SEJARAH
PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM AGRARIA DI
INDONESIA
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Hukum
Agraria
Dosen
Pengampu: Hasanain Haikal, SH, MH.
Disusun oleh:
Akhidatus Sholihah (1520110001)
Fitriyani (1520110002)
PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KUDUS
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Republik Indonesia merupakan Negara agraria
(pertanian) yang mempunyai sumber daya alam melimpah ruah, akan tetapi kekayaan
yang demikian besar sebagai karunia Tuhan Yang Maha Kuasa itu belum dapat
dinikmati oleh rakyat. Tapaknya kekayaan alam itu baru dimiliki
oleh sebagian kecil orang Indonesia.
System
yang merugikan rakyat seperti itu sudah berlangsung sejak zaman penjajahan
Belanda.Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dibuat lah Rancangan
Undang-Undang Pokok Agraria.Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria ini mulai
dipersiapkan ketika Ketua Dewan Perwakilan Rakyat yang ketika itu di pimpin
oleh Mr. Sartono pada dekade tahun 1950-an Panitia Ad Hoc yang dibantu oleh
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta serta dibantu pula oleh Mahkamah Agung pada waktu
itu banyak berjasa dalam pengumpulan data-data dan bahan-bahan untuk menyusun
Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria.[1]
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
yang dimaksud dengan Hukum Agraria ?
2.
Bagaimana
Hukum Agraria sebelum kemerdekaan ?
3.
Bagaimana
Hukum Agraria setelah kemerdekaan hingga tahun 1960 ?
4.
Bagaimana
Hukum Agraria sejak tahun 1960 hingga Era Reformasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Hukum Agraria
Agraria berasal
dari bahasa latin Ager yang berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti
peladangan, persawahan, pertanian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994,
Edisi Kedua Cetakan Ketiga, Agraria berarti urusan pertanian atau tanah
pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Maka sebutan Agraria atau dalam Bahasa
Inggris Agrarian selalu diartikan
dengan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian.
Sebutan Agrarian Laws bahkan serng kali di gunakan untuk menunjuk kepada
perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian
tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan
pemilikannya.Di Indonesia sebutan Agraria di lingkungan Administrasi Pertanian
di pakai dalam arti tanah baik tanah pertanian maupun non pertanian.[2]
2. Hukum Agraria
Sebelum Kemerdekaan
a. Agrarische Wet 1870
Ararische
Wet adalah Undang-Undang yang di buat di negeri Belanda pada tahun
1870 Agrarische Wet 1870 diundangkan dalam S 1870-55 sebagai tambahan ayat baru
pada pasal 62 Regerings Reglement Hindia Belanda tahun 1854 pasal 62 RR
kemudian menjaadi pasal 51 Indische Staatsregling (IS) pada tahun1925 yang
isinya sebagai berikut:
1.
Gurbenur
Jenderal tidak boleh menjual tanah.
2.
Dalam
larangan diatas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang diperuntukkan
bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-kegiatan usaha
kerajinan.
3.
Gurbenur
Jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
menurut ordonansi. Tidak termasuk yang boleh disewakan adalah tanah-tanah
kepunyaan pribumi asal pembukaan hutan, demikian juga tanah-tanah yang sebagai
tempat pegembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa.
Tambahan Agrarische Wet tahun 1870 sebagai berikut:
1.
Menurut
ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi, diberikan tanah dengan hak erfpacht
selama waktu tidak lebih dari 75 tahun.
2.
Gurbenur
jenderal menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah yang melanggar hak-hak
rakyat pribumi.
3.
Gurbenur
jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat atas pembukaan
hutan yang digunakan untuk keperluan sendiri, demikian juga tanah-tanah yang
sebagai tempat pengembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa,
kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan Pasal 133 atau keperluan penanaman
tanaman-tanaman yang diselenggarakan atas perintah penguasa menurut
peraturan-peraturan yang bersangkutan, semuanya dengan pemberian ganti kerugian
yang layak.
4.
Tanah-tanah
yang di punyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pakai pribadi yang turun
temurun (yang di maksudkan adalah: hak milik adat) atas permintaan pemiliknya
yang sah dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom dengan pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagai yang
ditetapkan dengan ordinasi dan dicantumkan dalam eigendom-nya yaitu mengenai kewajibannya terhadap Negara dan desa
yang bersangkutan, demikian juga mengenai kewenangannya untuk menjuanya kepada
non pribumi.
