yang sebelumnya diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri dalam peradilan tingkat pertama, Pengadilan tinggi dalam tingkat banding, dan Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi (Abdul, 2000:72).
Sementara itu di daerah-daerah yang masih dikuasai oleh tentara Sekutu dan Belanda, Priesterraad diubah menjadi Penghulu Gerecht. Ketentuan ini tercantum dalam Rokomba Jawa Barat No. Rec. Wj. 229/72 tanggal 2 April 1948 dan dalam Javaasche Courant 1946 No. 32 dan 39, tahun 1948 No. 25 dan tahun 1949 No. 29 dan 65. Berdasarkan peraturan Darurat Markas Besar Komando Jawa No. 46/MBKD/49 tentang pengadilan militer, atas kebijaksanaan Komando Sub Teritorial dibentuk Majelis Ulama yang bertindak sebagai Pengadilan Bandingan mengimbangi Mahkamah Islam Tinggi yang ketika itu sudah pindah di Surakarta. Itulah sebabnya di Jawa dan Madura terdapat 80 peradilan agama dan satu cabang Bawean yang tergabung dengan Mahkamah Islam Tinggi, sebelum Agresi Milliter I tahun 1947. Setelah Perjanjian Renville jumlah Pengadilan Agama sebanyak 41 buah (Abdul, 2000:73).
Keadaan peradilan agama diluar Jawa dan Madura juga mengalami beberapa perubahan. Sampai saat dikeluarkannya PP No. 45 Tahun 1957 (LN No. 95 Tahun 1957) adalah sebagai berikut  (Sudikno, 1983):
a)        Di beberapa daerah di Sumatera sejak tanggal 1 Agustus 1946, sebagai hasil revolusi kemerdekaan, telah terbentuk Mahakamah syar’iyah antara lain di Aceh, Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang dan Lampung. Oleh wakil Pemerintah Pusat Darurat di Pematang Siantar telah diakui sah dengan surat kawat tanggal 13 Januari 1947.
b)        Di daerah bekas Negara Sumatera Timur dahulu, peradilan agama berdasarkan ketetapan Wali Negara Sumatera Timur tertanggal 1 Agustus 1950 No. 350/1950 (Warta Resmi N.S.T. Tahun 1950 No. 78) yang dengan persetujuan Gubernur Sumatera Timur telah diaktivitir Dengan Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1953.
c)        Pengadilan Agama di kota Palembang tetap menjalankan tugasnya berdasarkan peraturan-peraturan yang lama seperti dijumpai dalam Adat Recht seri I No. 63 kemudian kedudukannya diatur dengan Penetapan Menteri Agama No. 15 Tahun 1952. Akan tetapi kekuasaan dari pengadilan ini hanya meliputi Palembang, sehingga bagi daerah diluarnya perlu dijelaskan batas-batas kekuasaan atas penyelesaian perkara perselisihan suami istri yang beragama Islam yang dahulu dilaksanakan oleh Rapat Marga dan Rapat Kecil.
d)        Pemerintah daerah Riau berkali-kali telah mengusulkan agar bagi daerah tersebut diadakan Pengadilan Agama, sesuai dengan pernyataan Ketua Pengadilan Negeri di Tanjung Pinang tanggal 9 Nopember 1951 berhubung adanya kekosongan peradilan agama di daerah itu disebabkan terhapusnya peradilan asli yang dahulu dilakukan oleh Mahkamah Besar dan Mahkamah Kecil. Keadaan serupa juga dirasakan bagi daerah Kampar, Inderagiri, dan Bengkalis dimana dahulu di daerah Swapraja ada hakim yang mengurusi hal-hal yang bersangkutan dengan agama.
e)        Pemerintah daerah Bengkulu telah mendesak pula agar dalam waktu yang singkat peradilan agama di daerah tersebut dapat segera terselenggara, malahan Residen Bengkulu pernah mengadakan tindakan sementara untuk menyerahkan urusan peradilan agama itu kepada Kepala Kantor Urusan Agama setempat dengan ketetapannya tanggal 22 April 1954.
f)         Bagi daerah Kalimantan, Mahkamah Balai Agung di Pontianak dan Sambas semenjak tahun 1952 oleh pemerintah Swapraja ditempat masing-masing telah diserahlkan kepada Kementerian Agama, walaupun secara resmi urusan administrasi dan kepegawaian belum dicampuri, sampai kedua Mahkamah itu sudah berjalan dengan pengawasan Kementerian Agama.
g)        Pemerintah Swapraja di Matan telah menyerahkan urusan Majlis agama Islam yang ada padanya kepada Kementerian Agama dengan surat tanggal 18 Januari 1956 No. 22/44 dan penampungan pegawai dari Majlis itu dilakukan melalui Koordinator Agama Daerah Kalimantan Barat.
h)        Di daerah Kalimantan Timur, pemerintah Swapraja Kutai, Barau dan Bulangon semenjak tahun 1951 telah menyerahkan urusan peradilan agama yang dijalankan oleh Mahkamah Islam kepada Kementerian Agama.
i)         Sejak penghapusan Pengadilan Swapraja dan Adat di Sulawesi, dengan keputusan Menteri Kehakiman tanggal 21 Agustus 1952 No. J. B4/3/17, maka jalannya peradilan agama sangat kacau. Beberapa pemerintah Swapraja secara serempak menyatakan utuk menyerahkan urusan peradilan agama kepada Kementerian Agama. Sedang yang lain, hakim syara’ ada yang tetap menjalankan tugasnya seperti yang dilaksanakan dahulu pada masa Hindia Belanda. Usaha untuk mengatur pembentukan Pengadilan Agama dengan sandaran pasal 12 dari Staatsbland 1932 No. 80 ternyata gagal. Oleh kerena pasal itu hanya mengandung  ketentuan, bahwa Hoofd van Gewestelijk Bestuur, yakni kepala derah setempat (Gubernur) hanya mempunyai kekuasaan menunjuk “Godsdienstige Rechters”. Ketentuan ini tidak memberi dasar bahwa Gubernur Sulawesi mempunyai hak untuk membentuk pengadilan agama, baik di daerah yang dahulu dinamakan “Rechts Treeks Berkeurd Gebied” yakni wilayah yang diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda maupun dalam wilayah Swapraja.
j)         Pemerintah Swapraja di Sumbawa, Bima dan Dompu di Provinsi Nusa Tenggara, dengan persetujuan Gubernur Kepala Daerah Provinsi setempat telah mengadakan hubungan surat-menyurat dengan Kementerian Agama untuk menyerahkan urusan Badan Hukum Syara’ yang menjadi Pengadilan Agama sehari-hari di daerah masing-masing. Hal mana juga yang dilakukan bagi Muhammadaansche Goodsdienst Beamte di daerah Lombok.
k)        Bagi daerah Maluku untuk mengatasi kesukaran tentang penyelesaian perkara perselisihan suami istri yang beragama Islam serta perkara lain yang dahulu menjadi kekuasaan dari hakim syara’, pernah Kepala KUA Provinsi setempat mengadakan tindakan-tindakan sementara dengan menunjuk Hakim Syara’ di tiap-tiap negeri. Sudah tentu tindakan ini tidak mempunyai sandaran hukum yang kuat, dalam pada itu pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan ruju’ menyebabkan banyak pejabat badan peradilan agama di luar Jawa dan Madura ditampung di dalam formasi KUA setempat. Hal ini mengingat pejabat-pejabat itu sejak dahulu juga menjalankan urusan nikah, talak dan ruju’, sehingga seolah-olah badan peradilan agama itu terhapus.

Dengan demikian perkara perselisihan suami istri yang beragama Islam dalam urusan nikah, talak, ruju’, fasakh, nafaqah, hadanah, serta urusan penetapan bagian pusaka untuk ahli waris, soal wakaf, hibah, shadaqah dan baitul mal yang harus diputus menurut hukum syari’at Islam tidak mendapat pelayanan semestinya. Hal ini sangat dirasakan berat oleh masyarakat setempat, terutama oleh umat Islam, terbukti dengan banyaknya desakan dan tuntutan yang diajukan kepada pemerintah, baik melalui organisasi sosial maupun politik.