5.
Persewaan
atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada non pribumi dilakukan
menurut ketentuan yang diatur dengan ordonansi.
Agrarische Wet lahir atas desakan pengusaha
besar swasta, hal ini dikarenakan pada sejak tahun 1830 tengah giat-giatnya
dilaksanakan cultuur stelsel
(peraturan tanam paksa) kemungkinan pengusaha swasta untuk memperoleh tanah
perkebunan dalam jumlah besar sangat terbatas. Sementara politik monopoli
Negara dalam pengusahaan tanaman-tanaman ekspor, bagi pengusaha-pengusaha
swasta yang belum memiliki tanah sendiri yang luas dengan hak eigendom, dengan sebutan “tanah
patikelir “ tidak ada kemungkinan untuk memperoleh tanah yang diperlukannya
dengan hak yang kuat dan dalam jangka waktu yang cukup lama. Satu-satunya yang boleh dilakukan hanya dengan menyewa tanah dari
pemerintah. Persewaan tanah boleh diadakan dengan jangka waktu paling lama 20
tahun, kecuali untuk tanaman kelapa yang jangka waktunyaboleh sampai 40 tahun (koninklijk Besluit 7 November
1856).
Persewaan tanah didasarkan pada
ketentuan pasal 62 RR 1854, ternyata tidak dapat membawa perkembangan yang
besar bagi perusahaan besar di Hindia Belanda karena jangka waktunya sangat
pendek 20 tahun. Lagipula tanah sewaan
tidak dapat dijadikan jaminan.Demikian juga pengusaha besar tersebut tidak
dimungkinkan untuk memperoleh hak erfpacht, karena peraturan hanya membolehkan
dengan hak sewa saja. Menyewa tanah kepada rakyatpun tidak mungkin karena
menurut Bijblad nomor 148 penjualan maupun persewaan tanah tanah rakyat kepada
non pribumi dilarang, hanya boleh dilakukan membuat perjanjian dengan rakyat
untuk menanam tanaman-tanaman tertentu dan hasilnya dijual kepada pengusaha.
Sementara pengusaha besar belanda di
negeri belanda kelebihan modal, sehingga memerlukan bidang usaha baru untuk
menginvestasikannya.Untuk hal ini, maka sejalan dengan semangat liberalisme
maka system monopoli Negara dan kerja paksadalam melaksanakan cultuur stelsel
di tuntut untuk diganti dengan system persaingan bebas dan system kerja bebas,
berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal. Tuntutan yang demikian ini sejalan
dengan tuntutan untuk mengakhiri system tanam paksa dan kerja paksa demi
kemanusiaan karena melihat penderitaan petani
dijawa akibat penyalahgunaan wewenang dalam melaksanakan cultuur
stelsel. Akhirnya, tuntutan ini berhasil dengan lahirnya Undang-Undang yang
disebut Ararische Wet pada tahun 1870 yang menambah 5 ayat baru dalam pasal 62
RR 1854.
Tujuan Agrarische Wet yang utama
adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para
pengusaha agar dapat berkembang di Hindia Belanda.Jadi memberikan dasar bagi
berkembangya perusahaan-perusahaan besar swasta. Untuk mewujudkan tujuan tersebut
maka ada beberapa kebijakan pemerintah, yaitu:
1. Pengusaha-pengusaha
swasta tersebut diberikan untuk membuka tanah-tanah hutan untuk perkebunan
besar dengan erfpacht berjangka waktu sampai 75 tahun, dan hak ini dapat
dibebani dengan hypotheek sehingga terbuka kemungkinan pengusaha untuk mendapat
kredit dengan jaminan ha katas tanah tersebut.
2.
Membuka
kemungkinan menggunakan tanah kepunyaan rakyat atas dasar sewa bagi
perusahaan-perusahaan kebun besar tanah datar, terutama perusahaan gula dan
tembakau.