Tahun 1951 dikeluarkan UU Darurat No. 1 yang pasal 1 ayat (2) menghapuskan semua peradilan adat dan swapraja kecuali peradilan agama jika merupakan bagian tersendiri dari peradilan swapraja. Atas dasar itu peradilan agama terus berjalan walaupun dengan nama dan kekuasaan yang berbeda-beda (Zainal, 1999:75).
Peradilan agama sebagai pelaksanaan UU Darurat adalah badan-badan peradilan agama yang ada dalam lingkungan peradilan swapraja dan peradilan adat. Jika peradilan agama itu menurut hukum yang hidup tersendiri dari kedua peradilan tersebut, maka tidak turut dihapus, melainkan oleh pemerintah daerah diserahkan pengurusnya kepada Departemen Agama dan diatur berdasarkan peraturan pemerintah.
Tanggal 6 Juni 1957 berdasarkan usul dari Aceh keluarlah PP No. 29 tahun 1957 untuk daerah Aceh. Selanjutnya dalam sidang kabinet tanggal 26 Agustus 1957 dikeluarkan PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama/ Mahkamah Syari’ah untuk daerah di luar Jawa dan Madura selain Kalimantan Selatan. PP ini dimuat dalam L.N No. 99 Tahun 1957 (Abdul 2000:75).  
Menurut PP yang terdiri dari 13 pasal itu, Pengadilan Agama tingkat pertama disebut dengan nama Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah, sedangkan tingkat banding disebut Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah Provinsi. Wewenang Pengadilan Agama termuat dalam pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut (Azizy, 2002:143-144):
1)        Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan denga nikah, talak, ruju’, fasakh, nafaqah, mas kawin (mahar), tempat kediaman (maskan), mut’ah dan sebagainya, hadhanah, perkara waris, wal waris, wakaf, hibah, sadaqah, baitul mal dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat ta’lik sudah berlaku.
2)        Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah tidak berhak memeriksa perkara-perkara yang tersebut dalam ayat (1), kalau untuk perkara itu berlaku hukum lain daripada hukum agama Islam.
Dengan diberlakukannya PP No. 45 Tahun 1957, maka di Indonesia ada 3 peraturan tentang susunan dan kekuasaan peradilan agama, yaitu :
1.         Staatsbland 1882 No. 152 jo. Staatsbland 1937 No. 116 dan 610 untuk Jawa dan Madura
2.         Staatsbland 1937 No. 638 dan 639 untuk daerah Kalimantan Selatan
3.         PP. No 45 Tahun 1957 (LN tahun 1957 No. 99) untuk daerah-daerah selain Jawa dan Madura dan Kalimantan Selatan
Perkembangan selanjutnya setelah PP No. 45 Tahun 1957 dapat dilihat dari beberapa kebijakan yang muncul kemudian, sebagai peraturan yang memberikan yurisdiksi yang lebih besar kepada pengadilan di Luar Jawa dan Madura, yaitu (Abdul, 2000:75-76) :
1.         Penetapan Menteri Agama No. 58 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah di Sumatera yaitu :
a.         Di daerah Aceh, dengan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Kota Raja (Banda Aceh)
b.        Di daerah Sumatera Utara, dengan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Medan
c.         Di daerah Sumatera Barat, Jambi dan Riau dengan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Pelembang.
2.         Penetapan Menteri Agama No. 4 Tahun 1958 tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahakamah Syar’iyah di Daerah Kalimantan (minus daerah Kerapatan Qadli), dengan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar;iyah Provinsi di Banjarmasin
3.         Penetapan Menteri Agama No. 5 Tahun 1958 tentang Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah di daerah Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya dengan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Ujung Pandang (Makasar).
Sampai akhir kepemimpinan Presiden Soekarno relatif tidak ada perubahan yang berarti terhadap peradilan agama sejak PP No. 45 Tahun 1957 tersebut. Perubahan selanjutnya terjadi pada masa sesudah Presiden Soekarno yaitu masa Orde Baru.

E.     Peradilan Agama Masa Sesudah Orde Lama
Tahun 1966 terjadi gejolak politik serta penggantian pimpinan negara di Indonesia. Peristiwa yang bermula dari penghianatan PKI dengan Gerakan 30 September 1965 tersebut berlanjut dengan terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang menandai penyerahan kekuasaan oleh Presiden Soekarno. Sejak saat itu berakhirlah masa Orde Lama dan Indonesia memasuki masa Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.
Pemerintah Orde Baru terlihat memberi perhatian terhadap peradilan agama sejak tahun 1970 dengan lahirnya UU. No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Dengan adanya UU ini kedudukan peradilan agama menjadi sama dan sejajar dengan peradilan lainnya.
Dalam pasal 12 UU No. 14 Tahun 1970 disebutkan bahwa susunan, kekuasaan serta acara dari badan-badan peradilan seperti tersebut dalam pasal 10 ayat (1) diatur dalam UU tersendiri. Akan tetapi pembentukan UU tersebut tidak bisa langsung di laksanakan. Terbukti pembentukan UU untuk tiap-tiap lembaga peradilan baru dilaksanakan sesudah tahun 80-an. Peradilan umum mempunyai UU Tahun 1986 dengan UU No. 31 Tahun 1997, terakhir PA dengan UU No. 7 Tahun 1989. Sementara Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tertinggi dengan UU No.14 Tahun 1985.
Lahirnya UU No. 14 Tahun 1970 juga menjadi bukti eksistensi hukum Islam di Indonesia. Hukum Islam berlaku dengan kekuatan hukum Islam sendiri berdasarkan pada pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan beragama, bukanya pasal 134 ayat (2)IS (M.Idris, 1995:51).
Peradilan agama sendiri sebelum lahir UU No. 7 Tahun 1989 sudah ditegaskan keberadaanya dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 63 termuat bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini adalah Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi yang lain.
Akan tetapi pasal 63 ayat (2), ditegaskan bahwa setiap keputusan Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Ayat (2) ini jelas sangat merugikan posisi Pengadilan Agama. Pasal 63 ayat (2) ditegaskan oleh PP No. 9 Tahun 1975 pasal 36 dengan tata cara : panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 hari setelah putusan berkekuatan hukum yang tetap, menyampaikan putusan tersebut kepada Pengadilan Negeri untuk dikukuhkan. Pengukuhan dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri dengan membubuhkan kata-kata “dikukuhkan”. Kemudian Hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan menandatangani dan membubuhi cap dinas pada putusan yang dikukuhkan (M. Harahap, 1997:34).
Keberadaan lembaga pengukuhan ini pada dasarnya merupakan warisan dan peraturan kolonial yang tetap diakui yang menetapkan bahwa semua keputusan peradilan agama harus disahkan oleh peradilan umum sebelum dilaksanakan, bahkan jika itu adalah keputusan pengadilan banding. Pada masa kolonial, pengesahan ini hanya dilaksanakan jika pihak yang bersengketa tidak secara suka rela melaksanakan keputusan hakim. Dalam UU No. 1 tahun 1974, lembaga pegukuhan ini dikuatkan dengan adanya ketentuan bahwa semua keputusan peradilan agama harus disahkan oleh peradilan umum. Perubahan dari pemberian pengesahan untuk keputusan tertentu menjadi untuk semua keputusan menunjukkan bahwa peradialan agama berada dibawah (merupakan sub ordinat) peradilan umum (Lukito, 2001:95).
Tanggal 28 Desember 1989, pemerintah mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. UU ini merupakan landasan kedudukan dan kekuasaan peradilan agama sekaligus memperkuat posisi peradilan agama. Menurut Yahya Harahap, UU No. 7 Tahun 1989 bertujuan untuk (M. Yahya, 1997:25-36) :
1.         Mempertegas kedudukan dan kekuasaan peradilan agama sebagai kekuasaan kehakiman.
2.         Menciptakan kesatuan hukum Peradilan Agama
3.         Memurnikan fungsi Peradilan Agama.
Dengan adanya UU Peradilan Agama ini, semua peraturan terdahulu yang mengatur tentang peradilan agama dihapuskan (dinyatakan tidak berlaku lagi) termasuk lembaga pengukuhan. Alasan adanya lembaga pengukuhan bahwa peradilan agama belum memiliki juru sita tidak bisa diterima lagi. Berdasarkan pasal 38 sampai pasal 42, di setiap peradilan agama ditetapkan adanya juru sita dan juru sita pengganti.