Pelaksanaan Agrarische Wet diatur
lebih lanjut dalam berbagai peraturan pelaksanaannya antara lain : Agrarisch
Besluit (koninklijke besluait) 1870-118, dan ordonasi-ordonasi.
b. Agrarische Besluit
Agrarische Besluit (Koninklijke
Besluait) S 1870-118 ini hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Hal pokok yang
sangat penting dalam pelaksanaan Hukum Administratif Hindia Belanda adalah
pernyataan “Domein verklaring” yang merupakan asas yang tertuang dalam pasal 1
Agrarische Besluit, yang mengatakan : “Bahwa semua tanah yang pihak lain tidak
dapat membuktikan sebagai hak eigendom-nya, adalah domein (milik) Negara”. Asas
ini dinilai oleh bangsa Indonesia kurang menghargai, bahkan memperkosa hak-hak
rakyat atas tanah yang bersumber pada Hukum Adat.
Fungsi domein verklaring dalam
praktik pelaksanaan perundang-undangan pertanahan adalah:
1.
Sebagai
landasan hukum bagi Pemerintah yang mewakili Negara sebagai pemilik tanah untuk
memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUH Perdata seperti hak
erfpacht, hak postal dan lain-lainnya. Dalam rangka domein veklaring, pemberian
tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milikn Negara
kepada penerima tanah.
2.
Dibidang
pembuktian pemilikan. Setiap tanah harus ada pemiliknya, dan setiap pemilik
tanah harus dapat membuktikan kepemilikan ha katas tanahnya, kalau tidak maka
tanah tersebut adalah tanah milik Negara.
c. Hukum Tanah yang Dualistik
Akibat dari
politik hukum pertanahan Hindia Belanda, maka hukum hukum pertanahan
berstruktur ganda atau dualistic, yaitu disatu pihak berlaku Hukum Tanah Adat yang
bersumber pada Hukum Adat dan dilain pihak berlaku Hukum Tanah Barat yang
pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam Buku II KUH Perdata, yang merupakan
hukum tertulis.
Dengan demikian
dibidang penuasaan dan pemilikan tanah, terdapat perbedaan hukum yang
berlaku.Untuk golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan itu dan golongan
Timur Asing berlaku Hukum Tanah Barat yang berdasarkan ketentuan yang terdapat
dalam Buku II KUH Perdata.Sedangkan untuk golongan Bumi Putera (pribumi)
berlaku Hukum Tanah Adat yang bersumber pada Hukum Adat.Sehingga terdapat
adanya tanah-tanah yang dkuasai dan dihaki dengan hak-hak atas tanah
berdasarkan Hukum Tanah Barat (KUH Perdata), dan terdapat pula tanah-tanah yang
dikuasai dan dihaki dengan hak-hak atas tanah yang berdasarkan pada Hukum Tanah
Adat.Tanah-tanah yang dikuasai dan dihaki berdasarkan Hukum Tanah Barat berlaku
Buku II KUH Perdata, sedangkan tanah yang dikuasai dan dihaki berdasarkan Hukum
Tanah Adat berlaku Hukum Adat.
3.
Hukum
Agraria setelah kemerdekaan hingga tahun 1960
Sejak bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka mulai sejak saat itu
merupakan titik awal bagi perkembangan politik hukum bangsa Indonesia, maka
pada tanggal 18 Agustus 1945 pemerintah Negara Indonesia membentuk Undang
Undang Dasar Negara sebagai dasar konstitusional pelaksanaan pemerintahan
pelaksanaan pembangunan bangsa dan Negara di berbagai kehidupan, termasuk
didalamnya titik awal pembangunan hukum nasional kita.
Persoalan agrarian adalah persoalan
yang memerlukan perhatian dan pengaturan yang khusus, jelas dan sesegera
mungkin. Oleh karenanya, maka didalam UUD Pasal 33 ayat (3) mnentukan sebagai
berikut: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini
menjadi landasan dasar bagi pemerintah Indonesia untuk membentuk berbagai
peraturan perundan-undangan di bidang pertanahan/agraria.
Persoalan hukum agraria atau hukum
pertanahan di Negara kita sejak masa penjajahan hingga Negara kita merdeka
merupakan persoalan yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian yang utama
bagi pemerintah Indonesia. Betapa tidak, bahwa sekitar 80% penduduk bangsa
Indonesia pada saat itu bermata pencaharian pertanian, sementara tanah-tanah
pertanian yang subur dan tanah-tanah perkebunan yang sangat luas dikuasai oleh
segelintir orang, yaitu penguasa dan pengusaha. Pengusaha-pengusaha besar dan
penguasa-penguasa menguasai tanah dengan seluas-luasnya.Akibatnya terjadi
kesenjangan yang luar biasa antar penguasa dan pengusaha yang menguasai tanah
dengan seluas-luasnya dengan masyarakat petani yang sangat miskin.
Pada masa ini aturan-aturan atau
huku-hukum yang berlaku didasarkan pada ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945
Sehubungan dengan hal tersebut, maka
pemerintah Indonesia sedikit demi sedikit melakukan penyesuaian aturan-aturan
hukum tersebut dengan kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia yang merdeka
dengan mempergunakan kebijakan dan tafsir baru.Beberapa aturan hukum yang
disesuaikan adalah sebagai berikut:
1.
Hubungan
antara domein veklaring dan hak
rakyat atas tanahnya, khusus hak ulayat.
2.
Negara
bukan sebagai pemilik akan tetapi hanya diberi wewenang untuk menguasai.
3.
Penghapusan
hak-hak konversi.
4.
Semua
tanah milik raja, rakyat hanya sebagai pemakai dan wajib menyerahkan kepada
raja 1/2 atau 2/3 hasil kepada rakyat.
Selain itu pemerintah membuat
perangkat-perangkat hukum guna menyelesaikan persoalan-persoalan pertanahan
tersebut, yaitu pemerintah membuat Undang-undang Nomor 8 Tahun 1945 tentang
penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkrbunan oleh Rakyat.Dengan dibentuknya
perangkat hukum tersebut maka dupayakan sudah tidak ada lagi pendudukan tanah
oleh rakyat.Selain ketentuan tersebut, dalam upaya menata kembali penguasaan
pertanahan di Indonesia, pemerintah membuat kebijakan dengan mengeluarkan
peraturan perundang-undangan.
Namun demikian, perangkat-perangkat hukum inipun tidak dapat
menyelesaikan persoalan pertanahan yang ada dinegara Indonesia merdeka ini,
sehingga pemerintah sejak terbentuknya UUD 1945 kepada hukum nasional Indonesia
(hukum asli Indonesia), dan akhirnya melahirkan Undan-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria, Lembaran Negara 1960-104, yang
selanjutnya dikenal dengan sebutan UUPA.Dengan lahirnya UUPA maka dengan
jelas-jelas mencabut ketentuan Buku II KUH Perdata khusus tentang tanah, dan Agrarische Wet beserta
peraturan-peraturan pelaksanaannya yang mengatur masalah tanah.Terbentuknya
UUPA maka terjadi kodifikasi dan unifikasi hukum dibidang agrarian.Dengan
adanya kodifikasi dan unifikasi hukum agrarian yang dualisme dan pluralisme
tersebut.[3]
Dengan telah diundangkannya
Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 pada tanggal 24 September 1960,
maka:
A. Undang-undang Pokok Agraria, pada hakekatnya mengakhiri berlaku nya peraturan-peraturan Hukum Tanah colonial.
B. Undang-Undang Pokok Agraria, juga mengakhiri dualism atau
pluralisme Hukum Tanah Indonesia. Yang dimaksud dengan Dualisme Hukum Tanah
Indonesia adalah : Hukum Tanah Barat tentang Tanah Hak Barat dan Hukum Tanah
Adat tentang tanah-tanah dengan Hak Indonesia.
Keduanya berlaku pada suatu waktu.
Sedang yang dimaksud dengan Pluralisme Hukum Tanah Indonesia adalah :
1.
Hukum Tanah Adat.
2.
Hukum Tanah Barat.
3.
Hukum Tanah Antar golongan.
4.
Hukum Tanah Administratif.
5.
Hukum Tanah Swapraja.
Kelima hukum tanah tersebut berlaku
pada suatu waktu. Dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria ini, maka seluruh
tanah dikuasai langsung oleh Negara, dalam arti Negara sebagai organisasi
Kekuasaan Bangsa Indonesia pada tingkat tertinggi mempunyai wewenang.[4]
Lahirnya
UUPA merupakan era perombakan dan pembaruan dibidang hukum agraria di Indonesia.Semua aturan hukum yang
mengatur persoalan agraria, lebih khusus mengatur masalah tanah diatur
sedemikian rupa sehingga menjamin hak-hak semua pihak dan perlindungan hukum
bagi para petani. Dengan demikian diharapkan adanya penegakan hukum yang tegas dan
konsisten tanpa adanya diskriminatif. Dengan lahirnya UUPA maka:
1.