UU Peradilan Agama merupakan  era baru bagi lembaga peradilan agama. Semua badan peradilan agama mulai saat itu mempunyai kedudukan dan kewenangan yang sama. Berbeda dengan sistem peradilan yang di tetapkan oleh pemerintah sebelumnya, UU ini memberi nama semua peradilan agama di Indonesia dengan nama yang sama, yaitu Pengadilan Agama untuk tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat banding. Lebih jauh lagi bahwa kewenangan peradilan agama diperluas menjadi semua hal yang berkaitan dengan hukum keluarga Islam. Lahirnya UU Peradilan Agama sekaligus menghapus peraturan-peraturan sebelumnya yang berkaitan dengan peradilan agama.
Dengan disahkannya UU Peradilan Agama, perubahan penting dan mendasar telah terjadi dalam lingkungan Peradilan Agama, diantaranya (Ali, 1997:277-278) :
1.         Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya benar-benar  telah sejajar dan sederajat dengan Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
2.         Nama, susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum acara peradilan agama telah sama dan seragam di seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi hukum acara peradilan agama akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan peradilan agama.
3.         Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan dengan jalan lain memberikan hak yang sama kepada istri dalam berproses dan membela kepentingannya di muka Pengadilan Agama.
4.         Lebih memantapkan upaya menggali berbagai asas dan kaidah hukum Islaam melalui jurisprudensi sebagai salah satu bahan baku dalam menyusun dan pembinaan hukum nasional.
5.         Terlaksananya ketentuan-ketentuan dalam UU Pokok-pokok Kekuasaan kehakiman, terutama yang disebut pada pasal 10 ayat (1) mengenai kedudukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan pasal 12 tentang susunan, kekuasaan dan (hukum) acaranya.
6.         Terselenggaranya pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara sekaligus berwawasan Bhinneka Tunggal Ika dalam bentuk UU Peradilan Agama.
Perkembangan terakhir dari peradilan agama dengan lahirnya UU No. 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Perubahan itu antara meliputi 3 hal : pertama : badan-badan peradilan termasuk peradilan agama secara organisatoris, administratif dan finansial berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kedua : pengalihan organisatoris, administratif dan finansial serta ketentuan pengalihan itu diatur dengan UU sesuai dengan kekhususan masing-masing lembaga peradilan dan dilaksanakan secara bertahap sekurang-kurangnya lima tahun, sementara untuk peradilan agama waktu tidak ditentukan. Ketiga : ketentuan tentang tata cara pengalihan bertahap ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Adanya perubahan atau UU No. 14 Tahun 1970 itu diharapkan akan menciptakan peradilan agama yang lebih independen dan bebas dari campur tangan pihak manapun, sehingga peradilan agama benar-benar menjadi peradilan yang mandiri dan sejajar denga peradilan lain di Indonesia. Lepasnya lembaga peradilan dari cengkraman kekuasaan eksekutif lewat organisasi, administrasi dan finansial di maksudkan untuk menjadikan hakim benar-benar mandiri tidak terpengaruh oleh kekuasaan eksekutif (Yusdani, 2003;145).
Selain memiliki keunggulan, konsep satu atap juga mempunyai sisi negatif. Menurut Busthanul Arifin sebagaimana dikutip Iskandar Ritonga, konsep satu atap memiliki dua dampak negatif, pertama akan muncul bahaya tirani hukum (penegakan hukum akan terabaikan) karena tidak ada lagi yang mengawasi para hakim selain korpsnya sendiri. Kedua, lewat konsep ini juga, keberadaan peradilan agama (institusi kenegaraan yang dalam citra umat Islam dan dalam sejarah pendiriannya adalah institusi Islam, sebagai bagian kekuasaan pemerintah untuk memelihara kepentingan umat Islam yang memang merupakan bagian yang mayoritas dari penduduk Indonesia) akan dilepaskan dari Departemen Agama. Peradilan Agma akan terlepas hubungan dengan para ulama sebagai legitimator dari segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam dan hukum Islam (Ritonga, 1999:51).