Menjamin
adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam menguasai dan
memiliki tanah.
2.
Pemerataan
kesempatan untuk memperoleh hak atas tanah dengan jalan pembatasan penguasaan dan pemilikan hak
atas tanah oleh seseorang atau badan hukum.
3.
Penentuan
batas maksimum dan batas minimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian
dengan melaksanakan program landreform.
4.
Diupayakan
agar semua jenis hak atas tanah didaftarkan oleh pemerintah maupun pemegang haknya guna
memperoleh kepastian hukum dan hak dalam rangka pelindungan hukum dan hak
pemegang hak atas tanah.
5.
Melakukan
konversi semua hak-hak atas tanah yang sebelumyang berdasarkan hukum Barat dan
hukum adat.
6.
Melakukan
pengaturan kembali system gadai tanah pertanian, system bagi hasil tanah
pertanian.
7.
Larangan
penguasaan tanah pertanian secara absentee;
dan
8.
Redistribusi
tanah-tanah pertanian yang dikuasai oleh Negara kepada para petani yang memiliki
tanah kurang dari dua hektar.
4.
Hukum
Agraia sejak tahun 1960 hingga era reformasi
Perkembagan plitik hukum agraria dan
pertanahan didasarkan pada UUPA. Dengan lahirnya UUPA, Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960, Lembaran Negara 1960-104 dan Tambahan Negara Nomor 2034, tetang
Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria, maka mulai saat itu terjadi perombakan
secara menyeluruh tentang pengaturan keagrariaan di Indonesia.
Dalam
UUPA terdapat prinsip pokok yang tertuang dalam pasal demi pasal, yaitu antara
lain :
1. Hak bangsa atas agraria yang
bersifat abadi tertuang dalam pasal 1 ayat (1);
2. Hak menguasai Negara atas
agraria/ pertanahan yang tertuang dalam ketentuan pasal ;
3. Pengakuan akan hak ulayat yang dikuasai oleh masyarakat hukum
adat atas tanah tertuang dalam
ketentuan pasal 3;
4. Pemberian akan hak-hak perorangan dan badan hukum atas tanah.
5. Prinsip fungsi sosial bagi semua hak atas tanah yang diatur
dalam pasal
6. Pengaturan tentang
landreform yang diatur dalam pasal 7, dan 17. Yaitu tentang batas maksimum dan minimum pemilikan tanah bagi
satu keluarga.
7. Prinsip tanah untuk petani yang tertuang dalam pasal 10;
8. Pendaftaran tanah untuk kepastian hukum dan hak bagi pemegangnya
dan diatur dalam pasal 19.
Era reformasi menghendsaki perubahan-perubahan, termasuk didalamnya
perubahan dibidanf hukum, lebih khusus dibidang
hukum agraria atau pertanahan. Tuntutan reformasi dibidang hukum
agrarian terus bergulir dan terus dilakukan oleh masyarakat, namun pemerintah
hingga sampai saat ini masih mempertahankan keberlakuan UUPA tersebut dengan
melakukan upaya penyesuaian dengan kondisi yang berkembang di era reformasi
sekarang ini.
Hukum agrarian di era reformasi ini masih
berdasarkan ketentuan UUD1945 pasal 33 ayat (3) dan pasal 18B UUD 1945 hasil
amandemen tentang eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.Selanjutnya
adalah UUPA sebagai hukum khusus yang mengatur agrarian, namun diupayakan untuk
dilakukan perubahan-perubahan dengan lahirnya TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaharuan Hukum Tanah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Adapun aturan-aturan
hukum yang menjadi dasar hukum pembangunan dan pembaharuan hukum agrarian yang
berlaku pada masa ini adalah:
1. UUD1945 hasil amandemen yang
diatur dalam pasal 18 B ayat (2) dan ketentuan pasal 33 ayat (3).