Perubahan signifikan menyangkut kewenangan peradilan agama, secara konstitusional diperoleh melalui Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut bersifat diagnostik atau dalam istilah lain UU organik akibat adanya UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 menegaskan, “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.” Selain itu kalimat yang ada dalam penjelasan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: “Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.
Kompetensi Peradilan Agama juga diperluas dengan adanya UU No. 3 Tahun 2006. Sebelumnya kewenangan Peradilan Agama hanya meliputi perkara perdata perkawinan, warisan, hibah, wakaf dan shadaqoh yang berdasarkan hukum Islam bagi orang yang beragama Islam. Dengan adanya Undang-undang tersebut, kompetensi absolut Peradilan Agama ditambah menjadi menangani perkara bagi orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh dan ekonomi syari’ah. Dengan kata lain, Peradilan Agama juga berwenang untuk mengadili sengketa-sengketa yang berkaitan dengan perbankan syariah.

DAFTAR PUSTAKA
A. Zaini Ahmad Noeh dan Adnan, H. Abdul Basit, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1983.
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, RajaGrafindo Persada, jakarta, 2000.
Ahmad Azhar Basyir, “Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa” Dalam Dadan Muttaqien, et.al. (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dalam Tata hukum Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 1999.
Lathiful Khuluq, Startegi Belanda Melumpuhkan Islam Biografi Snouch Hurgronje, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Lev, Daniel S, Pengadilan Agama Islam di Indonesia, Suatu Studi tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, (terj. H. Zaini Ahmad Noeh), Intermasa, Jakarta, 1980.
Lukito,Ratno, Islamic Law and Adat Encounter The Experience of Indonesia, Logos, Jakarta, 2001.
M. Daud Ali, ”Hukum Islam dan Peradilan Agama”, Cet. I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
------------------, Hukum Islam, Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet. III, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.
M. Idris Ramulyo, SH, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum Islam, Indo Hill Co, Jakarta, 1985.
---------------------, Asas-asas Hukum Islam, Sejarah Timbul dan Berkembangnya kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Cet.I, Sinar Garfika, Jakarta, 1995.
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Cet. III, Pustaka Kartini, Jakarta, 1997.
Mr.Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, W. Versluys N.V., Jakarta, 1957.
Muhammad Fajrul Falakh, “Pengadilan Agama dan Perubahan Tata Hukum Indonesia” dalam Badan Muttaqien, et al, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 1999.
Nur Ahmad Fadhil Lubis, Islamic Justise in Transition, A Sicio Legal Study of the Agama Court  Judges in Indinesia, Univercity of California, Los Angeles, 1994.
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Cet I, Alumni, Jakarta, 1993.
R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang ke II, Pradnja Paramita, Jakarta, 1972.
Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Cet. II, Liberty, Yogyakarta, 1983.
Team Penyusun, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Ujung Pandang, 1984.   
Yusdani,”Transfigurasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional”, Unisia, No. 48/XXVI/II/2003.
Zainal Abidin Abu Bakar,”Kompensasi dan Struktur Organisasi Peradilan Agama” Dalam Dadan Muttaqien, et.al. (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dalam Tata hukum Indonesia, UII Press, yogyakarta, 1999.



[1] Dosen STAIN Kudus
[2] Christian Snouck Hurgronje adalah seorang orientalis yang tidak segan-segan pindah agama Islam dan berbaur berbaur dengan Komunitas Muslim Indonesia di Mekkah, demi memperoleh hasil penelitian yang maksimal. Wawasan keislamannya yang luas menjadikannya sebagai “Bapak Islamologi Modern” dengan karir politik yang tidak dapat ditandingi oleh penasehat Belanda manapun. Untuk lebih jelas tentang C. Snouck Hurgronje, baca Lathiful Khuluq, Startegi Belanda Melumpuhkan Islam Biografi Snouch Hurgronje, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

New Post

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA

FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Dose...