2. UUPA (Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960) dan peraturan pelksanaannya yang disesuaikan dengan kondisi sekarang;
3. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
a.
bahwa sumberdaya agraria dan sumberdaya alam sebagai Rahmat Tuhan Yang
Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan Nasional yang wajib
disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi
generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat
adil dan makmur;
b. bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia mempunyai tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan
dasar bagi pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan
kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi rakyat serta kerusakan
sumberdaya alam;
c. bahwa
pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang berlangsung selama ini
telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai
konflik;
d. bahwa
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya
agraria dan sumberdaya alam saling tumpang tindih dan bertentangan;
e. bahwa
pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang adil, berkelanjutan,
dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan
menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan
konflik;
f. bahwa
untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam
Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan komitmen politik yang
sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan
pengelolaan sumberdaya alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan;
g. bahwa
sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, e,
dan f perlu adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
4. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertahanan
Nasional.
Menurut Winardi pembaharuan Agraria (Agrarian Reform)dalam arti restrukturisasi penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya agraria sudah dikenal cukup lama, meski dalam bentuk
dan sifat-sifat yang berbeda-beda tergantung pada zaman dan Negara tempat
terjadi pembaharuan agraria tersebut. Inti pembaharuan agraria menurut Maria S.
W. Soemardi Djono adalah :
1. Suatu proses
yang berkesinambungan.
2. Berkenaan
dengan restrukturisasi pemilikan/penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria
oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan.
3. Dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian hukum dan
perlindungan hukum atas pemilikan tanahdan pemanfaatan sumber daya
alam/agraria, serta terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Ida Nur Linda mengatakan inti pembaruan agraria (reform agraria)
adalah upaya perubahan structural yang mendasarkan diri pada hubungan-hubungan
intra dan antar subjek-subjek agraria dalam kaitan akses(penguasaan dan
pemanfaatan)terhadap objek-objek agraria. Namun secara konkrit, pembaruan
agrarian diarahkan untuk melakukan perubahan struktur penguasaan tanah dan
perubahan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan
tanah dan kekayaan alam yang menyertainya.
Pembaruan agraria dalam tataran praktik dipadankan dengan landreform.Landreform juga diartikan
sebagai restrukturisasi penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan
tanah.Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam berdasarkan Ketetapan
MPR Nomor IX/MPR/2001, dalam pasal 2 menyatakan : Pemaharuan Agraria mencakup
suatu proses yang berkesinambungan yang berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, penataan,pemilikan,penggunaan,dan pemanfaatan sumber daya agraria,
dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta
keadilan dan kemakmuran rakyat bagi seluruh rakyat Indonesia.[5]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Hukum
Agraria berasal dari bahasa latin Agr yang berarti tanah/sebidang tanah.
Agrarius berarti peladangan,persawahan,pertanian.Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia,1994,Edisi kedua cetakan ketiga adalah urusan
pertanian/tanah pertanian,juga urusan pemilikan tanah.
2. Hukum
Agraria Sebelum Kemerdekaan
a. Ararische Wet : Undang-Undang yang dibuat di negeri Belanda pada
tahun 1870.
b. Agrarische Besluit (Koninklijke Besluait) S 1870-118 ini hanya
berlaku untuk Jawa dan Madura.
c. Hukum Tanah Dualistik : Di satu pihak berlaku Hukum Tanah Adat
yang bersumber pada Hukum Adat dan dilain pihak berlaku Hukum Tanah Barat yang
pokok-pokokketentuannya terdapat dalam Buku II KUH Perdata, yang merupakan
hukum tetulis.
3. Hukum Agraria
Setelah Kemerdekaan Hingga Tahun 1960 :
Merupakan titik awal bagi perkembangan politik hukum bangsa Indonesia.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 pemerintah Negara Indonesia membentuk Undang-undang
Dasar Negara sebagai dasar konstitusional pelaksanaan pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan bangsa dan Negara diberbagai kehidupan, termasuk
didalamnya titik awal pembangunan hukum nasional.
4. Hukum Agraria
Sejak tahun 1960 hingga era reformasi : Era Reformasi menghendaki
perubahan-perubahan, termasuk didalamnya perubahan dibidang hukum, lebih khusus
dibidang araria atau pertanahan.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Arba,M.,Hukum Agraria
Indonesia,Jakarta:Sinar Grafika Ofseet,2015.
Chomzah,Ali Achmad,Hukum
Agraria(Pertanahan)Indonesia,Jakarta:Prestasi Pustakarya,2004.
Hattta,mohammad.Hukum Tanah Nasional,Yogyakarta:Media Abadi,2005.
Chomzah,Ali Achmad,Hukum Agraria(pertanahan)indonesia,Jakarta:Prestasi
Pustakaraya,2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar